Dalam buku “Approach To Islam In Religius Studies” Rippin menulis essay tentang metodologi yang dipakai John Wansbrough dalam memahami al-Qur'an. Metode yang digunakan Wansbrough dalam hal tersebut adalah metode sastra.
Rippin memulai pembahasannya dengan mengatakan bahwa Yahudi dan Islam adalah dua agama dalam sejarah. Karena dalam kedua agama tersebut Tuhan turut campur atau berinteraksi dalam sejarah untuk merampungkan tujuan-tujuannya.
Mengenai pernyataan ini, Fazlur Rahman berkomentar bahwa apa yang dapat dan tidak dapat dibuktikan oleh penelitian sejarah adalah apakah agama-agama ini telah membuat klaim semacam itu dan berada pada titik tertentu dalam waktu atau tidak.
Oleh karena itu, Rippin telah menggambarkan perbedaan serupa, yaitu mencampuradukan pandangan agama tentang sejarah dan pandangan sejarah tentang agama. Rippin menolak penelitian kesejarahan mengenai “apa yang sesungguhnya terjadi”. Padahal agama mengajukan klaim-klaim seperti itu dapat dan harus diteliti secara historis. Misalnya, kapan klaim-klaim tersebut dikemukakan, siapa yang mengajukannya, dan seterusnya. Bagaimana penolakan atas teologi sejarah meniadakan keniscayaan sejarah teologi itu? Hal yang patut dipertanyakan juga adalah mengapa ketika agama (Kristen, Yahudi, dan Islam) tersebut disebut agama-agama historis dan Hindu, Brahma, dan lain-lainnya tidak?[1]
Rippin mengatakan tentang posisi Islam tidak historis lantaran tidak ada dukungan berupa bukti ekstra literer dalam data arkeologis yang tersedia. Oleh karena itu, Rippin, senada dengan Wansbrough bahwa untuk menghilangkan problem teologis tentang asal usul Islam, menawarkan pendekatan sastra, karena pendekatan historis tidak dapat menyingkirkan problem teologis.[2]
Namun dalam hal ini, Fazlur Rahman mengatakan keampuhan metode historis sudah cukup membuktikan bahwa bahan-bahan historis kaum muslim pada pokoknya asli, dan pengalihan kepada suatu metode analisa sastra yang murni tidak diperlukan.[3] Fazlur Rahman secara nyata memberi contoh konsekwensi jika berhenti pada sejarah dan hanya memakai pendekatan sastra, yaitu perbedaan-perbedaan tertentu dalam al-Qur'an di lihat kronologi periode Mekkah dan Madinah, seperti kisah perselisihan Ibrahim dengan ayahnya. Surat 19:47 (makkiyah) mengatakan bahwa Ibrahim sementara bersahabat dengan ayahnya. Ia mengatakan pada ayahnya bahwa dirinya akan terus berdoa memohonkan ampun baginya. Dan periode Madinah, ketika al-Qur'an memerintahkan kaum muhajirin untuk melepaskan diri dari anggota keluarga dekatnya di Mekkah yang tetap pagan dan terus mencela dan memusuhi muslim. Maka dari itu al-Qur'an mengatakan pada mereka (surat 19:114), “Ibrahim berdoa memohonkan ampun bagi ayahnya hanya karena ia pernah berjanji” (dengan kata lain ia benar-benar telah memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya). Hal ini menurut Fazlur Rahman masing-masing ayat ini cocok untuk lingkungan historis Nabi di Mekkah dan Madinah. Selain itu coba lihat surat 11:27-29, dimana Nuh diminta oleh para “pembesar” kaumnya agar melemparkan pengikutnya yang berkelas rendah sebelum mereka bergabung dengannya adalah sesuai dengan situasi Muhammad pada tahun-tahun terakhir di Mekkah, atau surat 7:85 Syu’aib diutus kepada kaumnya untuk menasihati mereka agar jujur dalam berdagang. Tentu saja ini juga merupakan problem yang dihadapi Muhammad dalam masyarakatnya. Semua contoh di atas memberi kesimpulan bahwa al-Qur'an berhubungan erat dengan aktivitas Nabi.[4]
Rippin membela diri atas paparan yang ditulis Fazlur Rahman bahwa kita tidak tahu dan tidak pernah dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Apa yang oleh kita, lanjut Rippin, dapat diketahui adalah apa yang orang-orang kemudian dipercayai atau diyakini sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi oleh orang-orang kemudian. Ia berkomentar bahwa sumber-sumber sejarah mendukung untuk merekam pertimbangan tentang “apa yang sesungguhnya terjadi”. Keinginan untuk merekam apa yang terjadi pada masa lalu, lanjut Rippin, adalah suatu tugas yang tidak masuk akal atau secara teoritik adalah tugas yang tidak mungkin. Islam memiliki sejarah, tetapi keinginan untuk mencapai hasil positif tidak harus menyebabkan kita mengabaikan sifat-sifat sastra dari sumber-sumber yang ada.[5]
Kritik lain yang dilontarkan Rippin yaitu mengenai studi Islam yang dilakukan Patricia Crone dan Michael Cook. Kata Rippin, mereka tidak mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam sumber-sumber itu karena sumber-sumber tersebut merupakan otentisitas sejarah yang dapat dipertanyakan, dan lebih-lebih sumber-sumber itu adalah karya-karya yang dibangun atas dasar polemik.[6] Lalu dia memperkuat kata-katanya dengan kata-kata Wansbrough:
“Dapatkah sejumlah motif secara bebas dipertimbangkan atas dasar stereotip sastra yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang disusun oleh pengamat asing dan bermusuhan dan setelah itu digunakan untuk menjelaskan bahkan menafsirkan dimana tidak sekadar perilaku lahiriah tetapi juga perkembangan intelektual dan spiritual dari para aktor yang hampir tidak berdosa dan tidak membutuhkan pertolongan?”[7]
Kritik Kodifikasi al-Qur'an
Andrew
Rippin mengamini pendapat Wansbrough bahwa kanonisasi teks al-Qur'an terbentuk pada akhir abad ke-2 Hijriah. Oleh sebab itu, semua Hadis yang menyatakan tentang himpunan al-Qur'an harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut mungkin dibuat oleh para fuqaha untuk menjelaskan doktrin-doktrin syari’ah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikuti model periwayatan teks orisinal pantekosta dan kanonisasi kitab suci Ibrani.[8]
Masih menurut keduanya, untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks al-Qur'an baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Lebih jauh lagi Rippin mengatakan, Al-Qur'an tidak diturunkan kepada satu orang, tetapi merupakan kumpulan atau pengeditan oleh sekelompok orang selama beberapa abad.[9] Jadi, al-Qur'an yang kita baca sekarang tidak sama dengan apa yang ada pada abad ke 7M. kemungkinan merupakan hasil abad 8M dan 9M.[10]
Akibatnya tahap pembentukan Islam tidak berlangsung pada masa Muhammad, namun berkembang selama 200-300 tahun berikutnya. Sumber-sumber materi bagi periode ini, sangat sedikit. Dan di luar dugaan, semua sumber berusia jauh setelah abad 7. Sebelum 750 M tidak ada dokumen yang bisa diverifikasi yang bisa menjelaskan periode pembentukan Islam ini. Periode klasik ini menggambarkan masa lalu tetapi dari sudut pandangnya sendiri, seperti orang dewasa menulis tentang masa kecilnya yang cenderung mengingat hal-hal yang manis saja. Sehingga kesaksian ini bersifat tidak obyektif dan oleh karena itu tidak dapat diterima sebagai otentik.[11]
Menurut Rippin, muslim ortodok percaya penuh bahwa wahyu Islam adalah intervensi ilahi lewat Jibril selama periode 22 tahun, masa yang menetapkan hukum dan tradisi yang akhirnya membentuk Islam. Tetapi hal ini diragukan, kata Rippin, bahwa pada abad ke 7, Islam, sebuah agama yang terdiri dari hukum dan tradisi yang njlimet dibentuk dalam sebuah budaya nomad terbelakang dan berfungsi penuh dalam hanya 22 tahun. Wilayah Arabia sebelumnya tidak dikenal sebagai dunia beradab. Periode ini bahkan dicap sebagai periode jahiliyah. Wilayah Arabia sebelum Muhammad tidak memiliki budaya maju, apalagi infrastruktur yang diperlukan untuk menciptakan keadaan yang mendukung pembentukan Islam. Jadi, bagaimana Islam diciptakan secepat dan serapih itu? Dalam lingkungan padang pasir yang terbelakang lagi.[12]
Asbab an-Nuzul
Dalam karya John Wansbrough yang berjudul Qur’anic Studies:Sorces And Methods Of Scriptural Interpretation, sejumlah tesis dicetuskan mengenai asbab an-nuzul, atau peristiwa-peristiwa pewahyuan. Keseluruhan pandangan Wansbrough salah satunya secara kritis diambil dari as-Suyuti. Materi asbab merupakan poin rujukan utamanya dalam karya-karya yang berusaha untuk mengambil hukum dari teks al-Qur’an, yaitu, karya halakhic. Dia mengemukakan bahwa keberadaan materi asbab sebagaimana ditemukan dalam haggadic atau tafsir naratif, seperti dalam karya Muqatil adalah “kebetulan’, karena, ketika laporan-laporan naratif asbab menjadi anekdot. Mereka tidak bisa memenuhi apa yang Wansbrough pandang sebagai “fungsi esensial’, yang membentuk ‘sebuah kronologi pewahyuan’.
Berdasarkan hal di atas, Andrew Rippin mencoba melakukan investigasi khusus terhadap fungsi dari asbab dalam penafsiran, yaitu untuk mengajukan pertanyaan mengenai apa yang diselesaikan dalam cerita-cerita asbab? Apakah mereka (para penafsir) memberikan sejarah atau penafsiran? Apakah dalam karakternya hal itu merupakan haggadic atau halakhic penafsiran? Petanyaan tersebut ditujukan untuk analisis literal mengenai cerita itu sendiri dan juga dengan melihat penggunaan materi tersebut di dalam teks penafsiran. Pertanyaan yang dikemukakan dalam nada ini adalah sebagai berikut: mengapa di dalam konteks sebuah karya seperti dalam karya at-Tabari materi asbab nuzul dikemukakan? Apa tujuan penafsir mengemukakan hal itu? Apa yang dia harap untuk selesai dengan melakukannya? Apa yang dia lakukan terhadap materi tersebut setelah dia mengemukakannya?[13]
Dalam penelitiannya, Rippin memakai pendekatan yang digunakan Wansbrough, yaitu kritik sastra dan kritik histories. Andrew Rippin membuat frame work investigasinya yang dibatasi pada karya-karya penafsiran yang dihasilkan oleh pengarang Sunni di Arab mulai dari periode awal (yaitu, sebelum abad enam Hijriah), terutama ketika teknik literatur penafsiran benar-benar tidak rumit dan belum kacau. Jangkauan dari karya penafsiran yang disurvey meliputi tipe haggadik cerita periode awal, yaitu karya Muqatil (w. 150/767), Pseudo al-Kalbi (w. 146/763), Sufyan at-Tsauri (w. 161/777), Mujahid (w.104/772), Abd al-Razzaq (211/826), al-Thabari (w.310/922), dan al-Wahidi (468/1075). Adapun poin penggunaan tiga sub-genre tafsir untuk diinvestigasi adalah sangat simpel, karena mereka telah dikemukakan dalam konteks pembahasan sebelumnya mengenai peran asbab an nuzul sebagaimana ditemukan baik dalam karya terkini Wonsbrogh, yaitu Qur’anic Studies dan The Secterian Milieu, tetapi juga sebagaimana diindikasikan dalam pembahasan mengani topik tersebut oleh al-Zarkasy dan Suyuti. Dan yang menjadi fokus Rippin dalam penggunaan teks-teks yang para penafsir adalah memfokuskan pada pertanyaan literatur esensial: Kenapa asbab an-nuzul dikemukakan dalam karya-karya ini? Hasilnya akan memberikan sebuah pandangan mengenai teknik penafsiran atau metode penafsiran literal yang digunakan oleh para penafsir ini.[14]
Setelah melakukan investigasi, Rippin menyimpulkan bahwa asbab al-Nuzul mendapat perhatian karena didasari dari keinginan Umat Islam untuk men’sejarah’kan teks al-Qur’an agar dapat dikatakan bahwa Tuhan benar-benar mewahyukan kitab-Nya pada manusia di dunia ini merupakan bukti perhatian Tuhan pada makhluk-Nya. Hanya saja menurut penelitiannya, Andrew Rippin menyatakan bahwa bidang ini belum mendapat perhatian serius menjadi kajian sejarah dan kontekstual teks dari kalangan umat Islam sendiri. Asbab al-nuzul hanya dicatat dan lalu dibiarkan tanpa ada penjelasan kausalitas. Kesimpulan yang lainnya juga adalah bahwa asbab al-nuzul tidak berada pada zaman nabi, tapi hanya hasil rekonstruksi setelah masa Nabi Saw, dimana salah satunya adalah melalui sunnah maupun hadis, padahal keduanya dalam periwayatannya belum tentu benar dan jujur, ketika seseorang meriwayatkannya, apalagi jika mengingat rentang waktu yang berpuluhan tahun. Namun, Rippin tidak menyadari tentang teori periwayan yang dikenal dalam dunia islam. Bahwa proses periwayatan bukan hanya saja secara lafdzi akan tetapi juga secara maknawi[15]. Inilah saya kira salah satu yang luput dicermati oleh Rippin ketika menyimpulkan hal di atas.
Refleksi Atas Rippin
Betapapun naifnya Rippin terhadap pendekatan sejarah, namun patut juga kita renungkan secara jernih tanpa a priori padanya. Hal itu memang senada dengan pernyataan bahwa semua produk pemikiran dalam khazanah Islam tidak lebih dari produk sejarah yang tidak bisa mengelak dari ruang dan waktu. Tak pernah ada jaminan bahwa sebuah teks betul-betul murni menyuarakan secara utuh apa yang seharusnya dikatakan. Oleh karena itu, tak heran, jika kita dapatkan kritikan tajam dari para orientalis mengenai sejarah yang dipunyai umat Islam, terutama al-Qur'an wama haulahu.
Terakhir, pendekatan sejarah (dan sastra) dalam studi al-Qur'an tidak akan menghasilkan konklusi yang positif dalam pandangan Islam, karena historisme melakukan eksplanasi terhadap obyek penyelidikannya. Eksplanasi dilakukan sebagai pihak outsider (baca:non-muslim). Akibat negatifnya adalah data yang diteliti dengan mudah direduksi untuk mencocokkan dengan kategori-kategori metodologi. Karena itu, ini akan menghasilkan reduksionisme. Inilah yang penulis simpulkan dari catatan Andrew Rippin mengenai pandangannnya tentang sejarah sebagai metodologi kajian Islam, khususnya al-Qur'an.
Wallahu a’lam
----------------------------
[1] Andrew Rippin, Analisis Sastra Terhadap al-Qur'an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John Wansbrough. Hlm. 201. Lihat juga Fazlur Rahman, Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama. Hlm.249. Kedua tulisan di atas ada dalam buku Richard C. Martin (ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, pen. Zakiyuddin Bhaidhawy, (Surakarta: Muhammadiyah University Press), cet.2, 2002
[2] Andrew Rippin, Ibid
[3]Fazlur Rahman, Ibid.
[4]Fazlur Rahman, Ibid., Hlm. 262
[5]Rippin., Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8] http://www. Faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?p=8619
[9]Rippin 1985:155. lihat http://www. Faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?p=8619. Ibid.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Ibid., Rippin, 1990:3-4
[13]Andrew Rippin, “The Function of Asbab an-Nuzul Qur’anic Exegesis”, dalam Buletin of The School of Oriental an African Studies.51, 1988, hlm. 1-20. lihat juga situs www.muhammadanism.com. Dikutip pada tanggal 1 Pebruari 2007
[14]Ibid.
[15]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar