Judul Buku: Terapi Hati Di Tanah Suci
Penulis: Hernowo
Penerbit :Lingkar Pena, September 2008
Tebal: 199 (termasuk indeks)
-----------------------------
Tahukah Anda apa yang dipersiapkan bagi seorang penulis untuk berhaji? Ya, pena dan buku (tentang haji). Pena adalah untuk mencatat segala peristiwa yang tengah dialaminya, sedang buku untuk memperkaya wawasan mengenai rangkaian hajinya. Keduanya itu hendak digunakan untuk mempersepsikan haji oleh dirinya. Itulah yang dilakukan Hernowo, sang “Pengikat Makna”, yang karyanya sudah lebih dari 30 buku.
Adapun hasil dari pengalaman dan persepsinya tentang haji dia bukukan dengan judul Terapi Hati Di Tanah Suci;Ya Allah, Jadikan Aku Cahaya (2008). Buku yang ditulis dengan “hati” ini mampu membuat seorang penulis lainnya menangis. Hal itu lantaran dirinya iri dan menyesal mengapa dirinya tidak melakukan apa yang dilakukan Hernowo tersebut. Penulis tersebut bernama Asma Nadia.
Dia mengatakan sebab keiriannya dalam Kata Pengantar buku ini, “Kenapa saya kurang menyiapkan bekal bacaan,… kedua, karena saya melewatkan beberapa doa yang diamalkan oleh Mas Hernowo di tanah suci dari hasil iqra’-nya yang panjang. Ketiga, perasaan menyesal karena buku ini tidak hadir sebelum saya menunaikan ibadah haji pada tahun 2007 lalu”(hlm.7-8).
Terkait dengan ketiga alasa keirian Asma Nadia di atas, memang buku ini—terdiri dari tiga bagian—mampu membuat pembaca hanyut dalam dunia haji. Bagian pertama Mempersiapkan Bekal Berhaji, bagia kedua, Pesona Masjidil Haram, dan bagian ketiga Berkah Masjid Nabawi. Hernowo sebelum melaksanakan haji jauh hari sudah membekali dirinya dengan memperkaya wawasan mengenai haji. Tepatnya di bulan Ramadhan—beberapa bulan sebelum bulan haji. Paling tidak ada dua alasan mengapa dia melakukan pembekalannya di bulan tersebut. Pertama, bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah dan mulia. Dengan begitu Hernowo termotivasi untuk membekali dirinya dengan sabaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Dia yakin bahwa jika seseorang berminat untuk mengumpulkan “bekal” berhaji di bulan suci Ramadhan Tuhan pasti akan menyediakan sumber “bekal” itu secara sangat melimpah.
Kedua, turunnya pertama kali Alquran, yang diawali dengan ayat-ayat perintah membaca (Surat Al-‘Alaq ayat 1-5). Sudah bisa ditebak apa “bekal” yang dipersiapkan Hernowo tersebut, yaitu membaca buku-buku yang terkait dengan haji. Bahkan tidak hanya itu, dia juga membaca buku-buku tentang tanah suci, Masjidil Haram, Madinah, biografi Nabi Muhammad SAW, sejarah awal Islam, dan kebudayaan Islam. Nah, hasil dari bacaannya tersebut, dia menulis hal-hal yang penting dan berkesan. Sebagaimana kita tahu dalam buku-buku sebelumnya, aktivitas tersebut dia namakan dengan “mengikat makna”.
Oleh karena itu, dia “mengikat makna” segala hal yang berkenaan dengan haji. Di saat pembacaan dan penulisannya, dia membayangkan bahwa pada saat berhaji kelak, dia akan merasakan tanah tempatnya lahir Nabi SAW, dan kehidupan Nabi baik di Mekkah maupun Madinah. Bayangan tersebut dia alami saat dia berhaji. Maka tak ayal lagi, lahirlah dari tulisannya kalimat-kalimat yang “hidup”, yang mampu membangkitkan emosi pembacanya untuk merasakan juga apa yang dirasakan oleh Hernowo. Iihat saja misalnya saat dia membaca buku Berhaji Mengikuti Jalur Para Nabi karya O.Hashem, dan dia mendapatkan ihwal Raudhah, di mana dalam bab tersebut disampaikan lima sabda Rasulullah SAW: Pertama, “Antara rumah dan mimbarku adalah taman (Raudhah) di taman-taman surga”, Kedua, “antara kuburku dan mimbarku adalah taman-taman di surga,” Ketiga, “antara kamarku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman di surga,” keempat, “antara mimbarku dan rumah Aisyah adalah taman dari taman-taman di surga,” kelima, “barangsiapa ingin bergembira shalat dalam taman dari taman-taman di surga, maka shalatlah di antara kubur dan mimbarku” (hlm.65-67).
Nah, di halaman 131-132 dia mengakuinya bahwa saat masuk ke Raudhah begitu berkesan. Dia melakukan shalat dua rakaat dan berzikir serta merenung. Hasil renungannya itu adalah bahwa spirit Islam adalah spirit iqra’. Islam memerintahkan umatnya untuk tak henti-hentinya mencari ilmu, ke mana pun dan dari mana pun sumbernya.
Masih di Raudhah, Hernowo membayangkan dirinya berjejer dengan para sahabat sedang mendengar Rasulullah menyampaikan ilmu-ilmunya. Dan itu pun disebabkan oleh para sahabat kepada umat manusia.
“Doa Cahaya”
Saya kira ruh buku ini terletak pada sub-bab yang berjudul “Doa Cahaya”. Sub ini begitu penting, karena dapat mempertemukan dari sub-sub lainnya, bahkan seluruh komponen dalam kehidupan Hernowo, sebagai penulis yang produktif. “Doa Cahaya” merupakan doa yang berisikan permohonan agar dijadikan cahaya secara menyeluruh. Hernowo sangat terkesan dengan doa ini, karenanya dia mengaitkannya dengan keadaan dirinya.
Menjadi cahaya sangat identik dengan menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Maka dengan pengertian seperti itu, doa dia adalah doa logis yang dapat diwujudkan. Yang menjadi pertanyaanya adalah apakah doa yang dia panjatkan pada waktu berhaji pada 2002 benar-benar mewujud nyata pada saat ini?
Buku yang ke-34 ini adalah buah nyata bahwa Tuhan mengabulkan doanya. Waktu yang relatif singkat, dalam jangka enam tahun, Hernowo telah menghasilkan 34 buku. Sebuah prestasi yang patut diacungi jempol. Sebelum berhaji, dia baru satu buku yang dihasilkannya, yaitu Mengikat Makna. Tapi begitu selesai berhaji, goresan penanya tetap tidak berhenti dari waktu ke waktu. Ide-idenya mengalir dengan deras. Lalu muncullah setiap tahunnya buku demi buku. Nah, buku-buku yang diciptakannya itulah cahaya yang dapat menyinari dirinya dan orang lain. Dengan kata lain, cahaya tersebut adalah berbentuk buku. Dengan buku lah dia dapat menyinari alam semesta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar