Menumbuhkan kesadaran tentang relasi gender yang adil bukanlah hal mudah. Terlebih lagi jika harus berhadapan dengan kultur dan kebudayaan masyarakat patriarkhi, khususnya dalam kehidupan rumah tangga.
Di sisi lain, agama seringkali dijadikan legitimasi atas konstruksi perempuan, di mana hal ini berimplikasi pada berbagai tindak kekuasaan terhadap perempuan.
Pesan suci agama diturunkan oleh Tuhan melalui utusan-Nya, dengan harapan pesan-pesan-Nya menjadi suatu pemecah masalah atas segala problematika hidup. Namun justru tak jarang agama malah dianggap sebagai bagian dari masalah itu sendiri. Islam yang pada dasarnya menjunjung tinggi persamaan dan keadilan umat manusia, malah dijadikan alat untuk turut serta memperkuat konstruksi perempuan dan seksualitas yang timpang.
Salah satunya adalah penafsiran Alquran surat an-Nisa (4): 34, yang ditafsirkan secara tekstual tanpa melihat problem sosial pada saat ayat tersebut diturunkan. Ayat tersebut dipahami bahwa laki-laki sedikit diberi kelebihan atas perempuan, karena mencari nafkah. Oleh karena itu, di saat sang istri melakukan yang tidak terpuji, atau tidak taat kepada suaminya, maka seorang suami dibolehkan melakukan pisah ranjang, bahkan kalau perlu melakukan pemukulan atas istrinya. Dengan penafsiran umum seperti itu “pemukulan” dianggap sebagai satu media yang disahkan oleh agama. Oleh karena itu, pemukulan yang sejatinya satu bentuk kekerasan, dijadikan alat legitimasi untuk mengkonstruk kekerasan rumah tangga, dengan dalih “izin” agama.
Menurut Mansour Faqih (2003) bahwa dalam realitas masyarakat yang patriarkhis, perbedaan gender seringkali melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan yang menimpa perempuan, di antaranya: marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi); subordinasi (penganggapan tidak penting); stereotip (pelabelan negatif); violence (kekerasan); dan double burden (beban ganda).
Potret di atas diangkat oleh Abidah el-Khalieqy dalam novelnya Perempuan Berkalung Sorban (PBS) (2008) yang beberapa waktu lalu versi filmnya juga muncul dengan judul yang sama. Abidah, seorang sastrawan terkemuka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, dengan berani mengungkap segala pikiran yang merupakan ide pemberontakannya terhadap konstruksi tentang perempuan yang diajarkan dalam lingkungan pesantren dengan segala kulturnya yang telah lama melembaga.
Novel PBS menceritakan tentang perjuangan perempuan dalam melawan keterkungkungan kekuasaan yang menempatkannya pada kedudukan yang lebih rendah dibanding laki-laki. Kenyataan yang dihadapi oleh perempuan seperti di atas selalu dikatakan oleh pemegang kuasa bahwa itu merupakan ajaran agama yang dianutnya.
Konstitusi perempuan yang berimplikasi pada kekuasaan terhadap perempuan sebagaimana tergambar dalam novel ini diwakili oleh tokoh Annisa yang berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW, merupakan sosok yang agung, pilihan Tuhan, yang sangat menghargai, menghormati, menyayangi, dan mengagungkan kaum perempuan. Pertanyaan yang selalu menggelisahkan hatinya adalah kenapa kini sepeninggal Rasul ada jurang yang amat lebar antara kehendak Nabi dengan pemahaman dan prilaku umat Islam? Mengapa juga terjadi kesenjangan antara cita-cita ideal Islam dengan realitas umat Islam dalam memandang dan memperlakukan kaum perempuan?
Novel ini bercerita seorang perempuan dari sebuah keluarga santri di Jawa Timur yang bernama Annisa. Sejak kecil ia sudah berhadapan dengan kenyataan bahwa sebagai anak perempuan dalam beberapa hal orangtuanya membedakan ia dengan saudara-saudaranya yang laki-laki. Perbedaan ini dapat ditemuinya dalam cara bagaimana orangtuanya menerimanya sebagai anak perempuan, memperlakukan dirinya dalam kehidupan sehari-hari, dan hal-hal lain yang dinilai oleh orangtuanya sebagai sesuatu yang tidak boleh atau tidak pantas dilakukan olehnya, karena ia perempuan.
Annisa dikaruniai kecerdasan, namun tidak dibarengi dengan kesempatan yang diberikan orangtuanya dalam upaya mengembangkan dirinya. Ayah Annisa adalah seorang kyai terpandang di desanya, mempunyai pondok pesantren khusus anak perempuan. Ibunya berharap kelak Annisa akan dapat menggantikan posisi ayahnya dalam mengelola dan mendidik pesantrennya. Tapi, ia lebih suka bersekolah. Ia senang belajar segala sesuatu yang baru seperti membaca buku dan puisi, memancing, menunggang kuda dan berpetualang. Namun kesempatan untuk belajar juga harus banyak tersita oleh keharusannya sebagai anak perempuan untuk membantu ibunya di dapur.
Annisa dengan ketajaman otaknya selalu gelisah dengan berbagai pertanyaan yang kerap mengganggunya seperti kenapa ia diperlakukan demikian oleh keluarganya, kenapa ia harus bersikap sebagaimana digambarkan oleh orangtua dan lingkungannya, kenapa ia harus memakai kerudung, dan banyak hal yang tidak ia terima dari banyak literatur kitab-kitab yang diajarkan di pesantrennya yang telah dianggap sebagai kebenaran agama dalam memperlakukan dan melihat perempuan.
Saat umur sepuluh tahun ia harus menikah dengan Samsudin, seorang anak kyai sahabat ayahnya. Ironisnya, bukan kebahagiaan yang didapatnya, namun justru penderitaan fisik dan mentalnya secara terus menerus ia harus telan sendiri tanpa tahu kepada siapa ia mengadu. Dan seiring usianya berjalan disertai kehidupannya yang penuh liku dan dilema membuat dirinya belajar dari situ. Akhirnya ia pun berhasil berontak melalui pendidikan.
Novel PBS ini menunjukkan bahwa perempuan dikonstruksikan sebagai makhluk kedua, makhluk yang kurang akalnya, kurang agamanya, dan diciptakan untuk laki-laki. Konstruksi perempuan seperti itu ternyata berimplikasi pada berbagai bentuk kekerasan, sebagaimana dialami tokoh Annisa tersebut. Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dialaminya diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan psikologis, deprivasi ekonomi, kekerasan seksual, dan diskriminasi.
Novel ini mengandung pesan bahwa tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri dan harus dihargai setinggi-tingginya jauh lebih tinggi dari sekadar rasa malu untuk lari dari kekerasan rumah tangga yang menimpanya atau karena harus menjanda. Selain itu, perempuan juga harus dapat membuat pilihan dan menyiapkan diri untuk maju dan mandiri serta tidak bergantung pada laki-laki. Salah satunya adalah dengan pendidikan. Melalui pendidikan perempuan mempunyai kesempatan untuk mendapat kehidupan yang lebih baik.
Masalah relasi gender yang kemudian berimplikasi pada kekerasan terhadap perempuan ini memang layak mendapat perhatian yang lebih, lantaran masih saja dijumpai di sekitar kita, bahkan boleh jadi hampir setiap hari selalu ada sebagaimana dapat kita lihat di media informasi, baik cetak maupun elektronik.
2 komentar:
Mas, settingan jamnya gak salah kan? perasaan pagi tadi saya buka blog mas iqbal belum ada tulisan tentang ini?
Hm..ternyata settingan hari/tanggal dan waktunya memang salah... sekarang kan sudah tanggal 2 februari 2009, jam 13.15 wib.
So, segera perbaiki ya...
Oya, barusan tadi saya baca tulisan mas iqbal yang doeloe-doeloe. Bagus-bagus! ;)
Posting Komentar