Resensi ini dimuat di surat kabar Koran Jakarta (Rabu, 18 Februari 2009)
-------------------------
Judul: Keberanian Bernama Munir:Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir
Penulis: Meicky Shoreamanis Panggabean
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Desember 2008
Tebal: 277 hlm.
--------------------
Angka tahun masehi sudah memasuki 2009. Artinya, lima tahun sudah berlalu kasus Munir. Namun semenjak kematiannya, kini kasus Munir masih saja menggantung. Kasus tersebut berhenti pada Pollycarpus sebagai tersangka. Hal ini menyisakan tanda tanya bagi sebagian besar orang, mungkinkah Pollycarpus seorang diri mengatur kejahatan itu? Sekali lagi, mungkinkah?
Tapi, baiklah, pertanyaan itu kita serahkan saja pada pihak-pihak yang berwenang untuk menjawabnya. Bagi kita saat ini yang paling penting adalah apa yang bisa kita ambil dari mendiang pribadi Munir? Terutama, rahasia apa di balik keberanian Munir dalam memperjuangkan kaum tertindas? Salah satunya adalah melalui buku ini.
Buku karangan Meicky Shoreamanis Panggabean ini mempunyai perspektif berbeda ketimbang buku-buku lain perihal Munir yang sudah ada. Buku ini lebih memotret personalitas Munir dalam kehidupan sehari-hari, mulai sejak kecil hingga dewasa, serta pandangan ia atas beberapa persoalan hidup.
‘De Mortuis nil nisi bonum’, begitulah bunyi sebuah ungkapan Latin, yang bermakna bahwa ‘katakan hanya yang baik saja bagi mereka yang telah mati’. Nampaknya, ungkapan tersebut tidak berlaku untuk disandangkan pada buku ini. Kenyataannya, buku ini memang cukup berimbang dalam menyampaikan sosok almarhum Munir. Sang penulis tidak hanya memotret sisi kelebihannya saja dari sosok Munir, melainkan juga sisi kekurangannya. Oleh karena itu, buku ini bisa diibaratkan sebagai sebuah cermin Munir yang menggambarkan dirinya sebagaimana adanya. Justru, di sinilah sebetulnya keunggulan buku ini, karena ada hal-hal yang kemungkinan besar belum diketahui oleh publik mengenai sosok Munir.
Ada satu ciri yang melekat dari cermin Munir yang sudah diakui oleh semua orang, yaitu keberanian. Munir dikenal sebagai sosok yang berani pada siapa pun, tak terkecuali pada pemerintah (beserta kepolisian dan TNI). Dengan bendera KontraS (Komite untuk Orang-orang Hilang dan Tindak Kekerasan) ia melawan penguasa yang menindas kaum dhu’afa (baca: lemah), seperti para buruh dan petani, serta korban penculikan. Keberanian itulah yang kemudian menjadikan dirinya terpilih sebagai sebagai Man of the The Year 1999 versi majalah Ummat dan The Right Livelihood Award di Swedia (2000), serta penghargaan lainnya.
Penulis buku ini, Meicky Shoreamanis Panggabean, adalah seorang guru dan mantan relawan KontraS saat Munir masih hidup. Oleh karena itu, tulisannya banyak mengungkap hal-hal keseharian Munir. Meicky dengan mudah mewawancarai Munir maupun orang-orang terdekat Munir sebagai narasumbernya. Buku ini juga banyak dihiasi beberapa wawancara eksklusif baik dengan Munir maupun orang lain yang terkait dengan hal-hal sederhana, yang mungkin belum pernah ditulis dalam buku mana pun sebelum ini.
Misalnya, siapa saja yang berperan dalam kehidupan Munir sehingga ia terbentuk menjadi pribadi yang fenomenal. Betapa peran ayah-ibu, kakak-kakak, lingkungan, sekolah, guru, istri, anak-anak, dan sahabat-sahabatnya membentuk kepribadian Munir. Hal itu menyiratkan ternyata ada begitu banyak silent heroes (pahlawan tak dikenal) dalam hidup Munir.
Buku yang mencatatat personalitas Munir ini menginspirasikan kita untuk peduli atas kehidupan bermasyarakat dan berani melawan ketidakadilan. Sebenarnya, Munir seperti halnya kita, mempunyai rasa takut, tapi ketakutannya itu dinalar, lalu dikalahkan. “Aku harus bersikap tenang walaupun takut … untuk membuat semua orang tidak takut. Normal, sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang nggak takut, cuma yang coba aku temukan adalah merasionalisasikan rasa takut …” (hlm. 61).
Selain pandangan di atas, ada hal menarik dari beberapa pernyataan lainnya yang diutarakan Munir mengenai subjek lain. Tentang cinta, misalnya, ia mengatakan tanpa cinta, manusia hanya sekadar hidup, bukan bertumbuh. Tanpa cinta, manusia hanya sekadar bergerak, bukan berkembang. Coba kita simak langsung pandangan dia selanjutnya tentang cinta, perkawinan, dan jodoh. “Kawin itu bukan cita-cita, melainkan sesuatu yang datang sendiri dan nggak bisa dihindari. Kawin datang ketika cinta dan kontraktual untuk bersama ditemukan. Cinta dan perkawinan itu bukan soal fisik, melainkan kebenaran dalam kejujuran menemukan kesesuaian. Ok, jangan berdoa untuk dapat jodoh, tapi berdoalah untuk kebenaran. Karena di situ, cinta akan ditemukan” (hlm. 80-81).
Buku ini pun dilengkapi pelbagai pandangan orang-orang terhadap sosok Munir, mulai dari ibunya, kakak dan adiknya, koleganya, dan istrinya. Anisa, kakak Munir, bercerita tentang sifat Munir masa kecil, “Munir nggak nakal, tapi kalo diganggu, dia nggak keberatan untuk berkelahi. Tapi nggak pernah inisiatif duluan”. (hlm.92). Sedang Jamal, adik Munir, menceritakan, “Dia itu berantemnya profesional, bukan berantem sembarangan. Berantemnya itu spesifik, dia nggak bisa melihat sesuatu yang nggak benar menurut dia. Dia berani, apa pun risikonya, walaupun berantemnya nggak seimbang.” (hlm. 93).
Di mata sang istri, Suci, Munir adalah sosok seorang suami yang begitu mengesankan. Suci bercerita, “Dia adalah seorang ayah bagi anak-anakku. Dia sangat akrab karena pada saat-saat tertentu dia memandikan anak saya, menyuapi anak saya. Bangun pagi, kami nggak langsung bangun, tapi bercengkrama di kamar tidur. Anak-anak berkumpul di dalam kamar terus kita bercanda. Yang paling dia sukai itu memeluk dari belakang. Memeluk anaknya, memeluk istrinya” (hlm. 128). Bahkan tidak hanya itu, di setiap hari libur, Munir mengajak istri dan anak-anaknya menonton, memutar musik keras-keras sambil mengajak anak-anak dan istrinya berjoget.
Kisah kesaksian Suci di atas menyiratkan bahwa sosok Munir bukan hanya keberanian saja yang dapat kita teladani, tetapi juga keharmonisannya dalam keluarga. Semoga kedua hal itu dapat menginspirasi tunas-tunas Munir-Munir muda di Indonesia ini.
1 komentar:
"...di setiap hari libur, Munir mengajak istri dan anak-anaknya menonton, memutar musik keras-keras sambil mengajak anak-anak dan istrinya berjoget..."
hm..gimana kalau kata "munir"nya diganti dengan kata "iqbal"? he..he...
semuga cepet dapet baby yang pintar,lucu n nggemesin.
Posting Komentar