Rabu (13/6), PT. Gramedia Pustaka Utama memusnahkan 216 eksemplar buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia. Buku yang diterjemahkan dari karya Douglas Wilson ini dianggap menghina Nabi Muhammad. Tidak banyak sebetulnya, hanya di halaman 24 dan 25 saja. Itu pun hanya 3 paragraf. Salah satu bunyinya:
“Selanjutnya ia (Muhammad) memperistri beberapa wanita lain. Ia menjadi seorang perampok dan perompak, memerintahkan penyerangan terhadap karavan-karavan Mekkah. Muhammad memerintahkan serangkaian pembunuhan demi meraih kendali atas Madinah, dan di tahun 630 M, ia menaklukkan Mekkah” (hal 24).
Sedang di halaman 25 alinea kedua dan ketiga, Wilson membuat penafsiran, bahwa agama yang dibawa Muhammad (baca: Islam), selalu ditegakkan dengan pedang. Lantaran paragraf di atas, buku ini bernasib nahas. Penerbitnya membakar buku tersebut. Padahal, di luar halaman tersebut, buku ini sama sekali tidak ada penghinaan, bahkan memuat informasi pelbagai kota berpengaruh secara mendalam.
Direktur Utama Gramedia Pustaka Utama, Wandi S Brata, menjelaskan buku edisi terjemahan itu mulai diedarkan pada minggu kedua Maret 2012 dengan total cetakan sebanyak 3.000 eksemplar. Hingga awal Juni 2012 buku telah terjual sebanyak 489 eksemplar. Selain di Jakarta, pemusnahan telah dilakukan di Cakung, Jawa Barat, Semarang, Jawa Tengah, Surabaya, Jawa Timur, dan Pekanbaru.
Kejadian ini sungguh memilukan. Terlepas, soal beberapa paragraf yang dianggap SARA, sesungguhnya pembakaran buku juga termasuk pelecehan terhadap karya. Seorang kawan mengatakan, “Hasil karya tulis seseorang itu seperti lahirnya seorang anak, ia anak kandung pemikiran, bila buku itu dibakar, maka ia sama saja membakar seorang anak, membakar kehidupan.”
Saya melihat pihak penerbit melakukan pembakaran atas terbitannya sendiri adalah sikap paranoid yang berlebihan. Ya, ada ketakutan yang amat besar sehingga jalan itu ditempuh. Terlebih, sebelumnya sudah ada orang dari pihak ormas tertentu yang melayangkan gugatannya kepada pihak berwajib. Bayang-bayang protes dengan pengerahan massa ke kantor penerbit menambah paranoid yang sudah ada. Sebelum perkara ini menjadi besar, penerbit meminta maaf secara tertulis. Serasa belum puas penerbit lalu mengambil langkah ekstrem, yaitu membakar buku tersebut secara simbolik di hadapan masyarakat, wartawan, dan MUI.
Coba Anda bayangkan, sebuah buku (anak kandung pemikiran) dibakar “hidup-hidup” sembari disaksikan oleh kaum intelektual, cendekia, dan ulama. Ironik, bukan? Menurut saya, pihak penerbit tidak perlu melakukan pembakaran terhadap buku tersebut. Pihak penerbit cukup dengan meminta maaf secara tertulis dan menarik buku tersebut, dan berjanji akan merevisinya. Sebagai kaum beragama, tentu kita terima iktikad baik berupa permohonan maaf yang disertai penarikan dan perevisian tersebut.
Ada baiknya kita mencontoh teladan pada masa terdahulu yang kasusnya hampir sama dengan kejadian ini. Pada masa kolonial Belanda, buku yang menghina Nabi tidak dibakar. Hendri F. Isnaini, sejarawan, memaparkannya dalam majalah Historia (edisi Juni 2012). Sebuah buku berjudul Mijn Mislukte Zending (Misi Saya yang Gagal) karya Sir Nevile Henderson. Di dalamnya terdapat paragraf, “Karena itulah Hitler makin lama makin yakin sendiri bahwa ia kebal dan besar … ia sendiri lalu menjadi lebih besar sedikit, mungkin semacam Mohamed dengan ‘pedang di sebelah tangannya dan buku Mein Kampf di tangan lainnya’…”. Reaksi muncul. Koran Pemandangan memuat kritik atas buku tersebut pada 4 Desember 1940, yang ditulis oleh Anwar Tjokroaminoto. Menurutnya, Nabi Muhammad tak pernah memaksa dan mengancam dengan pedang, dan tak bisa disamakan dengan Hitler. Bahkan, menurut Anwar, “Hitler tidak bisa dipersamakan dengan manusia biasa, melainkan sebagai kepala dari bangsa biadab.”
Berbagai tulisan pun bertandangan ke meja redaksi Pemandangan, menyuarakan kekecewaan terhadap buku Henderson. Seorang penulis bernama Depe menulis di Pemandangan, 12 Desember 1940, menguraikan bagaimana sejarah persepsi Barat terhadap Nabi yang keliru. Dia beranggapan bahwa buku ini tak perlu dibaca bangsa Belanda maupun orang yang mengerti bahasa Belanda. “Perlunya, untuk menjaga jangan sampai orang mendapat salah faham tentang junjungan kita tadi seperti di zaman Abad Pertengahan.”
Belum reda masalah buku Henderson, muncul tulisan di AID De Preanger Bode pada 8 April 1941 yang mengutip ulasan buku karya Karl Barth di koran Het Vaderland yang terbit di Belanda. Dalam bukunya, Karl Barth menulis: “… Orang harus menganggap nasional sosialisme sebagai Islam baru, dan Hitler sebagai Nabinya,” yang harus dilenyapkan sebagaimana dulu “hancurnya benteng nabi palsu Muhammad.” Komisi Pemberantas Penghinaan Islam di bawah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) melakukan penyelidikan. Hasilnya dikirimkan melalui kawat ke Dewan MIAI di Surabaya, yang berkesimpulan karya Barth menghina Islam.
Diceritakan bagaimana pada masa itu berbagai reaksi dari umat Islam terus dilakukan secara legal, berupa protes, mengirimkan mosi, delegasi menghadap yang berwajib, dan sebagainya. Anggota-anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang beragama Islam juga berulang kali membicarakannya dalam sidang-sidang mereka di Volksraad. Organisasi Pembela Islam di Bandung melaporkan kepada Hoofd Parket (Kejaksaan Agung) di Jakarta bahwa penghinaan “pers putih” kepada Islam sudah amat sering. Dalam pertemuan itu, dirumuskan tiga hal penting: pemerintah berikhtiar menyusun undang-undang penghinaan agama, melalui RPD (Regerings Publiciteitsdienst, Dinas Penerangan) terus menganjurkan kerukunan antarumat beragama, dan apabila suatu saat menjumpai kasus penghinaan agama, Kejaksaan Agung membuka pintu selebar-lebarnya untuk pengaduan.
Apa yang bisa kita ambil dari masa lalu itu adalah bahwa siapa pun tidak boleh melakukan pembakaran buku. Kita harus mengutamakan asas praduga tak bersalah. Bagi yang hendak protes sudah ada jalur hukum yang bisa ditempuh. Atau bisa melawan dengan buku juga, yakni menulis buku untuk menyangkal argumentasi Douglas Wilson tersebut. Dengan begitu perkara kesalahpahaman bisa diselesaikan dengan elegan.
Kita harus mengambil pelajaran dari peristiwa “pembakaran buku” ini, agar jangan sampai terulang di lain waktu. Kedaulatan buku harus ditegakkan sejak awal. Mari kita selalu mengingat kata-kata Milan Kundera: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya!” Oleh karena itu, apabila bangsa Indonesia tidak ingin hancur, jangan bakar buku![]
“Selanjutnya ia (Muhammad) memperistri beberapa wanita lain. Ia menjadi seorang perampok dan perompak, memerintahkan penyerangan terhadap karavan-karavan Mekkah. Muhammad memerintahkan serangkaian pembunuhan demi meraih kendali atas Madinah, dan di tahun 630 M, ia menaklukkan Mekkah” (hal 24).
Sedang di halaman 25 alinea kedua dan ketiga, Wilson membuat penafsiran, bahwa agama yang dibawa Muhammad (baca: Islam), selalu ditegakkan dengan pedang. Lantaran paragraf di atas, buku ini bernasib nahas. Penerbitnya membakar buku tersebut. Padahal, di luar halaman tersebut, buku ini sama sekali tidak ada penghinaan, bahkan memuat informasi pelbagai kota berpengaruh secara mendalam.
Direktur Utama Gramedia Pustaka Utama, Wandi S Brata, menjelaskan buku edisi terjemahan itu mulai diedarkan pada minggu kedua Maret 2012 dengan total cetakan sebanyak 3.000 eksemplar. Hingga awal Juni 2012 buku telah terjual sebanyak 489 eksemplar. Selain di Jakarta, pemusnahan telah dilakukan di Cakung, Jawa Barat, Semarang, Jawa Tengah, Surabaya, Jawa Timur, dan Pekanbaru.
Kejadian ini sungguh memilukan. Terlepas, soal beberapa paragraf yang dianggap SARA, sesungguhnya pembakaran buku juga termasuk pelecehan terhadap karya. Seorang kawan mengatakan, “Hasil karya tulis seseorang itu seperti lahirnya seorang anak, ia anak kandung pemikiran, bila buku itu dibakar, maka ia sama saja membakar seorang anak, membakar kehidupan.”
Saya melihat pihak penerbit melakukan pembakaran atas terbitannya sendiri adalah sikap paranoid yang berlebihan. Ya, ada ketakutan yang amat besar sehingga jalan itu ditempuh. Terlebih, sebelumnya sudah ada orang dari pihak ormas tertentu yang melayangkan gugatannya kepada pihak berwajib. Bayang-bayang protes dengan pengerahan massa ke kantor penerbit menambah paranoid yang sudah ada. Sebelum perkara ini menjadi besar, penerbit meminta maaf secara tertulis. Serasa belum puas penerbit lalu mengambil langkah ekstrem, yaitu membakar buku tersebut secara simbolik di hadapan masyarakat, wartawan, dan MUI.
Coba Anda bayangkan, sebuah buku (anak kandung pemikiran) dibakar “hidup-hidup” sembari disaksikan oleh kaum intelektual, cendekia, dan ulama. Ironik, bukan? Menurut saya, pihak penerbit tidak perlu melakukan pembakaran terhadap buku tersebut. Pihak penerbit cukup dengan meminta maaf secara tertulis dan menarik buku tersebut, dan berjanji akan merevisinya. Sebagai kaum beragama, tentu kita terima iktikad baik berupa permohonan maaf yang disertai penarikan dan perevisian tersebut.
Ada baiknya kita mencontoh teladan pada masa terdahulu yang kasusnya hampir sama dengan kejadian ini. Pada masa kolonial Belanda, buku yang menghina Nabi tidak dibakar. Hendri F. Isnaini, sejarawan, memaparkannya dalam majalah Historia (edisi Juni 2012). Sebuah buku berjudul Mijn Mislukte Zending (Misi Saya yang Gagal) karya Sir Nevile Henderson. Di dalamnya terdapat paragraf, “Karena itulah Hitler makin lama makin yakin sendiri bahwa ia kebal dan besar … ia sendiri lalu menjadi lebih besar sedikit, mungkin semacam Mohamed dengan ‘pedang di sebelah tangannya dan buku Mein Kampf di tangan lainnya’…”. Reaksi muncul. Koran Pemandangan memuat kritik atas buku tersebut pada 4 Desember 1940, yang ditulis oleh Anwar Tjokroaminoto. Menurutnya, Nabi Muhammad tak pernah memaksa dan mengancam dengan pedang, dan tak bisa disamakan dengan Hitler. Bahkan, menurut Anwar, “Hitler tidak bisa dipersamakan dengan manusia biasa, melainkan sebagai kepala dari bangsa biadab.”
Berbagai tulisan pun bertandangan ke meja redaksi Pemandangan, menyuarakan kekecewaan terhadap buku Henderson. Seorang penulis bernama Depe menulis di Pemandangan, 12 Desember 1940, menguraikan bagaimana sejarah persepsi Barat terhadap Nabi yang keliru. Dia beranggapan bahwa buku ini tak perlu dibaca bangsa Belanda maupun orang yang mengerti bahasa Belanda. “Perlunya, untuk menjaga jangan sampai orang mendapat salah faham tentang junjungan kita tadi seperti di zaman Abad Pertengahan.”
Belum reda masalah buku Henderson, muncul tulisan di AID De Preanger Bode pada 8 April 1941 yang mengutip ulasan buku karya Karl Barth di koran Het Vaderland yang terbit di Belanda. Dalam bukunya, Karl Barth menulis: “… Orang harus menganggap nasional sosialisme sebagai Islam baru, dan Hitler sebagai Nabinya,” yang harus dilenyapkan sebagaimana dulu “hancurnya benteng nabi palsu Muhammad.” Komisi Pemberantas Penghinaan Islam di bawah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) melakukan penyelidikan. Hasilnya dikirimkan melalui kawat ke Dewan MIAI di Surabaya, yang berkesimpulan karya Barth menghina Islam.
Diceritakan bagaimana pada masa itu berbagai reaksi dari umat Islam terus dilakukan secara legal, berupa protes, mengirimkan mosi, delegasi menghadap yang berwajib, dan sebagainya. Anggota-anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang beragama Islam juga berulang kali membicarakannya dalam sidang-sidang mereka di Volksraad. Organisasi Pembela Islam di Bandung melaporkan kepada Hoofd Parket (Kejaksaan Agung) di Jakarta bahwa penghinaan “pers putih” kepada Islam sudah amat sering. Dalam pertemuan itu, dirumuskan tiga hal penting: pemerintah berikhtiar menyusun undang-undang penghinaan agama, melalui RPD (Regerings Publiciteitsdienst, Dinas Penerangan) terus menganjurkan kerukunan antarumat beragama, dan apabila suatu saat menjumpai kasus penghinaan agama, Kejaksaan Agung membuka pintu selebar-lebarnya untuk pengaduan.
Apa yang bisa kita ambil dari masa lalu itu adalah bahwa siapa pun tidak boleh melakukan pembakaran buku. Kita harus mengutamakan asas praduga tak bersalah. Bagi yang hendak protes sudah ada jalur hukum yang bisa ditempuh. Atau bisa melawan dengan buku juga, yakni menulis buku untuk menyangkal argumentasi Douglas Wilson tersebut. Dengan begitu perkara kesalahpahaman bisa diselesaikan dengan elegan.
Kita harus mengambil pelajaran dari peristiwa “pembakaran buku” ini, agar jangan sampai terulang di lain waktu. Kedaulatan buku harus ditegakkan sejak awal. Mari kita selalu mengingat kata-kata Milan Kundera: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya!” Oleh karena itu, apabila bangsa Indonesia tidak ingin hancur, jangan bakar buku![]
3 komentar:
saya tidak pernah menulis tapi hati saya ikut pedih membacanya, memprihatinkan...
Bung, bagaimana kalau hanya bagian buku yang kurang ajar atau senasional saja yang dihapuskan dan buku tetap diedarkan, apakah tidak mendorong orang menuliskan sensasi lain yang lebih besar demi melariskan dagangannya secara tidak bertanggung jawab?
"You don’t have to burn books to destroy a culture. Just get people to stop reading them" - Ray Bradbury
Posting Komentar