Selasa, 14 Oktober 2008

Modal Spiritual


Tulisan ini dimuat di http://www.pembelajar.com/ pada 13 Oktober 2008
-----------------

Modal spiritual adalah istilah yang dipopulerkan oleh Danah Zohar. Kedua kata ini menjadi konsep yang dikembangkan olehnya dan suaminya, Ian Marshall.

Awal mulanya ia menemukan konsep ini saat ia digerakkan oleh sebuah ketakutan pada dunia yang bergerak di sekitarnya. Ketika itu anaknya bertanya untuk apa ia hidup di dunia, lalu pertanyaan ke manakah ia seharusnya melanjutkan pendidikan kelak.

Setelah berpikir lama, Zohar akhirnya menemukan jawabannya. "Hidup manusia adalah untuk memberi arti bagi manusia lain dan lingkungannya," katanya. Pertanyaan sang anak kemudian menamparnya lebih keras.

Ia mengembalikan pertanyaan itu kepada dirinya sendiri. "Saat itu saya merasa berada pada titik terendah kehidupan," katanya.

Di mata Zohar, perilaku lingkungan dan budaya Barat menjerumuskannya ke dalam depresi berat. "Saya menghadapi banyak pengkhianatan personal, ketololan, kesembronoan, atau kekerasan yang dipaparkan terus-menerus sepanjang hari," katanya.

Saat ia berbicara dengan banyak orang mengenai ciri-ciri kecerdasan manusia, semua orang ingin tahu bagaimana kecerdasan itu bisa digunakan untuk menggali dan mendapatkan sebanyak mungkin uang. Semuanya telah diukur dengan kapital, alias duit. Dan di mata Zohar, cara-cara seperti itu sudah salah kaprah. "Inilah kapitalisme cara Barat, monster yang memangsa dirinya sendiri."

Banyak penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan sangat tergantung pada sejauh mana perusahaan berpegang pada prinsip etika bisnis di dalam kegiatan bisnis yang dilakukannya. Untuk berperilaku sesuai dengan kaidah etik perusahaan memeliki berbagai perangkat pendukung etik, yang salah satunya adalah manusia yang memiliki moral yang maengharamkan perilaku yang melanggar etik. Kehancuran dan kemunduran berbagai perusahaan besar di USA seperti Enron (perusahaan listrik terbesar), dan Arthur Anderson (perusahaan konsultan keuangan yang beroperasi di seluruh dunia) disebabkan oleh perilaku bisnis yang melanggar etika bisnis. Demikian pula dengan kasus krisis keuangan di Indonesia tahun 1997-1978 yang membuat perbankan Indonesia bangkrut karena kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) adalah disebabkan oleh perilaku para pemain bisnis yang tidak berpegang pada etika bisnis.

Banyak juga hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang berpegang pada prinsip etika memiliki citra perusahaan yang baik. Citra ini tidak hanya membuat orang suka membeli produk dan jasa perusahaan tersebut, tetapi juga membuat harga saham di pasar bursa meningkat secara signifikan. Selain itu perusahaan yang berperilaku etikal juga akan menarik banyak calon pekerja yang berkualitas untuk melamar menjadi pekerja di perusahaan tersebut (lihat Strategic Finance, vol 83, No. 7, p.20, January 2002). Sebaliknya kalau sebuah perusahaan melakukan perilaku yang melanggar etika bisnis maka kerugianlah yang akan dialaminya. Sebagai contoh sepatu Nike kehilangan banyak pembeli setelah ada publikasi yang luas mengenai anak-anak di bawah umur yang bekerja di perusahaan nike di negara dunia ke tiga pembuat sepatu Nike ( Hawkins, D.I; Best, R.J. & Coney, K.A: Consumer Behavior: Building Marketing Strategy, McGraw-Hill, 1998 , p. 16).

Zohar menceritakan bagaimana perusahaan-perusahaan besar seperti coca-cola, british petroleoum, van city, merck (perusahaan farmasi terbesar di amerika) dan dan amul (koperasi susu terbesar di Gujarat) yang mengoptimalisasikan modal spiritual ini. Secara sederhana, modal spiritual menunjuk pada modal dasar yang dimiliki perusahaan-perusahaan itu untuk bekerja dan berusaha tidak semata-mata demi keuntungan finansial dan materi. Ada dimensi jangka panjang yang lebih diharapkan melalui optimalisasi modal spiritual ini.

Oleh karena itu untuk mengubah budaya bisnis agar tidak berorientasi pada laba semata, menurut Danah, para pemimpin seharusnya memadukan tiga modal yang dimiliki. Pertama adalah modal material. Ia dibentuk oleh kecerdasan rasional (IQ), berfungsi menjawab pertanyaan-pertanyaan rasional seperti, "apa yang saya pikir".

Kedua, modal sosial, diukur dengan tingkat kepercayaan di masyarakat, saling merasakan, empati, serta komitmen terhadap kesehatan masyarakat. Ini dibentuk oleh kecerdasan emosional (EQ), berfungsi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut perasaan, seperti, "apa yang saya rasakan".

Ketiga adalah modal spiritual—di dalamnya termasuk modal moral—dibentuk oleh kecerdasan spiritual (SQ), dibangun dengan mengeksplorasi secara spiritual pertanyaan-pertanyaan seperti "untuk apa saya ada, apa tujuan hidup saya, apa yang sebenarnya ingin saya capai".

Modal spiritual melampaui modal intelektual yang mendasarkan pada paradigma newtonian dan materialisme yang melihat kehidupan secara linear. Dengan modal ini kehidupan dapat dikendalikan dan dikuasai, serta memberi keuntungan dalam bisnis. Modal spiritual juga melampaui modal sosial, yaitu kekayaan material dan keuntungan sosial yang didapat suatu masyarakat dengan mengandalkan sikap saling percaya (trust).

Menurut Zohar, banyak cara sederhana untuk mulai menerapkan modal spiritual di satu perusahaan. Ia memberi contoh sejumlah perusahaan yang menciptakan kebijakan peduli lingkungan serta menyisihkan sebagian modal perusahaan untuk mengembangkan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. "Meski kelihatannya mengeluarkan biaya lebih besar, banyak perusahaan yang tidak sadar bahwa modal spiritual akan mendatangkan kelanggengan bisnis dalam jangka panjang."

Tentu saja modal spiritual juga dapat diterapkan dalam kehidupan masing-masing manusia. Hal-hal sepele namun dapat memberikan keuntungan yang sangat memuaskan, yang tidak bisa diukur dengan kapital.

Di bawah ini ada dua kisah tentang bagaimana bagaimana seseorang dapat menerapkan modal spiritual dalam kehidupannya.

Pertama, kisah Taufik Pasiak yang membantu dua sahabatnya yang sedang membutuhkan uang.

“Kamis lalu, secara tiba-tiba dua orang kenalan dekat menelepon saya. Ini waktu yang tidak lazim bagi mereka menelepon. Karena itu, saya sangat heran. Biasanya orang yang menelepon tiba-tiba ini kalau bukan hendak berkonsultasi soal penyakit pasti mau [injam uang. Rupanya dugaan saya yang kedua yang benar. Dua kenalan ini bermaksud meminja uang; kenalan pertama untuk mengongkosi mertuanya yang sakit, kenalan kedua untuk membayar bunga atas barang gadaian yang hampir jatuh tempo. Uang yang dipinjam pun tidak banyak dan mereka mohon dalam waktu setengah jam saya dapat memberikannya. Saya bukan orang kaya, apalagi dengan uang berlimpah. Karena itu, saya sedikit defensif dan kaget. Syukur, pikiran waras saya mengatakan bahwa orang-orang ini harus dibantu karena saat ini mereka memerlukannya. Kalau ditunda, seberapa pun uang yang saya berikan, tidak lagi bermakna. Mereka butuh hari ini karena itu harus saya berikan hari ini juga.

Singkat kata, uang yang diberikan saya anggap tidak dipinjam, tetapi hadiah dari saya bagi mereka. Saya sedikit plong karena tidak memberikan utang pada orang lain dan membuat kesulitan bagi mereka ketika ditagih. Pun bagi saya yang menagih. Dalam pikiran saya juga berkelebat banyak kejadian serupa yang memberikan hikmah sangat besar. Saya beroleh banyak keuntungan, yang bukan material, untuk sesuatu yang pernah saya berikan.”

Kedua, kisah yang saya kutip dari kisah yang dituturkan Ary Ginanjar, pengarang ESQ.

“Ada kisah menarik dari Dr Sheikh Muszaphar angkasawan Malaysia, satu-satunya orang Melayu yang pergi ke angkasa. la terpilih dari 11000 orang. Ketika turun ia tersenyum bahagia dan berkata, "Di angkasa saya menemukan jati diri saya. Selama ini saya mencarinya dengan pergi ke Kamboja, Afghanistan, untuk kegiatan kemanusiaan, namun saya selalu merasakan kekosongan yang tidak saya mengerti. Di Angkasa saya melihat keindahan ciptaan Tuhan hingga menyentuh saya secara spiritual. Saat ini saya tidak lagi melihat hal kecil dalam kehidupan, saya bicara kemiskinan, kemelaratan, perdamaian dan persoalan dunia yang kini menjadi rumah saya."

Tidak ada komentar: