Senin, 24 November 2008

Menjadi Pegawai Negeri Sipil, Mau?

Beberapa bulan lalu aku di telpon sama ibuku, “A i-i (panggilan akrabku di keluarga), sebentar lagi ada pembukaan CPNS, syarat-syaratnya segera disiapkan ya, biar nanti pas waktu pembukaan sudah gak perlu repot-repot lagi. Pokoknya harus daftar, entah di mana pun daftarnya. Siapa tahu keberuntungan berpihak pada kamu”.

Aku pun hanya mengiyakan, tanpa memperpanjang jawaban. Apa pasal, jujur saja aku sangat malas untuk daftar CPNS, minimal untuk mengurus syarat-syaratnya, yang membuatku selalu kerepotan, harus kesana kemari.

Terutama berurusan dengan kepolisian dan depnaker. Maksimalnya, tentu saja banyak, misalnya ikut tes CPNS hanya ikut-ikutan, latah, dan partisipan saja. Lha, wong tahun lalu aku pernah ikut. Formasi untuk bidangku biasanya cuma membutuhkan 1 orang. Sedang yang daftar ratusan.


Nah, bulan November ini, tepatnya tanggal 17-21, telah dibuka secara resmi pendaftaran CPNS di berbagai daerah. Banyak teman memberi tahuku prihal pembukaan CPNS tersebut entah lewat email, handphone, maupun saat berpapasan denganku. Begitu juga sebaliknya, beberapa teman maupun kenalan menanyakan formasi di UIN Sunan Kalijaga, yang barangkali ada yang sesuai dengan ijazah mereka. Intinya, mereka begitu antusias adanya pembukaan CPNS ini.

Sarjana Pengangguran?
Sabtu (15 November 2008), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan wisuda priode IV 2008. Mahasiswa yang diwisuda mencapai ratusan dari berbagai fakultas. Beberapa perguruan tinggi lain pun di Yogyakarta mengadakan wisuda juga. Dan barangkali di kota-kota lainnya telah mengadakannya juga. Fenomena wisuda, yang kemudian wisudawan/ti disebut dengan sarjana, yang selalu ada tiap tahunnya dan jumlahnya terus membengkak dari tahun ke tahun membuat pasar tenaga kerja di sektor formal kewalahan dalam menampung semua sarjana tersebut. Akibatnya, sejumlah alumni universitas tersebut harus memperoleh predikat “sarjana pengangguran”.

Nah, fakta tersebut menemukan momentumnya pada saat ini. Salah satu pekerjaan di sektor formal yang diincar para sarjana telah dibuka pada beberapa hari yang lalu, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebagaimana tahun-tahun yang lalu, ribuan lulusan universitas telah mendaftar. Bahkan yang sudah punya pekerjaan sekalipun, mereka turut serta daftar CPNS. Motivasinya hampir bisa ditebak, adalah memberikan keamanan secara finansial, tak tanggung-tanggung seumur hidup. Selain mendapat gaji setiap bulannya, jenjang karir yang menjanjikan, Pegawai Negeri Sipil pun kelak memperoleh penghasilan yang disebut dengan gaji pensiun. Mindset seperti itulah yang bersemayam di banyak benak rakyat Indonesia (Jangan tanya aku apakah aku termasuk di dalamnya juga atau tidak, ha ha ha).

Saya sendiri tak habis pikir, kok tega amat sih (padahal Pak Amat dan Bu Amat aja gak tega ^_^) orang-orang meniatkan mencari ilmu dalam rangka mencari kerja kelak setelah mereka lulus kuliah. Bukankah ini penghinaan terhadap dunia keilmuan dan pendidikan? Pasalnya, jika dunia keilmuan diniatkan dengan mencari kerja, maka alangkah rendahnya kita memandang sebuah ilmu. Aku pikir, tidak ada kaitannya antara kuliah dan pekerjaan. Karena sudah barang tentu, di bangku kuliah kita tidak diajarkan bagaimana meraih finansial.

Terkait dengan hal itu, aku jadi teringat sebuah judul buku yang sangat berani dan melawan mainstream, If You Want To Be Reach Don’t Go To School! karangan Robert Kiyosaki. Sayangnya, aku belum menemukan buku tersebut, baik versi asli maupun terjemahannya (Upss... memangnya sudah ada terjemahannya?). Tapi sedikit berani saya menduga sebagaimana yang aku katakan di atas bahwa di bangku kuliah kita tidak diajarkan bagaimana mendapatkan uang. Jadi, jika anda ingin mencari uang dan kekayaan maka buat apa sekolah/kuliah? Bangku pendidikan bukanlah bangku untuk mencari uang kelak, tapi mencari ilmu dan keahlian. Maka, kalau kuliah diartikan sebagai pencarian keahlian, sehingga kelak untuk mendapatkan pekerjaan, bolehlah, ha-ha-ha… (dasar munafik kau iqbal!)

Entrepreneurship
Temanku, mahasiswa fakultas ekonomi di UGM, pernah mengatakan bahwa pola pikir (mindset) khalayak mahasiswa maupun lulusan mahasiwa selalu saja berputar pada bagaimana kelak mendapat pekerjaan yang nyaman, gaji terjamin, dan segala fasilitas yang sudah disediakan dari pemberi kerja. (Sebaliknya) sangat jarang yang ingin menjadi wirausahawan, yakni dengan membuka pekerjaan di mana dapat membuka pula kesempatan kerja untuk orang lain. Dengan kata lain, mereka telah kehilangan semangat untuk menjadi wirausaha.

Padahal, lanjut dia, secara nasional, kewirausahaan dapat menjadi pendorong kemajuan ekonomi suatu bangsa. Mengutip pendapat Prof Didik J. Rachbini, masalah kewirausahaan merupakan persoalan paling penting di dalam perekonomian suatu bangsa yang sedang membangun. Jika suatu bangsa tidak memiliki modal manusia ini, maka jangan berharap ada kemajuan yang berarti pada bangsa tersebut. Begitu pentingnya kewirausahaan, sehingga dianggap sebagai tonggak maju suatu bangsa.

Saya kira ada yang terlupakan oleh sahabatku itu, bahwa para sarjana punya alasan mengapa mereka tidak berwirausaha, yaitu tidak adanya modal. Modal finansial terutama. Harus diakui, modal seringkali dijadikan kambing hitam mengapa orang tidak lantas berwirausaha. Rasional memang. Tapi tidak sepenuhnya benar. Tanpa modal kita memang tidak bisa melakukannya, tapi modal bukanlah segala-galanya. Banyak jalan sesungguhnya jika kita memang berniat untuk berwirausaha. Buku-buku tentang berwirausaha hampir tidak menomorsatukan modal finansial. Mereka lebih menitikberatkan pada kemauan yang kuat, dan keahlian, serta saudara-saudaranya.

Krisis Ekonomi Global Modal Kebangkitan
Saat ini dunia sedang dilanda krisis global, khususnya krisis ekonomi, lantaran negara adi daya Amerika Serikat dirundung paceklik. Indonesia ikut-ikutan kena imbasnya. Payah memang. Beberapa perusahaan tidak bisa mengekspor barang-barangnya. Pun sebaliknya, perusahaan-perusahaan negara lain tidak bisa mengimpor ke negara kita.

Namun hal ini mestinya menjadi pemacu kita untuk bangkit. Haryanto Adikoesoemo, Presiden Direktur PT AKR Corporindo Tbk, yang baru-baru ini dinobatkanan menjadi Ernst&Young Indonesia Entrepreneur of the Year 2008, mengatakan masa-masa kritis seperti ini akan membuat manusia akan menemukan kekuatan baru untuk bangkit yang akhirnya berhasil berdiri di tengah keterpurukan, dalam hal ini tumbuhnya jiwa wirausaha.

Ia lalu mencontohkan pada saat krisis ekonomi tahun 1998 yang dialami Indonesia, justru memunculkan banyak entrepreneur baru akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Pada waktu itu banyak orang banting setir dari sosok manusia 'gajian' menjadi wirausaha termasuk berdagang kaki lima, buka toko, cafe, restoran dan lain-lain.

Tak mudah, tapi tak sulit pula untuk diamalkannya. Beberapa buku yang aku baca mengenai kewirausahaan mengatakan bahwa kunci sukses sebagai seorang entrepreneur harus mempunyai mimpi atau vision, dan juga disiplin, ulet, kerja keras untuk mencapai visi. Sehingga dengan keuletan diharapkan bisa merealisasikan mimpi menjadi kenyataan. Maka, ‘seleksi alam’ sangat berlaku dalam hal ini. Mudah-mudahan aku bisa menjadi entrepreneur sejati yang berhasil diseleksi alam, di mana saat ini aku sedang menggeluti dunia peternakan dan perikanan, di samping mengajar dan menulis. Untuk khalayak pembaca mohon doanya ya.

3 komentar:

Anwar Holid mengatakan...

Tulisan yang OK, kang Iqbal. Menurutku kalau diedit lebih formal sedikit bisa ditawarkan jadi artikel opini.

Wasalam,'

Wartax

M.Iqbal Dawami mengatakan...

Terima kasih kang Wartax atas sarannya. Tapi, aku gak tahu kang media mana yang kira-kira cocok buat opini seperti ini?Lagian mana saja yang perlu diedit? hehe Trims

Anonim mengatakan...

mau donk! hehe... gagasannya bagus, top bgt!
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/