Akhir-akhir ini dunia perpolitikan di negeri kita mulai memanas. Tahun 2009 berarti memasuki euforia pemilu Presiden. Pilkada di tingkat legislasi mulai digenjot agar segera rampung sebelum rangkaian pemilihan presiden dimulai.
Para calon legislatif (caleg) dan KPU mulai sibuk dengan perannya masing-masing. Aksi narsis para caleg melalui baliho berlambang partai berjejer di sepanjang jalan, baik jalan raya, maupun jalan-jalan setapak, bahkan hingga gank-gank sempit.
Suasana jalanan pun menjadi semrawut dan kotor oleh gambar-gambar itu. Semua caleg menampakkan diri dengan wajah yang percaya diri, serta tak lupa memamerkan senyumnya. Umumnya para caleg itu ada yang berdasi, berpeci, bersorban, juga berkemeja koko. Tak lupa nama mereka diawali dan diakhiri dengan seabreg titel, seperti K.H., Dr, dr, Ustadz, S.Ag, M.Ag., M.S.i., Drs., dan lain-lainnya.
Latar belakang para caleg pun macam-macam: Pengusaha, petani, kyai, pengurus yayasan, dan tak lupa hubungan kekerabatan (istri bupati, anak walikota, anak gubernur, suami gubernur, dan seterusnya). Tak lupa pula dengan jargonnya masing-masing. Bahkan banyak juga yang meminta restu, doa, dan dukungan yang tertera di aneka alat kampanye. Ah, sungguh aneh-aneh saja mereka ini. Mau memperkaya diri sendiri saja mereka minta doa restu. Saya kemudian berpikir dapatkah mereka memainkan perannya menjadi wakil rakyat? Lha wong wawasan tentang kenegaraan saja masih diragukan?
Saat ini tolok ukur (modal) menjadi caleg hanya satu, yaitu bermodal duit saja. Siapa yang berduit pasti akan mulus menjadi caleg. Dan harus diakui bahwa menjadi caleg itu amatlah mahal. Saat harus lolos di partainya saja, jelas harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Ingin nomor urut jadi (dulu masih berlaku nomor urut), harus merogoh kantong dalam-dalam. Sudah jadi caleg, dia harus promosi sembari membawa sembako, stiker, baliho, kalender, baju, topi, dan lain-lain ke masyarakat di daerah pemilihannya (dapil).
Berdasarkan logika di atas, jika saja mereka kemudian berhasil duduk di bangku legislatif alias menjadi wakil rakyat kita sudah dapat menebak prihal yang mereka lakukan, yaitu meraup uang sebanyak-banyaknya, demi mengembalikan modal yang dulu mereka keluarkan di saat pilkada. Bahkan tidak berhenti di situ, mereka akan meraup untung sebnyak-banyaknya, karena mumpung menjadi wakil rakyat. Mumpungisme.
Oleh karena itu, sangat memungkinkan para wakil rakyat tersebut berperilaku keji, seperti melakukan suap menyuap, korupsi berjamaah, alih fungsi lahan, dan seterusnya. Tak lain semua itu dilakukan demi modal yang dulu telah mereka keluarkan yang harus mereka raih kembali. Dan jangan tanya tentang produk undang-undang (UU) yang mereka buat, yang alih-alih meringankan rakyat, mereka terkesan membuatnya setengah hati untuk mengutamakan keutamaan rakyat. Bisa jadi malah menambah beban rakyat. Sebut saja pengesahan beberapa UU oleh DPR RI seperti soal UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), UU Minyak dan Gas (Migas), UU Mineral dan Batu Bara (Minerba), dan UU Sumberdaya Alam (SDA), yang semuanya mendapat kritik pedas dari para ahli dan masyarakat luas karena berbagai dampak yang pasti ditimbulkannya. Para anggota dewan itu juga malas-malasan bekerja dan sering bolos saat diadakannya rapat paripurna. Ini menjadi bukti bahwa para caleg jika telah duduk di kursi empuk akan lupa atau melupakan rakyat yang pernah diminta untuk memilihnya.
Untuk itu, beranikah kita mengatakan kalau para caleg yang berlomba-lomba meraih simpati rakyat dengan seabreg janji-janjinya itu adalah awal perlombaan kebohongan calon politisi? Benarkah mereka hendak mengabdi bagi ibu pertiwi dan mendedikasikan diri untuk kepentingan masyarakat luas?
Sikap Golput Sebuah Ijtihad
Melihat fakta di atas saya sendiri sanksi untuk memilih para caleg. Saya tidak begitu yakin kalau mereka membawa membawa manfaat bagi masyarakat. Terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Keluhan demi keluhan masih sering terdengar nyaring di telinga kita. Jadi, pantaskah saya mencoblos caleg yang pintar berbohong dan bersilat lidah itu? Pantaskah para caleg untuk dipilih yang amat narsis dan membanggakan diri lewat poster dan baliho itu di tengah-tengah rakyat jelata yang selalu resah memikirkan hari esok masih bisa makan apa tidak?
Dengan sangat terpaksa, jika kenyataan seperti itu dan saya belum menemukan figur yang pantas untuk dipilih, barangkali saya akan bersikap golput. Saya akan memosisikan diri dengan mereka yang mempunyai kesadaran politik untuk memilih golput. Bukan tanpa alasan, dan bukan pula atas hasutan atau pun ikut-ikutan. Sungguh, ini benar-benar sikap yang justru disadari sebagai kesadaran berpolitik. Ada memang beberapa caleg yang menurutku pantas untuk dicoblos, karena sejauh yang saya ketahui caleg tersebut punya reputasi baik, terutama perannya dalam keilmuan, khususnya kajian keislaman. Tapi, sangat disayangkan, mereka tidak berada di daerah yang aku coblos.
Tapi, baiklah, saya akan berusaha menilik para caleg yang ada di daerahku sekali lagi. Jika memang secara keilmuan tidak mumpuni, tapi paling tidak mereka mempunyai kepribadian baik, seperti jujur, tawadhu, sosialis, dan beragam cara lainnya yang wajar. Namun, jika kriteria tersebut masih belum ada, lantas bagaimana? Ya, sekali lagi saya akan melakukan ijtihad sendiri seperti telah saya katakan di atas, golput. Jadi, jangan salahkan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar