Nak, bapak ingin bercerita padamu, bahwa selain kamu dan ibumu ada juga yang bapak cintai, bahkan sejak sebelum mengenal ibumu; sejak zaman “azali”. Cinta bapak kepadanya hingga kini masih terpatri. Cinta bapak kepadanya sama dengan cinta pada kamu dan ibumu.
Maafkan bapak, nak. Bapak tidak bisa menghilangkan rasa cinta bapak padanya. Oh, kuharap kau dan ibumu tidak terlalu cemburu, kecuali sedikit saja. Barangkali saat aku tak bersamamu (dan juga ibumu) boleh jadi bapak sedang bermesraan dengannya. Maafkan bapak nak jika membuat kamu dan ibu marah.
Mungkin kamu penasaran dan bertanya-tanya, siapa sesungguhnya yang bapak cintai itu selain kamu dan ibumu sejak dari dulu hingga kini? Baiklah, nak, mari dekat bapak, akan bapak beritahu. Yang bapak cintai sesungguhnya adalah buku, he-he.
Bagaimana perasaanmu, nak? Ah, barangkali hatimu menjadi plong sekarang, he-he-he. Tapi, itu betul, nak. Bapak tidak bercanda. Bapak memang mencintai buku sudah lama sekali. Bapak tidak bisa melepaskan perasaan itu. Kecintaan bapak pada buku didasari atas dasar kesukaan pada aktivitas membaca, nak. Ya, bapak memang senang membaca. Membaca tentang apa saja, baik tulisan di koran maupun buku. Dan bisa dipastikan setiap bulan bapak selalu membeli buku.
Jika belum ada uang lebih, bapak pinjam kepada kawan-kawan, perpustakaan kampus, atau baca-baca di toko buku. Bapak seperti sudah kecanduan membaca. Sehari tidak membaca seperti gersang hati bapak, nak. Lantas, sejak kapan bapak mulai meresensi buku? Sebetulnya dulu pas kuliah, bapak sudah mulai meresensi buku, tapi belum serius. Hanya sesekali saja. Waktu itu bapak masih fokus menerjemah, bukan meresensi.
Bapak mulai meresensi buku secara serius pada saat awal menikah dengan ibumu. Lha, mengapa justru setelah menikah baru serius meresensi? Simpel nak jawabanya, karena setelah menikah dana belanja buku dialihkan ke dana belanja keperluan kami berdua sehari-hari, he-he. Jadi, sejak itulah bapak mulai meresensi buku secara serius. Resensinya kemudian dikirim ke pelbagai media massa.
Menekuni Resensi
Anakku, mungkin kamu akan bertanya mengapa bapak memilih meresensi tidak yang lainnya, misalnya, opini? Bapak memilih resensi karena tiga alasan. Pertama, kecintaan bapak membaca buku mendorong bapak untuk membagikan hasil bacaannya ke orang lain. Rasanya aneh, apabila bapak tidak membagikan apa yang sudah bapak baca. Ada semacam kegelisahan apabila hal itu tidak dibagikan kepada orang lain.
Kedua, aktivitas meresensi akan memacu bapak untuk senantiasa membaca buku. Berbeda dengan halnya meresensi opini, mungkin membaca bukunya tidak seintens meresensi buku. Jadi, dengan kata lain, meresensi akan membuat bapak tetap rajin membaca, nak.
Nah, yang ketiga, ini barangkali yang agak realistis, yakni mendatangkan buku secara gratis dan materi. Jika resensi dimuat di media massa, maka keuntungan secara materi bisa “berlipat”. Materi itu bisa berupa uang, buku, dan barang yang lainnya, entah dari media massa, penerbit, bahkan penulisnya. Mungkin yang ketiga inilah alasan terbesar mengapa bapak meresensi, nak. Sebagaimana bapak ceritakan di atas, bahwa budget untuk membeli buku setelah menikah sudah minim, sedang membaca buku tidak ada kata berhenti, maka bapak harus mendapatkan jalan keluarnya.
Bapak mendapatkan solusinya dari kawan, bahwa agar mendapat pasokan buku secara gratis adalah dengan meresensi buku. Apabila resensi dimuat di media, maka kita akan mendapatkan buku secara gratis dari penerbit yang kita resensi bukunya. Bahkan, mendapatkan uang pula. Hmm, sungguh menarik, bukan? Dari situlah bapak serius meresensi. Bapak mendisiplinkan diri untuk menghasilkan satu resensi satu minggu. Jadi, satu bulan bapak bisa membuat 4 resensi.
Tentu sebagai modal awal, bapak membeli 1-2 buku baru. Bapak kelabakan saat buku baru yang bapak beli itu ternyata resensinya tidak ada yang dimuat. Akhirnya, bapak pinjam kepada kawan-kawan yang rajin membeli buku. Bapak terus meresensi setiap minggunya. Bapak baca resensi-resensi yang dimuat di massa. Bulan pertama resensi bapak tidak dimuat, bulan kedua tidak dimuat, bulan ketiga tidak juga dimuat, bulan keempat, bulan kelima, dan bulan keenam… uerekaaa! Akhinya di bulan keenam itulah resensi bapak dimuat. Alhamdulillah. Bapak dan ibu senang bukan kepalang, nak. Bapak merasa pada bulan itu resmi untuk disebut sebagai “peresensi”, he-he.
Dari situ bapak mulai berani memperkenalkan diri ke pelbagai penerbit sekaligus menawarkan jasa resensi. Alhamdulillah, banyak yang respons. Dari situ pula bapak mulai kebanjiran buku. Anakku, perlu engkau ketahui, pada waktu itu bapak belum punya komputer, apalagi laptop. Bapak menulis di atas kertas HVS. Ketika selesai menulis, ibumu kemudian mengetiknya di rental, yang jaraknya tak jauh dari kos. Kadang, bapak juga ikut ke rental; bapak membacakan (mendiktekan) resensinya, sedang ibu mengetiknya. Sungguh, kami bahu-membahu untuk bisa melestarikan aktivitas meresensi ini. Hal itu berlangsung selama kurang lebih satu tahun.
Selepas satu tahun itu baru kami mempunyai komputer, tidak tanggung-tanggung mendapatkan dua unit. Satu dari pemilik rental yang sering kami sambangi, dia menawari kami komputer (Pentium 2) seharga 300 ribu rupiah. Dan satunya lagi dari kawan peresensi yang tinggal di Bandung. Dia mengirimkannya via pos. Saya tak akan melupakan jasa baik keduanya.
Anugerah Ramadhan
Kegiatan meresensi semakin menggila setelah mempunyai dua unit komputer. Namun seiring waktu, satu per satu komputer itu mulai “rewel”, mungkin karena sudah uzur dan dipaksa untuk “bekerja rodi”. Akhirnya keduanya pun “wafat”. Tuhan Mahatahu. Tak lama setelah 2 unit komputer itu rusak, kami justru bisa membeli notebook. Alhamdulillah. Dan waktu itu juga, kamu lahir ke dunia, anakku.
Bagi kami, bulan itu yang bertepatan bulan Ramadhan—bulan pernuh berkah—merupakan bulan anugerah. Kehadiran notebook dan kehadiran kamu. Sungguh, tak terasa pula perjalanan bapak menekuni dunia resensi sudah hampir 5 tahun (2008 --…). Seperti halnya di bidang lain, menekuni bidang resensi pun banyak suka-dukanya. Insya Allah, di kesempatan lain bapak akan menceritakannya padamu. Bapak hanya berdoa semoga bapak tetap istiqamah meresensi buku, meski orientasinya kini berubah. Jika dulu meresensi sebagai job dan career, maka saat ini bapak mengubahnya menjadi calling; panggilan hidup. Bapak tidak lagi membuat resensi karena uang. Saat ini, bapak meresensi karena ingin berbagi pengetahuan; berbagi cerita dan materi apa yang sudah bapak baca kepada khayalak masyarakat. Tak lain, itu semua karena bapak mencintai buku, nak. Dan mencintai buku sama seperti layaknya mencintai kamu.[]
Maafkan bapak, nak. Bapak tidak bisa menghilangkan rasa cinta bapak padanya. Oh, kuharap kau dan ibumu tidak terlalu cemburu, kecuali sedikit saja. Barangkali saat aku tak bersamamu (dan juga ibumu) boleh jadi bapak sedang bermesraan dengannya. Maafkan bapak nak jika membuat kamu dan ibu marah.
Mungkin kamu penasaran dan bertanya-tanya, siapa sesungguhnya yang bapak cintai itu selain kamu dan ibumu sejak dari dulu hingga kini? Baiklah, nak, mari dekat bapak, akan bapak beritahu. Yang bapak cintai sesungguhnya adalah buku, he-he.
Bagaimana perasaanmu, nak? Ah, barangkali hatimu menjadi plong sekarang, he-he-he. Tapi, itu betul, nak. Bapak tidak bercanda. Bapak memang mencintai buku sudah lama sekali. Bapak tidak bisa melepaskan perasaan itu. Kecintaan bapak pada buku didasari atas dasar kesukaan pada aktivitas membaca, nak. Ya, bapak memang senang membaca. Membaca tentang apa saja, baik tulisan di koran maupun buku. Dan bisa dipastikan setiap bulan bapak selalu membeli buku.
Jika belum ada uang lebih, bapak pinjam kepada kawan-kawan, perpustakaan kampus, atau baca-baca di toko buku. Bapak seperti sudah kecanduan membaca. Sehari tidak membaca seperti gersang hati bapak, nak. Lantas, sejak kapan bapak mulai meresensi buku? Sebetulnya dulu pas kuliah, bapak sudah mulai meresensi buku, tapi belum serius. Hanya sesekali saja. Waktu itu bapak masih fokus menerjemah, bukan meresensi.
Bapak mulai meresensi buku secara serius pada saat awal menikah dengan ibumu. Lha, mengapa justru setelah menikah baru serius meresensi? Simpel nak jawabanya, karena setelah menikah dana belanja buku dialihkan ke dana belanja keperluan kami berdua sehari-hari, he-he. Jadi, sejak itulah bapak mulai meresensi buku secara serius. Resensinya kemudian dikirim ke pelbagai media massa.
Menekuni Resensi
Anakku, mungkin kamu akan bertanya mengapa bapak memilih meresensi tidak yang lainnya, misalnya, opini? Bapak memilih resensi karena tiga alasan. Pertama, kecintaan bapak membaca buku mendorong bapak untuk membagikan hasil bacaannya ke orang lain. Rasanya aneh, apabila bapak tidak membagikan apa yang sudah bapak baca. Ada semacam kegelisahan apabila hal itu tidak dibagikan kepada orang lain.
Kedua, aktivitas meresensi akan memacu bapak untuk senantiasa membaca buku. Berbeda dengan halnya meresensi opini, mungkin membaca bukunya tidak seintens meresensi buku. Jadi, dengan kata lain, meresensi akan membuat bapak tetap rajin membaca, nak.
Nah, yang ketiga, ini barangkali yang agak realistis, yakni mendatangkan buku secara gratis dan materi. Jika resensi dimuat di media massa, maka keuntungan secara materi bisa “berlipat”. Materi itu bisa berupa uang, buku, dan barang yang lainnya, entah dari media massa, penerbit, bahkan penulisnya. Mungkin yang ketiga inilah alasan terbesar mengapa bapak meresensi, nak. Sebagaimana bapak ceritakan di atas, bahwa budget untuk membeli buku setelah menikah sudah minim, sedang membaca buku tidak ada kata berhenti, maka bapak harus mendapatkan jalan keluarnya.
Bapak mendapatkan solusinya dari kawan, bahwa agar mendapat pasokan buku secara gratis adalah dengan meresensi buku. Apabila resensi dimuat di media, maka kita akan mendapatkan buku secara gratis dari penerbit yang kita resensi bukunya. Bahkan, mendapatkan uang pula. Hmm, sungguh menarik, bukan? Dari situlah bapak serius meresensi. Bapak mendisiplinkan diri untuk menghasilkan satu resensi satu minggu. Jadi, satu bulan bapak bisa membuat 4 resensi.
Tentu sebagai modal awal, bapak membeli 1-2 buku baru. Bapak kelabakan saat buku baru yang bapak beli itu ternyata resensinya tidak ada yang dimuat. Akhirnya, bapak pinjam kepada kawan-kawan yang rajin membeli buku. Bapak terus meresensi setiap minggunya. Bapak baca resensi-resensi yang dimuat di massa. Bulan pertama resensi bapak tidak dimuat, bulan kedua tidak dimuat, bulan ketiga tidak juga dimuat, bulan keempat, bulan kelima, dan bulan keenam… uerekaaa! Akhinya di bulan keenam itulah resensi bapak dimuat. Alhamdulillah. Bapak dan ibu senang bukan kepalang, nak. Bapak merasa pada bulan itu resmi untuk disebut sebagai “peresensi”, he-he.
Dari situ bapak mulai berani memperkenalkan diri ke pelbagai penerbit sekaligus menawarkan jasa resensi. Alhamdulillah, banyak yang respons. Dari situ pula bapak mulai kebanjiran buku. Anakku, perlu engkau ketahui, pada waktu itu bapak belum punya komputer, apalagi laptop. Bapak menulis di atas kertas HVS. Ketika selesai menulis, ibumu kemudian mengetiknya di rental, yang jaraknya tak jauh dari kos. Kadang, bapak juga ikut ke rental; bapak membacakan (mendiktekan) resensinya, sedang ibu mengetiknya. Sungguh, kami bahu-membahu untuk bisa melestarikan aktivitas meresensi ini. Hal itu berlangsung selama kurang lebih satu tahun.
Selepas satu tahun itu baru kami mempunyai komputer, tidak tanggung-tanggung mendapatkan dua unit. Satu dari pemilik rental yang sering kami sambangi, dia menawari kami komputer (Pentium 2) seharga 300 ribu rupiah. Dan satunya lagi dari kawan peresensi yang tinggal di Bandung. Dia mengirimkannya via pos. Saya tak akan melupakan jasa baik keduanya.
Anugerah Ramadhan
Kegiatan meresensi semakin menggila setelah mempunyai dua unit komputer. Namun seiring waktu, satu per satu komputer itu mulai “rewel”, mungkin karena sudah uzur dan dipaksa untuk “bekerja rodi”. Akhirnya keduanya pun “wafat”. Tuhan Mahatahu. Tak lama setelah 2 unit komputer itu rusak, kami justru bisa membeli notebook. Alhamdulillah. Dan waktu itu juga, kamu lahir ke dunia, anakku.
Bagi kami, bulan itu yang bertepatan bulan Ramadhan—bulan pernuh berkah—merupakan bulan anugerah. Kehadiran notebook dan kehadiran kamu. Sungguh, tak terasa pula perjalanan bapak menekuni dunia resensi sudah hampir 5 tahun (2008 --…). Seperti halnya di bidang lain, menekuni bidang resensi pun banyak suka-dukanya. Insya Allah, di kesempatan lain bapak akan menceritakannya padamu. Bapak hanya berdoa semoga bapak tetap istiqamah meresensi buku, meski orientasinya kini berubah. Jika dulu meresensi sebagai job dan career, maka saat ini bapak mengubahnya menjadi calling; panggilan hidup. Bapak tidak lagi membuat resensi karena uang. Saat ini, bapak meresensi karena ingin berbagi pengetahuan; berbagi cerita dan materi apa yang sudah bapak baca kepada khayalak masyarakat. Tak lain, itu semua karena bapak mencintai buku, nak. Dan mencintai buku sama seperti layaknya mencintai kamu.[]
1 komentar:
salut ^^
Posting Komentar