Sabtu, 19 November 2011

Kapitalis dan Idealis

Di luar hujan lumayan lebat. Aku kehabisan ide mau berbuat apa. Membaca sudah, menulis (mengedit) juga sudah. Rasanya mau ngapa-ngapain agak malas. Akhirnya, kunyalakan notebook dan kubuat secangkir teh hangat. Dalam pikiranku saat menyalakan notebook bukan untuk menulis buku atau pun resensi, tapi mau menulis catatan harian saja. Entah kenapa, menulis catatan harian (cathar) atau biasa disebut diary begitu mengasyikkan. Tak pernah bosan. Bahkan ada perasaan lega, puas, senang, dan perasaan positif lainnya.


Tentu ini harus disyukuri, karena jarang-jarang juga aku melakukannya pada saat banyak pekerjaan. Terutama saat aku bekerja di kantoran. Jadi, mumpung masih banyak waktu luang, maksudku waktu yang tidak terikat, aku harus menggunakannya untuk menulis diary. Terserah apa saja yang hendak aku tulis. Anggap saja sebagai sampah.

Jadi tak perlu dipikirkan bermutu atau tidak tulisannya, bagus atau tidak bahasanya, yang penting menulis. Ya, menulis segala unek-unek dalam otak dan hati. Unek-unek bisa dari diri sendiri maupun orang lain, baik yang dirasakan sendiri maupun dirasakan orang lain, baik kisah sendiri maupun kisah orang lain. Dari mana saja dan apa saja.

Namun, ada baiknya memang tulisanku harus dibagi dua, satu sisi ada yang diarahkan, dan sisi lain ada yang dibebaskan. Maksudku, satu sisi bisa dijadikan bahan buku, sisi lain bisa memplongkan pikiran dan perasaan. Satu sisi kapitalis, sisi lain idealis, ha-ha-ha. Jadi, dua sisi ini memang tidak bisa dipisahkan dalam diriku. Keduanya sama-sama tumbuh, dan sama-sama membawa masalah dalam hidupku, he-he-he. Lho, kok masalah? Mari aku perlihatkan.

Tak dapat dipungkiri, kalau aku mencari nafkah memang dari menulis. Itu fakta. Tapi, aku juga masih mempunya sisi idealisme, yakni tetap setia pada jalur ini. Banyak godaan ingin bekerja pada hal yang lain, tapi aku menepisnya. Aku ingin bekerja yang masih berhubungan dengan dunia tulis-menulis. Utamanya lagi, aku ingin bekerja sebagai penulis, dan menulis yang aku sukai. Itu idealisme aku. Aku pernah menjadi guru, pernah juga menjadi dosen, pernah juga menjadi penjaga taman bacaan, tapi entah kenapa aku tidak merasa cocok.

Dan aku merasa cocok pas kerja di bidang tulis-menulis. Tapi, lha kok masih ada ‘tapi’nya? Bukankah sudah sesuai dengan idealisme-ku? Nah, ternyata aku pun tidak cocok dengan menjadi pekerjaan kantoran. Aku pernah kerja di penerbitan, di mana aku harus ngantor tiap harinya. Ternyata, aku merasa jenuh kerja di kantor. Monoton banget. Akhirnya aku minta resign saja. Payah memang diriku ini. Tapi mau bagaimana lagi? Jadi, yang paling cocok bagiku adalah menulis di rumah/kos, ha-ha-ha. Aku merasa bebas dan leluasa.

Cuma masalahnya aku kadang tidak disiplin, tidak mendapat kepastian finansial dari apa yang kutulis, dan banyak menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak produktif. Aku kebanyakan melakukan yang bernilai 20 % dan tidak melakukan yang bernilai 60%--jika menggunakan pembagian waktu berrdasarkan hukum Pareto. Inilah PR-ku. Dan sampai saat ini aku masih ngisi PR tersebut setiap hari. Semoga aku bisa menyandingkan dengan indah antara kapitalis dan idealis dalam hal tulis-menulis. Semoga pilihanku tidak keliru, ha-ha-ha. Semoga sukses bagiku. Semangat.

Yogyakarta, 19 November 2011, pkl. 16.27, saat turun hujan dengan deras, dan aku menyesap teh hangat. Hmm…

Tidak ada komentar: