Padi tumbuh dalam kesunyian, sejak hijau hingga menguning. Dia tidak banyak "bicara" dan gembar-gembor untuk mempersiapkan kematangannya. Dan saat matang dia justru merunduk. Semakin berisi semakin tunduk. [iqbal.dawami@gmail.com]
Senin, 17 November 2008
Nilai-Nilai Edukatif dalam Film Laskar Pelangi
Film Laskar Pelangi menjadi sebuah fenomenal. Kehadirannya begitu memukau di semua kalangan. Masyarakat begitu antusias menontonnya. Entah hanya sebagai hiburan, ikut-ikutan menonton, atau bahkan mengapresiasinya.
Tak terkecuali di kalangan pendidik. Mengapa bisa demikian? Film ini memang tidak hanya berkualitas dari sisi perfilman dan hiburan, tetapi juga dari sisi pesan yang hendak disampaikannya. Pesan moralnya begitu kuat. Paling tidak ada tiga hal besar pesan pentingnya: Optimisme, semangat belajar, dan semangat mengejar cita-cita.
Film Laskar Pelangi merupakan film yang diadaptasi dari novel karya Andrea Hirata dengan judul yang sama, Laskar Pelangi (Bentang Pustaka, 2005). Film ini disutradarai oleh Mira Lesmana dan Riri Reza yang menggambarkan sekelumit sisi lain (yang ironis) dari dunia pendidikan di Indonesia. Adapun setting film tersebut pada tahun 1970-an di tanah Bangka Belitung (kadang dieja ‘Belitong’) yang kaya dengan tambang timah, namun mempunyai sekolah SD yang miskin, yaitu SD Muhammadiyah Gantong. Kemiskinan tersebut otomatis disertai pula oleh para siswa yang berlatar belakang kelas bawah.
Meski demikian, para pendidiknya (Pak Harfan dan Bu Muslmah) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan eksistensi sekolahnya. Mereka beranggapan bahwa sekolah tersebut adalah warisan luhur yang harus dilestarikan dan dikembangkan, karena sekolah ini adalah satu-satunya (di tanah Belitong) yang mengajarkan antara ilmu dan agama (baca:akhlak). Dan SD tersebut ternyata mempunyai para siswa yang penuh bakat. Sebut saja, misalnya, Lintang yang cerdas dalam matematika, dan Mahar yang pintar dalam hal seni. Keduanya mengharumkan sekolah mereka saat ada perlombaan antar sekolah SD. Hanya saja kemudian kecerdasan mereka tak bisa tersalurkan akibat himpitan hidup yang memaksa mereka untuk bekerja membantu perekonomian keluarganya.
Guru Sebagai Motivator
Tokoh Pak Harfan dan Bu Muslimah sebagai guru begitu strategis dalam film Laskar Pelangi. Keduanya menjadi inspirasi para siswanya untuk terus bersemangat dalam belajar. Kata-kata mutiara yang sering diucapkan Pak Harfan terhadap anak-anaknya adalah ‘hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya’ menjadi ruh para siswa untuk optimis mengarungi hidupnya. Pak Harfan memberi siswanya pelajaran tentang keteguhan pendirian, ketekunan, dan keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Dia meyakinkan mereka bahwa hidup bisa demikian bahagia jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama. Tak jauh berbeda juga dengan peran Bu Muslimah. Dia menjadi figur ‘ibu’ di sekolah, yang selalu mengayomi para Laskar Pelangi (panggilan untuk kesepuluh siswanya itu).
Dari film tersebut—melalui tokoh kedua pendidik itu—tersirat bahwa sebagai pendidik tidak hanya sekadar mentransfer keilmuan an sich yang terdapat dalam buku-buku, melainkan juga membantu para siswanya untuk menjadi dirinya sendiri sesuai dengan bakat dan minatnya. Tidak berhenti di situ saja, seorang guru pun harus menjadi motivator para siswanya, agar para siswa bersemangat dalam belajar, mengejar cita-cita, dan berbuat baik, serta rendah hati. Dus, saya tekankan sekali lagi bahwa kedua pendidik tersebut, yaitu Pak Harfan dan Bu Mus, bukan sekadar mengajari para siswanya tentang materi pelajaran yang didapat dari buku-buku kurikulum, tapi juga mengajarkan budi pekerti dan memberi tauladan yang baik dari kehidupan nyata.
Begitulah idealnya seorang pendidik atas anak didiknya. Kehidupan abstrak yang didapat dari teori-teori pengetahuan dan kehidupan konkrit yang didapat dari kenyataan hidup harus secara beriringan pada saat ditransfer kepada para siswanya. Maka, dengan kata lain bahwa pendidikan sejatinya menghilangkan jarak antara alam materi dan alam konkrit, antara dunia teori dengan dunia nyata. Dengan begitu, diharapkan peserta didik mempunyai visi ke depan, sehingga ia dapat merencanakan hidupnya di masa depan.
Pelajar Sejati
Anggota Laskar Pelangi adalah para pelajar sejati. Betapa tidak, mereka tetap bertahan untuk melangsungkan pembelajaran di sekolah yang sesungguhnya tak layak untuk ditempati. Mereka benar-benar teruji sebagai pelajar sejati, lantaran tak kalah dengan keadaan. Maka cita rasa pendidikannya pun akan lain dengan keadaan sekolah yang serba mewah. Kearifan hidup tak terasa di sekolah yang serba memanjakan siswanya. Inilah sesungguhnya yang telah hilang dari dunia pendidikan kita baik tingkat Taman Kanak-Kanak maupun Perguruan Tinggi.
Harus diakui bahwa dunia pendidikan saat ini telah kehilangan makna dan karakternya. Dasar dan falsafah pendidikannya pun hampir tak tersentuh sama sekali. Pendidikan kita saat ini sangat berorientasi pada materialisme, rasionalisme, kapitalisme, dan standarisme (nasional maupun internasional). Para pendidik seperti Pak Harfan dan Bu Muslimah sangat jarang kita temui saat ini. Guru-guru kita telah terjebak pada rutinitas belaka sebagai “guru”, yang hanya menjalankan kewajibannya dan memikirkan pendapatannya saja. Mereka telah kehilangan ruh sebagai pendidik yang sejatinya harus memberi suri tauladan hidup bagi peserta didiknya.
Efek dari seorang pendidik yang memfungsikan dirinya sebagai suri tauladan akan sangat berpengaruh terhadap peserta didiknya. Hal itu bisa kita lihat pada tokoh Pak Harfan dan Bu Muslimah yang memberikan suri tauladan kepada Laskar Pelangi. Pak Harfan sering memberikan kisah-kisah inspiratif dan dorongan positif kepada Lintang dan kawan-kawannya itu, dan Bu Muslimah selalu memperhatikan mereka dengan sepenuh hati yang dilandasi kasih dan sayang. Efeknya adalah mereka tetap semangat belajar walau sekolah mereka minim fasilitas. Mereka juga semangat menjalankan hidupnya, lantaran terlecut kisah-kisah dan motivasi yang diberikan kedua pendidik mereka, Pak Harfan dan Bu Muslimah.
Laskar Pelangi adalah para pelajar sejati yang tak terkalahkan oleh keadaan yang serba minim. Keadaan yang serba kekurangan tidak menghalangi mereka untuk selalu belajar. Mereka tidak saja belajar dalam kelas tetapi juga belajar dari alam yang mengajarkan mereka untuk berbagi kepada sesama. ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
dimuat di mana tulisan ini???
dua minggu lalu aku kirim ke radar banten, tapi belum dimuat juga.aku mo coba kirim ke KR sekarang.Trims
Posting Komentar