Selasa, 18 November 2008

Mereka yang Tercerahkan Dengan Menulis

Saya ingin membuktikan kepada pembaca bahwa banyak orang-orang yang benar-benar tercerahkan lantaran aktivitas menulis. Hidup mereka menjadi lebih bergairah karena menulis.

Mereka bisa bangkit dari kegagalan dan bahkan kualitas hidupnya meningkat pesat dengan, sekali lagi, menulis. Anda bisa merasakan bagaimana perjuangan hidup mereka dalam melawan penderitaan, atau dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

Setidaknya ada lima orang yang saya ketahui tentang orang-orang yang tercerahkan karena menulis tersebut. Dan saya harap walau hanya lima orang semoga membuat kita yakin kalau menulis memang benar-benar ampuh untuk membuat hidup kita cerah.

Seringkali saya temui teman-teman saya tidak mempercayai akan sebuah teori tanpa ada bukti terlebih dahulu. Begitu pun dalam masalah menulis yang bisa mencerahkan ini.
Saya sendiri telah membuktikannya kalau aktivitas menulis benar-benar ampuh untuk mengobati penyakit hati di kala saya gundah gulana, pun saat saya kehilangan makna.
Dan alhamdulillah dalam waktu empat tahun saya bisa menghasilkan dua buku yang berisi catatan harian yang kira-kira ketebalannya mirip dengan Sejarah Tuhan karya Karen Armstrong. Saya tidak bisa membayangkan seandainya saya tak punya catatan harian, apakah saya bisa meredam segala gejolak emosi saya, apakah saya mempunyai planning hidup, dan sebagainya. Bagi saya, menulis memang seperti terapi dan obat untuk menyembuhkan segala penyakit hati saya, seperti halnya orang-orang di bawah ini.

1. Karen Armstrong
“Hidup saya berubah setelah penerbitan buku Sejarah Tuhan”
(Karen Armstrong)
Buku-buku Karen Armstrong telah menggemparkan dunia. Nama dirinya melejit tatkala bukunya A History of God (1993) terbit dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Tak ada satu pun bukunya yang tak laris. Buku-bukunya memang hanya berkisar di seputar agama, seperti Kristen, Islam, Yahudi, dan Budha. Tapi, yang menjadi keunikan dan berbeda dengan buku-buku semisalnya adalah berangkat dari pengalamannya sendiri tatkala “mencari Tuhan”. Ia bukan saja menelusuri lewat literatur untuk menulis bukunya, tetapi juga mengadakan perjalanan spiritual ke berbagai negara.
Hal yang mendorong untuk menulis dan mengadakan perjalanan spiritualnya bukan semata-mata ingin menjadi penulis (pada awalnya) dan mengadakan observasi langsung sebagai bahan tulisannya. Tetapi lebih dari itu. Ia mencari “obat” untuk menyembuhkan lukanya dari trauma dan penyakit yang dideritanya semenjak remaja serta haus akan spiritualnya.

Pada tahun 1962 ia disuruh masuk biara. Namun dalam biara ia merasa seperti dalam penjara. Badan dan jiwanya merasa terkungkung, kaku, harus mengikuti aturan yang monoton, dan banyak pengalaman yang menekan hidupnya. Setiap hari pekerjaannya selalu begitu saja. Selama tujuh tahun ia mengikuti tradisi yang berlaku di biara. Tujuh tahun itu pula ia merasa di “penjara”, memberikan trauma yang sangat dalam sekali, yang sulit dihilangkan hingga beberapa tahun setelah ia keluar dari biara tersebut.
Setelah memutuskan keluar ia kemudian masuk ke perguruan tinggi di Universitas Oxford, jurusan sastra Inggris. Ia tengah memulai kehidupan baru yang sekuler. Namun, ia merasa tak bisa bebas juga hidupnya. Ia merasa terasing di dunia luar. Banyak hal yang tidak ia ketahui. Ia menjadi manusia kuper (kurang pergaulan), dan menjadi bahan ejekan teman-temannya. Dan ia masih saja dibayang-bayangi kehidupan biaranya, yang begitu melekat akan pengalaman pedihnya. Perlakuaan-perlakuan di biara dulu masih terbayang-bayang jelas di matanya. Dengan kata lain, ia tengah mengalami trauma yang berkepanjangan dan sangat akut sampai-sampai ia menderita epilepsi serta gangguan lainnya.

Pengalaman tragisnya dialami juga setelah keluar dari biara, gara-gara penyakit yang dideritanya. Suatu ketika ia telah menjadi guru tetap di SMA khusus perempuan. Namun karena penyakit yang dideritanya ia diberhentikan oleh pihak sekolah. Inilah penderitaan klimaks yang dialaminya. Gara-gara diberhentikan dan sering kambuh traumanya, ia sering berhalusinasi, kadang-kadang ketakutan dan kadang-kadang ia panik. Ia merasa tak berguna hidupnya. Karena penyakit yang sangat akut itu ia pernah mencoba bunuh diri, berharap penderitaannya berakhir. Namun sedikit demi sedikit ia mulai sembuh setelah sering berkonsultasi ke psikiater, dan akhirnya sang dokter bisa mendeteksi penyakitnya tersebut.
Setelah sembuh walau belum seratus persen, ia mencoba kembali menggeluti dunia spiritualnya yang telah hilang. Ia lalu menulis buku keagamaan sebagai representasi pencarian dan pengalamannya. A History of God, begitu ia namakan bukunya. Dan dengan secepat kilat kehidupannya berubah. Ia telah menemukan kembali ruh hidupnya lantaran menuliskan segala pencarian serta pengalaman spiritualnya. Tulisan-tulisan yang bertemakan keagamaan terus ia tekuni, dan menjadi pembicaraan banyak kalangan. Karya-karyanya seperti Sejarah Tuhan, Berperang Demi Tuhan, Perang Suci, Islam dan Buddha, dan yang lainnya mendapat apresiasi di sebagian negara di dunia ini. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa yang kurang lebih berjumlah 40 bahasa di seluruh dunia.

Penulis yang tinggal di London ini juga membuat acara-acara yang bertemakan keagamaan, di antaranya bersama Bill Moyers dalam seri Genesis. Ia sering mendapat undangan-undangan untuk menjadi pembicara tentang keagamaan lantaran tulisannya. Dan bahkan banyak orang Barat menanyakan pada dia tentang Islam, dan sekali lagi, lantaran bukunya, yang banyak membahas tentang Islam. Ada dua buku yang bagi saya sangat mengagumkan, yaitu Muhammad dan Menerobos Kegelapan. Judul yang pertama berbicara tentang Nabi Muhammad Saw yang dia gambarkan dengan sangat memikat. Ia telah menjungkirbalikkan anggapan-anggapan barat tentang Nabi Muhammad ini. Ia ingin memberitahukan bahwa Muhammad tidaklah sosok yang “sangar” sebagaimana yang digambarkan oleh Salman Rushdi dalam Satanic Verses-nya atau kaum orientalis lainnya. Ia sangat mengagumi sosok Nabi ini dalam membawa Islam, terutama kepribadiannya. Walau secara substansi tidak ada yang baru tapi cara penyampaiannya mendapat nilai plus di mata pembaca. Saya ingin mengatakan di sini bahwa Karen menulis bukan hanya mengandalkan literatur saja, tapi ia juga menulis dengan jiwa dan raganya. Ia sangat menghayati apa yang ia tulis, dan yang pasti kesan yang mendalamnya terhadap tema yang akan dia sampaikan, sehingga bahasanya mudah dicerna dan mengalir bagai mata air. Inilah salah satu keistimewaan karya-karyanya.

Adapun buku Menerobos Kegelapan adalah sebuah perjalanan hidupnya. Inilah buku yang telah merekam kehidupannya semenjak kecil hingga menjadi saat ini. Dan saya sangat yakin kalau ia telah menemukan jati dirinya lantaran menulis tersebut. Ia telah tersembuhkan dan tercerahkan gara-gara menuliskan segala kepedihan dan traumanya, serta yang ia cari dan ia dapatkan. Sekarang ia telah menemukan jawabannya, dan ia mengatakan:

"Teologi itu sejenis puisi yang elusif, yang memerlukan pikiran tenang dan reseptif seperti yang anda perlukan untuk mendengarkan Beethoven atau membaca Rilke. Anda mesti memberinya perhatian penuh, menunggunya dengan sabar,dan menyisakan ruang kosong untuknya .... Dan di ujung hari karya itu akan mewartakan diri Anda ke Anda-hingga menjadi bagian dari Anda."

2. Virginia Woolf
Dalam sastra Barat nama Virginia Woolf sudah tak asing lagi. Ia merupakan sastrawan Inggris yang karya-karyanya disejajarkan dengan sastrawan lainnya seperti William Shakespeare, T.S. Elliot, Charles Dickens, atau George Orwel. Namun, di telinga kita nama tersebut memang masih asing, tak sepopuler yang lainnya, seperti halnya William Shakespeare dengan Romeo and Juliet-nya. Mungkin saja dikarenakan karyanya tak lazim dengan selera pembaca Indonesia. Karya-karya Virginia masih sangat jarang untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Memang, karyanya tergolong tak seperti halnya pengarang lainnya. Ia sering membuat karya dengan gaya yang berbeda dengan kebanyakan sastrawan lainnya.
Virginia mengidap penyakit kejiwaan yang amat sangat menyiksa hidupnya, seperti halnya Karen Armstrong. Namun ia masih terus menulis, dan menjadikan obat bagi penyakitnya itu. Seolah-olah derita telah tertahankan saat ia merangkai dunia imajinasinya, walau pada akhirnya ia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Nama lengkapnya adalah Adeline Virginia Woolf, dilahirkan di London pada tahun 1882 dari pasangan Leslie dan Julia Stephen. Ayahnya adalah seorang redaktur Cornhill Magazine dan penyunting Dictionary of National Biography. Bakat menulisnya tertular dari ayahnya. Ia hanya belajar membaca dan menulis dari orangtuanya, dan tak pernah merasakan bangku sekolah. Ia banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan yang letaknya di dalam rumahnya sendiri. Bimbingan orangtuanya serta semangat belajarnya membuat bakat kepenulisannya cepat berkembang. Semakin lama semakin terasah pula insting menulisnya yang pada akhirnya ia mengabdikan hidupnya untuk menulis. Setelah menikah, ia bersama suaminya membuat penerbit Hogarth Press. Selain menerbitkan karya-karyanya ia juga menerbitkan pengarang lainnya yang terkenal seperti puisi T.S. Elliot.

Dalam penulisan karya sastranya, ia memperkenalkan corak yang tak lazim dilakukan oleh sastrawan lainnya. Ia telah mengembangkan temuannya William James dalam gaya penceritaan yaitu yang dikenal dengan istilah arus kesadaran (stream of consciosness) atau juga dikenal dengan dialog batin, dimana teknik tersebut akan menghasilkan efek yang berbeda di mata pembacanya. Efek dari teknik tersebut adalah pembaca benar-benar merasa menjadi terlibat di dalamnya, seolah-olah menjadi bagian dalam cerita tersebut, dimana pembaca merasakan sama yang dirasakan tokohnya. Efek lainnya adalah memberikan kesadaran kepada manusia bahwa mereka sering merasakan kesendiriannya, seperti saat mengalami kesedihan yang luar biasa. Untuk lebih jelasnya silakan baca tulisan Kurniasih dalam kata pengantar novel Mrs. Dalloway (Jalasutra:Yogyakarta).
Selain kegiatan menulis, ia juga pejuang hak asasi perempuan. Ia seorang feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan pada masa itu yang dianggap telah dirugikan kedudukannya. Kedudukannya amat berpengaruh lantaran ide-ide feminisnya yang bisa membuat merah telinga orang yang mendengarnya.

Gangguan jiwa yang dialaminya semenjak remaja semakin hari semakin parah. Mulai dari anorexia (tidak bernafsu makan), sakit kepala, depresi, hypermania (perasaan gembira berlebihan), hingga kehilangan kesadaran akan realitas membuat hidupnya semakin tak bergairah. Menurut para peneliti, badan Virginia adalah badan yang sakit. Keadaan seperti itu mendorong ia mencoba untuk melakukan bunuh diri, tapi selalu saja gagal. Untunglah ia menulis. Menulis adalah semacam cara untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut. Segala perasaan yang dialaminya ia tuangkan ke dalam karyanya. Maka tak heran jika karya-karyanya sering menggambarkan tentang keadaan dan perasaan yang dimilikinya. Lewat karyanya, ia membuat dunia ciptaannya dimana ia bisa tinggal, sesuai dengan kehendaknya, dan ia merasa nyaman di dalamnya. Namun setelah merampungkan ceritanya sering terjadi dualisme dalam dirinya, yaitu antara rasa plong dan menderita kembali seperti ketika sebelum ia menuliskan cerita tersebut. Bagai seorang ibu, begitu Kurniasih mengibaratkan, setiap kali melahirkan tulisannya ia merasa senang sekaligus merasa kehilangan sesuatu setelah diterbitkan karyanya itu. Namun setidaknya dengan menulis ia bisa menghilangkan tekanan jiwanya itu, walau pada akhirnya ia berhasil bunuh diri, lantaran penyakitnya yang sudah akut. Tapi, seandainya tidak karena menulis boleh jadi peristiwa tersebut akan terjadi sedini mungkin. Menulis, bisa dikatakan, adalah penyelamat hidupnya, yang ikut memperlambat proses percobaan bunuh dirinya tersebut.

Virginia bukan hanya menulis novel dan cerpen saja, tetapi ia juga menulis catatan harian, biografi, dan esai-esai tentang hak asasi perempuan. Di antara karya-karyanya ialah The Voyage Out (1915) dan Night and Day (1919), Mondays or Tuesday (1921), Jacob's (1927) dan The Waves (1931), Mrs. Dalloway, dan masih banyak lagi karya yang lainnya.

3. Pipiet Senja
“Alhamdulillah, akhirnya penyakit ini bagi teteh malah merupakan berkah. Mungkin teteh gak akan jadi seorang penulis kalau gak thallassemia, ya kan?” (Pipiet Senja)
Nama Pipiet Senja sudah dikenal di seluruh pelosok Indonesia, terutama bagi anggota Forum Lingkar Pena. Namun sepertinya masih jarang yang tahu nama aslinya. Etty Hadiwati Arief ialah nama aslinya. Ia lahir di Sumedang, 16 Mei 1957 dari pasangan Hj. Siti Hadijah dan SM. Arief (alm). Ia mulai menulis sejak remaja. Semenjak kecil hingga remaja ia sudah suka baca karya sastra seperti Old Sutherhand karya Karl May, Winetou, komik-komik wayang Kosasih, cerita silat Kho Phing Ho, sajak-sajaknya Ajip Rosidi, WS.Rendra, Kuntowijoyo, Abdulhadi WM, Charles Dicksen, Emille Zola, Barbara Cartland, Sidney Sheldon, dan masih banyak lagi. Keluasan wawasannya mengenai karya sastra sangat mempengaruhi pada penulisan karyanya sendiri. Daya tampung otaknya seolah-olah tak muat lagi untuk diisi, maka jalan satu-satunya adalah menulis. Tak aneh jika aktivitas menulisnya tak pernah off. Kurang lebih 55 buah buku telah ia hasilkan sejak tahun 1975.

Dan perlu pembaca ketahui ia mengenyam pendidikan formal hanya sampai kelas dua SMU, selebihnya ia belajar dari kehidupan. Menulis pun ia belajar sendiri alias otodidak. Sebelum terjun menjadi penulis professional, ia pernah juga mencicipi berbagai pekerjaan di antaranya menjadi pramuniaga toko buku, dengan alasan ingin banyak baca buku dengan gratis, pernah pula ia jadi penyiar radio daerah, dan terakhir, menjadi reporter tabloid Mutiara, Selecta Group.

Ia tak setuju kalau pandai menulis itu karena bakat. “Kan sebenarnya bakat itu hanya sekian persen, selanjutnya tergantung motivasi penulisnya. Apakah dia memang kepingin menjadi seorang penulis, atau cuma coba-coba, motivasi. Ini sungguh modal awal!” ujar Pipiet saat ia diwawancara oleh kru Kafemuslim.com. Dan untuk membuktikannya ia melatih putrinya menulis yang masih berusia 16 tahun, Adzimatinnur Siregar. Dan ajaib, putrinya itu telah menghasilkan lebih dari 5 buku., yang salah satunya berjudul Amerika Siapa Takut!

Satu hal yang membuat saya terkesan dan terenyuh tentang cerita Pipiet Senja ini, ialah perjuangannya melawan penyakit thallasemia. Thallassemia adalah penyakit genetis, sejak lahir ia sudah membawa gen thallassemia. Kelas enam SD Pipiet sudah mulai ditransfusi setiap dua-tiga bulan sekali hingga sekarang. Penyakit ini tidak ada obatnya kecuali ditransfusi darah, dan setelah itu ia harus memakai desferal, namanya syringedriver yang ditempelkan di perut untuk mengalirkan obat desferal selama sepuluh jam. Setelah demikian ia sudah tak bisa apa-apa. Namun yang membuat saya salut adalah ketetapannya menulis walau keadaan seperti itu, bahkan lebih produktif lagi. Seolah-olah ia ingin melawan penyakitnya dengan menulis, bahkan ia mengatakan,“Alhamdulillah, akhirnya penyakit ini bagi teteh malah merupakan berkah. Mungkin teteh gak akan jadi seorang penulis kalau gak thallassemia, ya kan?”

Baginya, penyakit bukanlah halangan untuk merangkai kata, kalimat dan menjelma menjadi cerita. Dan lantaran semangatnya untuk terus menulis—walau keadaan sakit—ia mendapat julukan sebagai pengarang Prolifik. Kapan dan dimana pun ia bisa menulis, “Insya Allah, saya bisa menulis di mana saja dan kapan saja. Kalau saya lagi diopname di rumah sakit, saya suka bawa-bawa mesin ketik yang kuberi nama si denok.
Nyuri-nyuri waktu dari dokter atau suster, pas mereka meleng, teteh ngederektek aja nulis”, ujar Pipiet dengan logat sundanya yang masih kental. Ia pun sudah terbiasa bangun pukul tiga dinihari. Setelah sholat malam, ia langsung menulis hingga subuh.

Bagi Pipiet, inspirasi pun tidak perlu dicari kemana-mana. Ia akan datang sendiri. Misalnya, ketika ia jalan ke rumah sakit, bertemu pasien kanker yang divonis tinggal beberapa bulan lagi. Maka dari situ ia bisa membuat cerpen atau novel yang temanya penderitaaan seorang ibu karena mengidap kanker.

Perjalanan hidupnya telah ia tulis dalam buku yang berjudul “Cahaya di Kalbuku: Sebuah Memoar Pipiet Senja”. Baginya menulis adalah sebuah proses penyembuhan dan pencerahan yang membuat ia terus hidup dan selalu optimis menghadapi kenyataan yang penuh lika-liku. “Hidupnya memang untuk menulis bahkan suatu ketika dia pernah mengatakan kalau tidak menulis dia tidak akan hidup,” komentar Izzatul Jannah saat ia berbicara tentang Pipiet Senja.

Nama Pipiet Senja telah diabadikan di buku Pengarang Peneliti di Indonesia sebagai profil perempuan pengarang, dan Penulis Perempuan Indonesia, (ed. Korrie Layun Rampan). Di antara karya-karyanya yang terbaru ialah Namaku May Sarah, Riak Hati Garsini, Dan Senja Pun Begitu Indah (novelet bareng Mariam Arianto, Asy-Syaamil), Serpihan Hati, Menggapai Kasih-Mu, memoarnya Cahaya di Kalbuku, Lukisan Rembulan, Trilogi; Kalbu, Nurani, Cahaya (Mizan), Kidung Kembara, Tembang Lara, Rembulan Sepasi, Rumah Idaman (Gema Insani Press).

4. Hernowo
“Saya merasakan sekali bahwa kegiatan menulis dapat membantu diri kita untuk membuat peta kehidupan kita. Saya juga merasakan sekali bahwa teks atau kalimat-kalimat tertulis itu dapat menampung kekayaan kehidupan kita—baik itu kekayaan hidup yang sudah kita jalani maupun yang belum sempat kita jalani” (Hernowo)
Bagi orang yang suka membaca, menulis, dan berkunjung ke toko-toko buku hampir saya pastikan telah mengenal buku-buku Hernowo. Karena Sudah 17 buku telah ia hasilkan dari tangannya. Buku-bukunya berisi tentang motivasi, manfaat, dan bagaimana agar kita bergairah membaca dan menulis. Buku-bukunya seperti Mengikat Makna, dan Andaikan Buku itu Sepotong Pizza telah mengalami cetak ulang. Ini artinya, buku-bukunya telah mendapat sambutan yang luar biasa di masyarakat pembaca dan penulis. Lantaran buku-bukunya, ia telah melalang buana ke berbagai kota untuk mengisi acara baik sebagai promotor buku-bukunya, undangan tentang baca-tulis, atau pun untuk mempresentasikan berbagai gagasan dan penemuannya mengenai membaca dan menulis.

Hernowo lahir di Magelang pada 12 Juli 1957. TK hingga SMU-nya ia habiskan di tanah kelahirannya itu. Kemudian ia kuliah di ITB, Bandung, jurusan Teknik Industri. Hingga sekarang ia masih di sana untuk melanjutkan “sekolahnya” di penerbit Mizan yang kesekian, katanya. Semenjak kecil ia sudah rajin membaca. Semua bacaan mengenai dunia “anak-anak” telah disantapnya dengan lahap sekali, seperti majalah anak-anak, komik, cerita silat, dan masih banyak lagi. Namun ia merasa beku otaknya saat mempelajari mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, karena buku-bukunya monoton dan banyak yang “beracun”, ujarnya saat mengisi acara di Toko Buku Toga Mas Yogyakarta pada 26 Pebruari 2005.

Semenjak kuliah ada sebuah buku yang amat ia sukai yang sering sekali ia sebut di buku-bukunya dan amat berpengaruh yaitu Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam karya Muhammad Iqbal. Itulah buku pertama yang mengenalkan ia dengan filsafat. Sosok Iqbal begitu ia kagumi. Dan setelah ia bekerja di penerbit Mizan pada tahun 1984, ia mulai berkenalan dengan penulis-penulis lainnya seperti Ali Syariati dan Murtadha Muthahhari, serta Anemarie Schimmel. Itulah para penulis yang ia kagumi hingga sekarang ini. Bekerja di sebuah penerbitan maka secara otomatis kebiasaan membacanya meningkat pesat. Baginya, tiada hari tanpa membaca. Selama bekerja di Mizan itu, ia mempersepsi dirinya sedang menjalani proses pembelajaran. Haidar Bagir bercerita tentang Hernowo, “Hampir semua buku Mizan, terutama yang terbit pada 1983-1993, telah dilahapnya. Dia bukan membaca huruf, melainkan benar-benar memahaminya—dia bisa tahu secara cepat kelebihan-kelebihan sebuah buku yang dibacanya dan siapa yang tepat mengonsumsinya.”

Pekerjaan sekaligus hobi membuat kariernya melonjak naik secara cepat. Berawal dari karyawan di bagian produksi kemudian naik menjadi staf keredaksian, menjadi manajer Produksi, lalu General Manager Editorial. Setelah itu ia dipercaya memimpin penerbit Kaifa yang masih berada di bawah Mizan yang dikhususkan untuk menerbitkan buku-buku How to seperti Quantum Learning, dan Learning Revolution. Dan, saat ini ia memegang penerbit MLC (Mizan Learning Centre). Setelah ia memegang penerbit Kaifa ia sering menjadi trainer tentang pembelajaran seperti bagaimana agar bergairah membaca dan menulis, dan lain sebagainya. Kegemarannya membaca buku, dan kemudian menulis meningkat amat pesat.

Pada tahun 1998 ia dipercaya untuk mengajar matakuliah “Digesting” (mencerna buku) di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM), Bandung. Pada tahun berikutnya ia juga mengajar Bahasa Indonesia (bidang ketrampilan menulis), di SMU plus Mutahhari, Bandung.

Buku pertamanya muncul pada tahun 2001 yaitu Mengikat Makna: Kiat-Kiat Ampuh untuk Melejitkan Kemauan Plus Kemampuan Membaca dan Menulis Buku. Buku ini adalah hasil pembelajarannya setelah ia “sekolah” di penerbit Mizan bertahun-tahun. Usahanya ini mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Setelah sukses dengan buku pertamanya ia susul buku keduanya berjudul Andaikan Buku itu Sepotong Pizza, dan mengalami hal yang sama yaitu sambutan ruarr biasa. Mesin menulisnya seolah-olah tak mau berhenti sampai di situ. Ia kemudian menyusul buku ketiganya, keempatnya hingga sampai yang ketujuh belasnya.

Seiring dengan meningkat karya-karyanya, karakter serta kepribadiannya pun meningkat pesat. Wawasannya yang luas membuat ia kaya akan perspektif, atau dengan istilahnya sendiri, “mata baru”. Jika Haidar Bagir mengatakan kalau prestasi-prestasinya itu dihasilkan akibat dari aktivitas membacanya, maka saya akan menambahkan dengan aktivitas menulisnya juga ia menjadi seperti itu. Membaca akan memperkaya perspektif dan meluaskan wawasannya sedangkan menulis akan merekam serta mengekspresikan apa yang diungkapkannya. Perpaduan itu menjadikan hidupnya amat luar biasa. Dia sendiri mengakui kalau pribadinya (dulu) introvert dan kaku dalam berbicara di depan umum. Tapi berkat membaca dan menulis (untuk dirinya sendiri) sifat itu pun hilang. Dengan dua aktivitas itu ia bisa menghadapi hidup dengan sehat, karena baginya, membaca—terutama menulis—bisa menyembuhkan dan mencerahkan. Setiap ada gejolak emosi atas pengalamannya ia selalu menuliskan ke dalam buku hariannya. Dan setiap membaca buku ia selalu menuliskan apa yang menurut ia penting dan manfaat untuk dirinya sendiri.

Melalui pengalamannya, ia sangat yakin kalau dengan membaca dan menulis maka hidup kita akan bahagia, lebih terarah, dan mampu meredam segala emosi baik disebabkan peristiwa masa lalu atau yang sedang dialaminya saat ini. Jadi, selain mengasah ketrampilan menulis dan membaca ia juga sangat yakin keduanya itu bisa melejitkan potensi apa yang ada dalam diri kita. Bahkan bisa dikatakan, bagi dia, keduanya adalah kunci kebahagiaan.

Membaca buku, menurut Hernowo, sama halnya mencerna makanan. Dan makanan dari buku adalah gagasan. Jika kita memakan makanan yang banyak lemaknya otomatis itu tidak akan menyehatkan badan kita dan memberi ruang datangnya penyakit. Begitu pun dengan buku, jika kita membaca buku yang tak bermanfaat maka buku itu akan merusak otak kita. Oleh karena itu, bacalah buku yang bergizi, yang memberikan asupan pada badan kita sehingga kita menjadi sehat baik jiwa maupun raga. Sebagaimana kita makan, membaca pun tak bisa dilakukan secara sekaligus. Bacalah buku secara ngemil dan perlahan-lahan seperti halnya memakan makanan.

Kekuatan menulis, menurutnya, terletak pada kemampuannya untuk menjawab berbagai pertanyaan yang ditujukan pada diri kita sebagai orang yang menulis. Menulis, ia artikan sebagai merumuskan hal-hal yang kita simpan "di dalam" untuk kemudian dapat kita pahami "di luar". “Dan syarat menulis yang dapat menghasilkan rumusan yang baik adalah adanya kongruensi, bahwa segala sesuatu yang ada di dalam (yang kita pikir dan rasakan) harus sama persis dengan segala yang sesuatu yang ada di luar (yang kita tulis dan lakukan)” Ujar Hernowo.

Ia menyarankan, jika kita ingin tercerahkan dengan menulis kita harus mempunyai catatan harian. Dengan catatan harian itu kita akan mengekspresikan diri kita. Kita akan menuliskan segala apa yang kita pikirkan dan rasakan. Dan kita juga akan merekam segala aktivitas dan perubahan-perubahan yang ada dalam diri kita lantaran catatan harian tersebut. Sungguh, ia bukan hanya bicara thok mengenai penemuannya ini, tapi ia berdasarkan pengalaman dan penelitiannya. Inilah yang membuat kita mempercayai akan perkataannya. Maka tak heran kalau buku-bukunya sangat laris di pasaran. Ia sudah mempunyai “peta kehidupan”nya sendiri melalui teks-teks yang ia tuliskan di catatan hariannya. Selain tercerahkan lantaran menulis, ia juga memiliki keunggulan dalam menyelenggarakan kegiatan membaca dan menulis. Dan keunggulannya itu memang bersifat 'ke dalam'. “Artinya, saya merasakan memiliki keunggulan dalam hal membaca dan menulis lebih dikarenakan saya merasakan sekali bahwa diri saya tumbuh dan berkembang setiap hari gara-gara saya melakukan, secara konsisten dan kontinu, kegiatan membaca dan menulis. Manfaat yang saya raih selama saya menekuni kegiatan membaca dan menulis dapat mewujud baik berkaitan dengan manfaat fisik maupun non fisik”.

Adapun karya-karyanya di antaranya Mengikat Makna, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Main-Main Dengan Teks, Quantum Reading, Quantum Writing, dan buku yang lainnya.

5. Asma Nadia
“Menulis sekarang menjadi kehidupan yang tidak bisa dipisahkan. Kalau pergi ke mana-mana, jauh dari komputer, kangen. Saya tiap hari harus menulis sehingga ada kebutuhan untuk menulis. Setelah urusan lain-lain di rumah selesai, aktivitas pertama menulis. Menutup hari juga dengan menulis” (Asma Nadia)

Asma Nadia adalah nama pena dari Asmarani Rosalba. Ia adalah adik kandung dari seorang sastrawan yang tak asing lagi di telinga kita yaitu Helvy Tiana Rosa. Asma dikenal sebagai seorang novelis dan cerpenis. Karya-karyanya mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat. Hal itu terbukti dengan beberapa karyanya yang mendapatkan penghargaan, di antaranya dua bukunya, Rembulan di Mata Ibu (Mizan, 2000) dan Dialog Dua Layar (Mizan, 2001) dinobatkan sebagai buku remaja terbaik Adikarya IKAPI 2001 dan 2002. Bahkan, “sempat cetak ulang sampai delapan kali”, ujar Asma Nadia saat ia diwawancarai wartawan Republika. Sedang bukunya yang lain, Derai Sunyi (Mizan, 2002) menjadi novel terpuji tingkat nasional versi Forum Lingkar Pena. Dalam karir kepengarangannya, ia pernah terpilih sebagai salah satu pengarang terbaik tingkat nasional selama dua tahun berturut-turut yang berbarengan dengan kedua bukunya tersebut.

Adalah sebuah proses yang begitu panjang untuk menuju hal yang disebutkan di atas itu. Banyak jalan terjal yang harus ia lewati: Sejak kecil Asma Nadia sangat suka membaca. Semua bacaan ia lahap dengan “rakus”. Mulai buku cerita, buku pelajaran, koran, bungkus cabai, bawang, dan kertas-kertas pembungkus sayur yang dibawa pulang ibunya dari pasar.

Suatu hari, pada waktu umur tujuh tahun ia terjatuh dan kepalanya terbentur benda keras. Ia kesakitan dan dibawa ke rumah sakit. Ia “divonis” gegar otak oleh sang dokter.

"Kami sangat menyesal. Lima benjolan kecil di kepalanya ternyata tumor, harus diangkat." Ujar sang dokter saat memeriksa Asma kecil.

Sesekali merasakan sakit, ia lalu dibawa ke rumah sakit lagi. Kadang menjalani rawat inap beberapa hari. Saat sakit itulah ia sering mengisi waktunya dengan menulis cerita. Kadang juga menulis lagu. Buku-buku yang telah dibacanya sudah tak terhitung lagi. Namun, sesekali ia memegangi kepalanya sambil memejamkan matanya. Akibat efek dari operasi itulah ia sering pusing dan sulit berkonsentrasi dalam waktu lama.

"Tapi apa aku bisa, Kak? Aku kan gegar otak." Ujar ia saat mengucapkan keinginannya jadi penulis. Namun kakaknya memberi semangat.

“Tentu, Dik. Tentu saja kamu bisa! Kamu bisa melakukan apa pun yang kakak kerjakan bila kamu mau!" ujar sang kakak.

Dari situ ia mulai serius belajar. Ia tak memedulikan sakit yang ada di kepalanya itu. Walau sesekali ia pusing. Di bangku sekolah ia mulai menonjol. Ia selalu menjadi rangking satu, bahkan juara umum pun pernah diraihnya.

"Aku akan melawan penyakit ini dengan berkarya, Kak. Dengan melakukan sesuatu!" kata Asma Nadia pada kakaknya saat remaja.

Begitulah, hingga beranjak dewasa ia selalu mempertahankan keinginannya menjadi pengarang. Ia melupakan sakitnya dengan berkarya. Mulailah ia menulis untuk media massa. Ia menulis artikel, cerpen, dan cerita bersambung, bahkan skenario televisi. Maka, di tahun 2000 terbitlah bukunya yang diterbitkan oleh As Syamil. Dan, hingga sekarang ia telah menulis beberapa puluh buku yang telah diterbitkan. Karir kepenulisannya pernah membawanya terbang ke negeri jiran (Malaysia) dan Mesir, dan pemateri workshop kepenulisan.

Sejak tahun 1997 hingga kini ia menjadi Direktur Yayasan Prakarsa Insan Mandiri, sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial, budaya, dan pendidikan. Ia juga menjadi ketua I FLP pusat, dan menjadi CEO Lingkar Pena Publishing House. Ia juga menjadi pengarang nasyid, pernah meluncurkan tiga album bersama kelompok Bestari, dan beberapa lagunya dibawakan oleh Snada.

Ia menjadi inspirator kakaknya, Helvi Tiana Rosa. “Setiap kali saya merasa lemah dalam melangkah, saya akan selalu teringat saat-saat kami masih kecil juga tekad Asma Nadia untuk melawan semua penyakitnya dengan berkarya.” Ujar Helvy. Sedangkan Helvy, bagi Asma bukan hanya sebagai kakak, tapi juga sebagai guru menulisnya.

Saat ini ia dikaruniai dua orang anak, Eva Maria Putri Salsabila dan Adam Putra Firdaus. Namun, menjadi seorang ibu dua orang anak itu, tak membuat surut karir kepenulisannya. Pada awalnya memang agak repot untuk menulis, mesti menunggu anak-anaknya tidur. Namun, setelah beradaptasi dengan keadaannya sebagai seorang ibu, ia mampu kapan saja menulis. “Penulis harus punya kemampuan adaptasi yang bagus. Bisa menulis dalam berbagai situasi: ribut atau hening. Bisa menulis tidak dalam satu waktu, tapi sambil melakukan hal-hal lain.” Ujarnya.

Ia sangat mensyukuri bisa bertahan hingga sekarang lantaran menulis.
''Allah memberikan begitu banyak tanda. Mungkin wujud syukur yang bisa saya lakukan adalah tetap menulis,'' ujarnya.

2 komentar:

Fitria Zulfa mengatakan...

Kalau menurut saya ada enam mas... yang ke-6 itu adalah Iqbal Dawami he..he..

Penerjemah Resmi dan Bersumpah Semarang mengatakan...

Mantap sekali tulisan Anda, Mas. Terima kasih. Kereeeeeeeen