Dapatkah anda membayangkan ketika merayakan kebahagiaan tanpa disertai orang yang kita cintai dan hormati? Bahkan orang tersebut tidak hanya kita yang mencintai dan menghormatinya, tetapi juga semua saudara bahkan sekampung dan sekecamatan? Ya, kita semua pasti sedih dan pilu.
Ada ruang hati yang terasa kosong dan hampa. Kebahagiaan tersebut seolah-olah tak bermakna karena tidak ada orang yang kita cintai di tengah-tengah kita.
Itulah gambaran keadaan keluarga kami di saat lebaran Idul Fitri 1429H ini. Kami merayakan Idul Fitri tanpa sang kakek. Beliau telah meninggal pada 30 Juni 2008. Sosok kakek adalah sosok yang begitu kami cintai dan muliakan.
Bahkan tidak saja oleh keluarga kami, tetapi juga oleh masyarakat, baik tingkat desa maupun kecamatan. Apa sebetulnya yang membuat beliau begitu disegani di desa kami?
Tentu saja kiprah dalam hidupnya tercurah untuk desa kami tercinta. Beliau ikut menentukan perkembangan desa kami. Beliau sangat dekat sekali dengan siapa pun. Aku sendiri sudah menganggap beliau adalah orangtuaku.
Lebaran kali ini adalah lebaran anti-klimaks. Kami merayakannya tanpa dirinya. Ketika kakek masih ada, rasanya kebahagiaan kami begitu sempurna. Beberapa agenda lebaran kami lakukan bersama. Setiap lebaran kami selalu ziarah ke makam-makam keluarga beliau, baik yang ada di desa sendiri mapun di luar desa, seperti di Serang dan Cilegon. Sedikitnya ada 4 mobil yang membawa keluarga kami. Berangkat pagi dan pulang malam. Boleh dikata momen lebaran adalah momen yang memadukan antara ziarah dan wisata. Karena biasanya begitu selesai ziarah ke makam-makam saudara kakek dan nenek, dan juga silaturahmi, pulangnya kami ke pantai, tepatnya pantai Anyer. Di sana kami bakar ikan dan makan berjama’ah. Sungguh, sebuah kenangan yang indah.
Keluarga kami adalah keluarga yang besar. Besar dalam pengertian yang sebenarnya. Kakek dan nenekku mempunyai 13 anak. Tentu saja dari rahim sang nenek semuanya. Soalnya, ada temanku yang tidak percaya dengan hal itu, kalau kakekku punya anak 13 dari 1 ibu saja, yaitu nenekku. Beliau pun adalah tipe setia yang hanya mempunyai 1 istri, yaitu nenekku.13 anak itu terdiri dari 8 putra dan 5 putri. Anak ke-1(laki-laki) di Belanda, ke-2 (laki-laki) di Jakarta, ke-3 (perempuan) di Pandeglang, ke-4 (perempuan;ibuku hehe..) di Pandeglang, ke-5 (laki-laki) di Belanda, ke-6 (perempuan) di Bekasi, ke-7 (laki-laki) di Tangerang, ke-8 (laki-laki) di Serang, ke-9 (laki-laki) di Jakarta, ke-10(perempuan) di Pandeglang, ke-11 (laki-laki) di Pandeglang, ke-12 (perempuan) di Serang, dan ke-13 (laki-laki) di Pandeglang. Di antara ke-13 anak beliau, mayoritas berprofesi guru (baik di negeri maupun swasta). Sisanya adalah pegawai kantoran (baik di negeri maupun swasta). Kakek dan nenekku sendiri adalah pensiunan guru. Kakek dalam jenjang karirnya pernah menjadi kepala KUA, ketua MUI kecamatan, sesepuh di ormas keagamaan Mathla’ul Anwar, serta kepala sekolah MTs MA Bojong. Sedang di masyarakat sendiri beliau adalah ketua Takmir Masjid Al-Hidayah Bojong, dan pengisi pengajian rutin. Beliau juga masa mudanya pernah menjadi pemimpin Tentara Rakyat saat melawan Jepang dan Belanda.
Kenangan Bersama Sang Kakek
Kenangan hidupku bersama sang kakek begitu banyak dan takkan pernah terlupakan. Semenjak aku kecil hingga dewasa selalu saja terjalin peristiwa demi peristiwa dengan beliau. Pada masa kecil aku masih ingat 3 peristiwa:
Pertama, pada saat musim durian. Kakek mengajakku ke kebun untuk menunggu durian jatuh. Jika durian jatuh tandanya durian itu sudah masak, dan dapat langsung dimakan. Tapi sayang waktu itu tidak ada yang jatuh, terpaksa kami menunggu hingga sore hari. Ya, di kebun, tepatnya di sebuah gubuk, hanya ada aku dan kakek saja. Nah, pada saat menunggu itu, sambil membersihkan semak-semak, tiba-tiba ada kalajengking di dekatku. Kontan saja aku takut dan mau menangis. Dengan sigap, kakekku menghampiri kalajengking itu, dan memukulnya dengan kayu.
Kedua, saat jalan-jalan dengan beliau ke daerah Kananga, tempat beliau hidup beberapa tahun saat belajar di sebuah pondok pesantren. Dari desaku, untuk menuju ke sana, harus naik angkot 2 kali, dan naik ojek 1 kali. Aku masih ingat, kami menaiki ojek bersama. Badanku yang kecil diangkatnya ke atas motor. Baru setelah itu beliau naik. Kurang lebih ¼ jam kami naik ojek menuju Kananga.
Nah, sekembali dari Kananga, kami tidak langsung pulang. Beliau mengajakku ke kota Labuan untuk jalan-jalan dan membeli alat-alat perumahan. Aku masih ingat waktu itu, aku dibelikan kembang api yang waktu itu masih langka dan mewah sekali di desaku. Kembang apinya panjang banget. Ya Allah, aku senang banget waktu itu. Sekembali di desaku, dengan bangganya kuperlihatkan kepada teman-temanku kembang api tersebut. Pada malam-malam kunyalakan di depan teman-teman, horee…percikan cahayanya bagus sekali.
Ketiga, pada saat aku sunatan. Ya, masih jelas sekali tergambar peristiwa itu. Saat itu aku kelas 4 SD. Aku dibawa ke mantri sunat yang letaknya di kecamatan Picung, sebelah selatan kecamatanku. Waktu itu, hanya kakek yang mengantarku. Ya, hanya beliau. Bapakku sendiri waktu itu tidak bisa, karena sedang berjualan di pasar.
Ada yang lucu, saat aku disunat, beliau menutup mataku agar tidak melihat prosesi itu. Tapi, beliau menutup mataku dengan jari-jari tangannya tidak dirapatkan, maka otomatis akupun bisa melihatnya. Hiii… mengerikan sekali aku melihatnya. Adapun sekembali dari—disunat--itu, aku dan kakek naik angkot, sebagaimana saat berangkatnya juga. Aku mengenakan sarung ketika selesai disunat. Di angkot itu aku duduk di bagian depan dekat sopir dan di samping kirinya adalah kakekku. Angkot tersebut memuat banyak penumpang. Semuanya pada memandangku dengan senyam-senyum sembari mengucapkan selamat. Begitu datang di desaku, kakek meminta kepada sang sopir untuk mengantar kami sampai halaman rumah. Berhubung rumahku tidak bisa dilalui angkot, maka kami minta sopir mengarahkan angkotnya ke rumah kakek. Rumah kakek mudah dijangkau mobil. Di rumah kakek sudah ramai. Dan mereka kaget, kok yang mengantarku banyak sekali, padahal berangkatnya cuma kakekku saja. Hi-hi-hi… mereka tidak tahu kalau semua orang-orang itu adalah penumpang.
Adapun peristiwa yang masih kuingat saat remaja adalah seringnya kami tadarus Alquran bersama. Masa ini adalah saat aku duduk di MTs, yang beliau pimpin. Tahu tidak, seingatku aku tidak pernah bayar SPP lho. Bukannya tidak mau bayar sebetulnya, saat aku hendak bayar, petugasnya selalu saja menolak. Katanya sih aku sudah bebas biaya sekolah, kakekku yang menjaminnya. Ah, kakek…
Masa remaja itu aku begitu intensif belajar Alquran pada kakek. Kebetulan waktu itu ada saudaraku juga, yaitu anak pak Dhek-ku yang di Belanda, yang disekolahkan di Bojong, tapi hanya sampai SD saja. Bersama saudaraku, kami belajar Alquran. Setiap ba’da Ashar, maghrib, dan shubuh, kami tadarus bersama dengan dibimbing sang kakek. Hampir tiap hari kami melakukannya. Beberapa surat pilihan kami baca di waktu-waktu itu. Surat-surat pilihan itu adalah surat al-Kahfi, Yasin, ar-Rahman, al-Waqi’ah, al-Mulk, dan an-Naba. Dan itu berlangsung kurang lebih 3 tahunan. Walhasil, Alhamdulillah aku dapat menghafalnya. Mungkin sampai saat ini. Alquran kecil, yang berisi surat-surat pilihan itu, pemberian kakek (dari Mekkah) selalu kubawa ke mana-mana hingga aku ke Jogja, selalu kubaca di setiap ada kesempatan. Sekarang, Alquran mini (yang berisi surat-surat pilihan) itu sudah kuwariskan pada seseorang yang behak memilikinya. Mudah-mudahan saja berkah bagi kakek dan aku, serta yang membacanya, amin..
Oh iya, ada yang terlewatkan. Sebetulnya tidak hanya belajar Alquran saja, aku pun diajari keberanian oleh beliau untuk ceramah di depan umum. Pernah suatu kali aku disuruh mengisi ceramah dalam rangka peringatan Isra Mi’raj. Saudaraku juga disuruh ceramah. Kalau aku disuruh ceramah dengan menggunakan Bahasa Arab, sedang saudaraku itu menggunakan Bahasa Belanda.
Sedang masa dewasaku jarang sekali kulewatan bersama kakek, lantaran aku masuk pesantren dan sekolah Aliyah di Ciamis. Ciamis adalah kota yang begitu jauh dari desaku. Karena jauh, konsekwensinya aku jarang pulang. Otomatis aku jarang melewati hari-hari bersama kakek. Keadaan ini terus berlanjut hingga aku kuliah ke Jogjakarta. Tapi walau begitu setiap aku pulang, mesti aku menghampiri kakek dan mengobrol ke sana- kemari. Beberapa kali juga aku disuruh mengisi khutbah Jum’at dan khutbah Idul Fitri. Banyak orang mengatakan kalau akulah nanti yang akan menjadi penerus perjuangan beliau, terutama dalam keagamaan. Sungguh, aku malu dikatakan seperti itu, karena aku sangat tidak pantas. Ilmu dan akhlakku sangat minim. Selain itu, hidupku banyak dihabiskan di Jogjakarta.
Hal yang tak bisa kulupakan juga adalah beliau selalu mendoakan aku manakala aku pamitan hendak ke Ciamis atau ke Jogjakarta. Setelah didoakan beliau, aku pun dikasih sangu 50 ribu. Lumayan hehe..
Begitulah kenanganku bersama kakek dari fragmen ke fragmen. Hidupnya sungguh berarti bagiku. Aku ingin mengenangnya sampai kapan pun. Semua yang ada di desa dan kecamatanku merasa kehilangan beliau. Di saat pelepasan ke liang lahat, telah hadir ribuan orang dari mana-mana. Mereka menyolatkannya seraya memberi penghormatan terakhir. Di antara ribuan orang itu, salah satunya adalah Bupati Pandeglang.
Akhirnya,… selamat jalan kakek. Semoga amal baikmu diterima oleh Allah Swt. Lebaran kali ini terasa hampa karena engkau tidak lagi bersama kami.
Mudah-mudahan aku bisa meneruskan perjuanganmu, kek… hikss
Hanya doa yang bisa kupersembahkan untukmu…
Allahmummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu wa akrim nuzulahu wawassi' madkhalahu waghsilhu bi maain watsaljin wabarodin wanaqqihi minalkhathaaya kamaa yunaqqotstsaubul abyadhu minad danasi waabdilhu daaran khairan min daarihi wa ahlan khairan min ahlihi wazaujan khairan min zaujihi waqihi fitnatal qabri wa'adzaaban naari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar