Jalan yang aku tempuh adalah jalan sunyi. Jalan yang jarang dilalui orang. Tidak semua orang suka dengan jalanku. Barangkali tidak popular dan tidak biasa. Barangkali tidak menjanjikan apa-apa, selain kesunyian. Entahlah. Yang jelas demikian faktanya. Di antara sekian banyak teman-temanku, mulai dari teman SD, MTs, MAK, hingga PT, sepengetahuanku tidak satu pun ada yang menempuh jalan sepertiku. De facto. Merek lebih memilih jalan lain, yang ramai, dan menjanjikan. Ya, menjanjikan segala sesuatunya.
Tetapi, mengapa aku memilih jalan sunyi itu padahal jelas-jelas banyak orang tidak menempuhnya?
Hingga saat ini aku belum mendapat jawaban yang mantap. Paling-paling aku hanya bisa menjawab, bahwa aku memilih jalan itu karena sesuai dengan karakter dan kepribadianku. Ya, begitu saja. Bisa saja aku memilih jalan yang banyak ditempuh layaknya kawan-kawanku juga, karena secara kualitas keilmuan, kapabilitas, tidak jauh berbeda dengan mereka. Tapi, ya itu tadi, sebagaimana yang aku sebutkan di atas, tidak cocok dengan karakter dan kepribadianku.
Meski jalan ini jalan penuh kesunyian aku harus menempuhnya, karena sudah menjadi pilihanku. Aku telah memilihnya, maka aku harus bertanggungjawab. Jadi, aku tidak boleh mengeluh (paling tidak jangan mengeluh terlalu banyak, haha), dan tidak pula bersedih karena kondisi itu. Mengapa aku mengatakan demikian, karena keluhan dan kesedihan sering aku rasakan di jalan ini. Jalan ini begitu terjal, penuh kerikil, bebatuan, dan lubang yang menganga, yang membuatku sulit berjalan cepat, dan harus hati-hati dalam melangkah. Semua keadaan itu menggoda aku untuk marah, mengeluh, menggerutu, sumpah serapah, dan hal-hal negatif lainnya.
Aku harus yakin bahwa jalan ini adalah jalan menuju keindahan dan kebahagiaan. Aku harus yakin seyakin-yakinnya di ujung jalan sana ada sebuah “dunia” yang penuh pesona, penuh kenikmatan, penuh keindahan, dan penuh kebahagiaan, yang kontras dengan jalan ini sendiri. Itulah “sebuah dunia” yang dijadikan balasan bagiku jika kelak aku dapat sampai di ujung jalan ini. Aku harus yakin bahwa jalan yang kutempuh ini bukan jalan buntu, bukan pula jalan yang penuh kesia-siaan. Aku harus yakin itu.
Mungkin keresahan dan kegelisahan yang kutempuh di jalan ini disebabkan oleh orientasiku juga yang serba kapitalistis, di mana segala hal yang kulakukan harus mendatangkan finansial alias rupiah. Maka jadinya aku resah dan gelisah tatkala gagal meraup uang. Namun begitu, wajar sebetulnya jika aku mempunyai niat dan orientasi ini, karena manusiawi—butuh sandang, pangan, dan papan—terlebih aku sudah beristri dan beranak. Cuma jangan terlalu, itu saja. Jadi, kuncinya ada pada kontrol diri.
Aku sedikit yakin seandainya aku tidak money oriented maka jalan yang kutempuh ini akan penuh dengan kebahagiaan. Lakukan segala sesuatunya sebagai panggilan hidup, sebagai pengabdian pada masyarakat. Betapa tidak, aku akan banyak membantu orang dalam segi pencerahan hidup, penambah wawasan bagi banyak orang, dan “petunjuk” menuju hidup kayak makna. Bukankah itu perilaku terpuji? Sungguh, aku harus yakin dengan hal itu. Keyakinan itu penting karena akan membuat aku percaya diri dalam hidup ini. Keyakinan itu penting karena akan memantapkan jiwa dan ragaku.
Teringat dengan puisi Emha Ainun Nadjib berjudul “Jalan Sunyi”:
Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi
Mendengarkan lagu bisu sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata - kata
Cinta yang tak kan kutemukan bentuknya
Apabila kau dengar tangis di saat lengang
Kalau bulan senyap dan langit meremang
Sesekali temuilah detak - detik pelaminan ruh sepi hidupku
Agar terjadi saat saling mengusap peluh dendam rindu
Kuanyam dari dan malam dalam nyanyian
Kerajut waktu dengan darah berlarut - larut
Tak habis menimpukku batu demi batu kepalsuan
Demi mengongkosi penantian ke Larut
Bagiku yang paling berkesan dari puisi di atas adalah kelompok bait terakhir, yang menggambarkan betapa beratnya orang menempuh jalan sunyi. Segala derita dari waktu ke waktu dia rasakan, dan hanya dia yang merasakannya. Tak ada orang lain, tak ada yang peduli. Ujian datang silih berganti, tak habis-habisnya. Semua itu dia lakukan demi sebuah idealisme, sebuah cita-cita yang didambakannya. Itulah ongkos yang harus dia bayar dengan begitu mahalnya. Jalan sunyi adalah jalan penuh onak-duri. Dan dia menempuh jalan itu.
Di jalan sunyi ini aku seperti tidak menghamba pada siapa pun. Aku merasa menjadi manusia merdeka. Aku tidak terikat oleh apa pun, tidak meruang dan mewaktu. Jalan ramai hanya membuat aku si pejalan sunyi menjadi kering jiwa, mematikan rasa, tidak peka dengan lingkungan. Jalan ini jauh dari hiruk-pikuk. Di jalan ini yang ada hanyalah ketenangan yang bercabang: bisa melenakan dan bisa menyadarkan. Tinggal bagaimana yang menjalaninya.
Aku akan terus berjalan di jalan sunyi ini, karena aku merasa membuatku menemukan nurani.
4 komentar:
aku suka. semoga terus berlanjut, Mas. ada vibrasi dalam diriku saat membaca ini. jalan sunyi. alam dan kehidupan ini yang akan menguji.
...jalan yang sunyi pada hakekatnya adalah perjalan rohani dengan tidak mengabaikan sisi jasmani sebagai manusia sewajarnya, metodenya adalah hanya kemampuan kita membalance sisi jasmani dan rohani keduanya bisa berjalan bersama dan tidak saling berbenturan, kita tak lagi perlu bertapa di gua yang sunyi namun bisa melakukannya di tengah pasar yang ramai dan penuh sesak...menjadi Raja sekaligus Abdi....amin
Barakalllah
Izin mengutip kalimatnya. Terimakasih
Posting Komentar