Ijtima' Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia yang ketiga di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 25 Januari 2009 akhirnya memilih hukum makruh untuk merokok. Yang diharamkan merokok adalah anak-anak, remaja, wanita hamil, dan merokok di tempat umum.
Soal fatwa haram merokok bisa dinilai sesuai bidang MUI. Benarkah demikian? Sudah tepatkah fatwa haram rokok yang dikeluarkan MUI tersebut? Mari kita kaji lebih mendalam.
Selama ini, umat Islam mengenal hukum merokok berada pada wilayah khilafiyah (perbedaan pandangan). Hukum yang tidak dari nash, baik qath’i (pasti) ataupun zanni (dugaan), dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalil fiqh itu adalah: Alquran, Hadist, Ijma’ mujtahidin dan Qiyas. Dan sebagian para ulama juga menambahkan Istihsan, Istidlal, ‘Urf dan Istishhab.
Berdasarkan kaidah di atas (bahwa tidak ada nash yang mengharamkan merokok), tidak sedikit dari para ulama sendiri yang condong ke pendapat mubah (boleh) tentang rokok, walau banyak juga yang memakruhkannya. Ini dapat kita buktikan dengan tidak sedikit pula para ulama yang juga berstatus sebagai perokok aktif.
Kebijakan (baca: fatwa) MUI atas penetapan hukum ini dinilai merugikan beberapa pihak. Pertama, fatwa tersebut akan memunculkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi para pekerja di bidang perokokan. Perusahaan rokok, misalnya, memastikan akan memberhentikan sedikit-banyak karyawannya. Padahal buruh pabrik rokok tidak sedikit. PT Patria Adikarsa—perusahaan rokok di Kulonprogo, misalnya, salah satu mitra PT HM Sampoerna saat ini memiliki buruh sebanyak 1.465 orang. Total produksinya pun cukup tinggi, yakni 1,9 juta batang per hari.
Keresahan serupa juga dialami pedagang tembakau yang setiap hari mampu menjual tembakau hingga lima kilogram, dengan keuntungan lebih dari Rp20 ribu. Belum lagi petani tembakau, mereka pun akan jadi korban fatwa tersebut. Dan masih banyak lagi.
Melihat kegelisahan itu, muncul pernyataan dari pihak MUI bahwa pekerja industri rokok tidak perlu terlalu cemas. Fatwa haram itu hanya ditujukan untuk kalangan terbatas seperti ibu hamil, dan anak di bawah umur. Sekretaris MUI, Ikhwan Syam mengatakan memang banyak pihak yang meminta rokok itu diharamkan, kendati demikian masih banyak hal yang harus dipertimbangkan seperti manfaatnya dari segi pajak bea cukai rokok, lahan pekerjaan yang luas, dan segi manfaatnya tembakau tumbuh subur di Indonesia, dan memberikan banyak kesempatan penghasilan bagi petani.
Selesaikah kegelisahan masyarakat dengan pernyataan di atas? Mari kita lihat poin kedua, bahwa masih ada kesan bias di dalam formula fatwa itu sendiri.
Ada dua bias yang sangat terlihat yakni: pertama bias gender, seperti mengapa hanya wanita hamil yang diharamkan merokok—tidak beserta suaminya sekaligus. Padahal menurut hasil riset kesehatan, seorang perokok pasif justru mendapatkan pengaruh yang lebih buruk ketimbang seorang perokok aktif. Seorang istri yang sedang hamil, duduk di sebuah ruangan privat (bukan area publik yang diperkenakan merokok berdasarkan fatwa tersebut) bersama suaminya yang merokok—juga akan membahayakan kesehatannya dan janin yang dikandungnya.
Kedua, bias terhadap proteksi kesehatan itu sendiri. Sebagai contoh, larangan merokok bagi anak-anak di bawah umur. Di tengah-tengah sebuah keluarga yang anggota keluarga dewasanya merokok, tentu fatwa ini tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kesehatan si anak karena anak tetap akan menjadi perokok pasif, yang notabene risikonya lebih besar dari perokok aktif. Idealnya MUI juga mempertimbangkan bahwa pria, sebagai kepala keluarga, dan orangtua memiliki peran yang sentral di dalam membentuk sebuah konstruksi pola hidup sehat keluarga sehingga pengaturan terhadap budaya merokok pria seharusnya lebih ketat lagi.
Oleh karena itu, sangat jelas fatwa tersebut bias gender, ambigu, dan tidak logis. Fatwa tersebut menimbulkan kesan perempuan dianggap sebagai penyebab tidak sehatnya janin yang dikandung, padahal fenomena wanita merokok tidaklah banyak dan bukan satu-satunya penyebab ketidaksehatan janin. Dan justru, seringkali perempuan malah menjadi korban karena harus ikut menghirup asap rokok yang dinikmati laki-laki, karena, misalnya, perempuan hamil tidak merokok, tapi kondisi di sekelilingnya banyak perokok.
Harapan saya, semoga ke depan, MUI benar-benar dapat menghasilkan fatwa yang cerdas baik secara sosial, psikologi, maupun gender. Karena saat ini opini yang berkembang adalah adanya tujuan dari dikeluarkannya fatwa tersebut. Jika saja karena adanya pesanan dari pihak manapun, maka hal ini menjadi sangat menakutkan.
Untuk itu, dalam rangka pencerdasan MUI, ada tawaran menarik dari Khaled Abou El-Fadl, bahwa dalam penetapan hukum Islam harus memenuhi lima syarat penting, yaitu: kemampuan dan keharusan seseorang, kelompok, organisasi, atau lembaga untuk mengontrol dan mengendalikan dirinya, bersikap jujur, sungguh-sungguh (dalam berijtihad), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (komprehensif, menyeluruh), dan menggunakan rasionalitas berpikir. Kelima syarat itu sangat berfungsi untuk membatasi peran para wakil khusus, dan kemungkinan penyalahgunaan otoritas dan kesewenang-wenangan akan bisa dicegah.
Wallahu a’lam.
2 komentar:
Analisis yang cerdas, mas Iqbal. Btw, saya tidak terlalu tahu tentang hukum islam. Tapi yang saya tahu bahwa hukum itu pastinya akan membawa manfaat bagi umat. Namun di sisi lain, tidak dimungkiri ada sisi negatifnya. Terkait fatwa rokok ini misalnya, kita semua sepakat bahwa rokok sangat berbahaya bagi kesehatan sehingga bila MUI mengeluarkan fatwa harama, bagi saya itu sangat beralasan. Namun, negatifnya juga ada, seperti yang mas Iqbal sebutkan di atas.
Saya hanya ingin berpendapat bahwa bila MUI berfatwa, haruslah yang lebih banyak manfaatnya dibanding kerugiannya.
Saya sangat setuju dengan mas iqbal, harusnya para Ayah dan para suami juga turut menjaga dan memberi uswah yang baik untuk istri dan anak-anaknya. Dan yang belum menikah? untuk calon istrinya he..he...
Posting Komentar