Senin, 28 November 2011

Ampun Deh…

Mau menulis apa ya sore ini? banyak sebetulnya, tapi entah aku harus mendahulukan yang mana. Ah, kebanyakan bahan pusing juga, sepusing saat tidak adanya ide. Tapi, yang jelas, aku lega bukan main, karena aku sudah menyelesaikan 60 halaman editan. Ini rekor baru dalam karier editanku yang halamannya begitu gemuk. Patut aku syukuri prestasi harianku ini. Alhamdulillah. Tapi, aku berencana akan kulanjutkan lagi malam ini editanku, sampai 30 halaman. Ah, semoga saja bisa. Mood ini harus aku jaga sebaik-baiknya, karena jarang-jarang datangnya.


Pelbagai peristiwa baik yang aku alami sendiri maupun orang lain memberikan pelajaran berharga bagiku. Begitu juga kisah-kisah yang dialami kawan-kawanku, baik kisahnya kawanku sendiri maupun kisah kawannya kawanku. Semua itu menyodorkan hikmah dan pelajaran yang bernilai, yang sangat berguna bagiku, entah itu peristiwa yang harus kuikuti maupun yang harus kuhindari. Misalnya, seorang teman yang belum berani mengambil keputusan besar untuk menikahi kekasihnya, lantaran faktor finansial yang minim atau faktor tergoda oleh perempuan lain; ada juga kisah temannya teman yang hidupnya bergelimang materi tapi anaknya mengidap penyakit epilepsi—dimana kata temanku sebanyak apa pun duit, tidak ada apa-apanya kalau anaknya sudah kumat penyakitnya. Dari peristiwa itu aku harus bersyukur dengan sesungguh-sungguhnya. Betapapun minimnya kondisi finansialku tapi aku bersyukur kondisi keluargaku baik-baik saja.

Ada juga pengalaman yang menimpaku yang harus kuambil pelajarannya. Aku masih ingat, bersama seorang kawan aku hendak membuat penerbitan yang didanai oleh seorang pemilik toko buku besar di Indonesia, tapi tidak jadi. Ketidakjadian itu sangat tidak jelas alasannya. Walaupun ada alasannya, sungguh tidak masuk akal sama sekali. Yang jelas yang aku tahu, awalnya kawanku tidak serius merintis rencana penerbitan ini tapi kemudian alasannya dibuat-buat. Mestinya kami segera menemui sang donator, tapi tidak pernah jadi. Banyak alasan. Akhirnya molor terus dan tidak pernah kesana.

Padahal waktu itu sang donator sudah menanti-nanti kapan kita bisa ketemu untuk membuat pendirian penerbitannya. Walhasil, kawanku itu tidak ada keinginan lagi membuat penerbit karena bla-bla-bla. Alasannya sangat banyak. Dia seperti takut untuk membuat penerbitan itu, karena barangkali dalam hitungannya akan merugikan dia. Itu sangat berbeda sekali saat pertama kami selepas bertemu dengan donatur. Dia begitu bersemangat dan berapi-api, dan sudah punya mimpi juga untuk siap-siap “naik lift”.

Dan jangan tanya tentang aku waktu itu; aku sendiri pas pulang dari pertemuan itu, sekitar jam 1 dini hari, aku langsung menelpon istriku. Aku kabarkan berita baik itu. Aku ceritakan semuanya hasil pertemuan itu. Aku dan istriku begitu gembira. Masa depan cerah seolah sudah terlihat. Pas tanggal tertentu kami sudah merencanakan untuk bertemu donatur, tapi kawanku membatalkannya. Lalu, aku tanya lagi kapan kita bisa bertemu dengan donatur lagi. Jawabannya mengambang, tidak ada langkah konkrit. Meski begitu aku tetap menjalin persahabatan dengannya. Hanya saja dalam konteks soal uang aku tidak mau lagi. Persahabatan lebih aku utamakan, ketimbang permusuhan, karena bisa saja aku marah, protes dan mengkritisi kawanku itu yang tidak serius membuat penerbitan dan sudah membuat harapanku pupus. Tapi, aku tidak ingin melakukannya.

Yang aku dapatkan dari pengalaman itu adalah bahwa aku tidak boleh menggantungkan harapan pada orang lain. Begitu juga sebaliknya, aku tidak boleh memberikan harapan pada orang lain, karena ketika harapan itu tidak tercapai, maka aku hanya akan membuat orang lain kecewa. Itu saja. Dan sudah selayaknya, aku harus membuat harapan sendiri dengan upayaku sendiri. Itu lebih aman. Kecewa dan bahagia akan aku rasakan sendiri, ha-ha-ha. []

Yogyakarta, 28 november 2011, pkl. 17.58 WIB.

Minggu, 20 November 2011

Hanya Soal Mentalitas Saja

Tadi malam timnas Sepakbola Indonesia menang lawan Vietnam di semi final Sea Games. Lumayan puas menontonnya. Keduanya bermain sangat terbuka dan saling serang. Asyik sekali melihatnya. Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi catatanku untuk tim Indonesia. Misalnya, sikap individualisnya Okto M. dia terlalu banyak membawa bola sendirian padahal sudah dekat dengan garis kiper. Seandainya dia mengoper bola yang dia kuasai saat dia terdesak, tentu peluang meraih gol sangat besar. Dia malah terus membawanya meski dalam keadaan terdesak, padahal ada kawan yang cukup bebas untuk melakukan penetrasi. Itu sungguh menjengkelkan. Tapi, kecepatannya sungguh tidak diragukan. Sangat luar biasa.


Selain itu, secara kesebelasan, permainan mereka terlalu terburu-buru, tidak taktis dan praktis. Mereka kebanyakan bermain lambung. Mungkin ingin bergaya Liga Inggris, he-he-he. Tapi, kurang maksimal, masih banyak kekurangannya. Walhasil, bola mudah direbut, dan permainan sering kali didominasi oleh Vietnam. Tapi okelah, secara keseluruhan tim Indonesia lumayan bagus ketimbang pas lawan Malaysia di pertandingan sebelumnya. Begitu buruknya Indonesia pas lawan Malaysia itu. Mereka kalah 0-1.

Memang ada beberapa pemain inti diistirahatkan, untuk persiapan pertandingan lawan Vietnam tadi malam. Apakah memang Indonesia selalu grogi dengan Malaysia, karena secara pengalaman terdahulu Indonesia selalu kalah dalam pertandingan penting, seperti di final piala AFF, tempo lalu. Tapi itu bukan alasan yang signifikan. Kalah ya kalah, jangan banyak dalih. Dan harus diakui Malaysia lebih baik. Utamanya pertahanannya yang begitu solid dan kuat. Apa sesungguhnya rahasianya?

Mentalitas. Ya, itulah kunci sukses tim Malaysia. Mereka punya mental yang kuat dalam meraih pertandingan. Sikap superior selalu ditunjukkan mereka. Mental yang kuat memberikan antusiasme yang lebih. Ada gelora yang besar dalam dada mereka. Tentu saja mentalitas itu disertai dengan teknik dan taktik yang brilian. Saya melihat tim Indonesia belum terlihat. Geregetnya kurang menonjol.

Menurut Rahmad Darmawan (RD), sang pelatih, kekalahan dari Malaysia adalah sebuah pukulan. Namun, hal itu harus dijadikan motivasi untuk bangkit. “Saya berharap kekalahan ini bukan sebuah pukulan yang membuat jatuh. Saya harap ini sebuah pukulan untuk bangun dan termotivasi.” Itulah yang dikatakan RD. Luar biasa.

Walhasil, tim asuhannya betul-betul sangar pas lawan Vietnam. Mental bertarungnya kelihatan. Mereka benar-benar habis-habisan. Aku salut. Dan akhirnya, timnas Indonesia berhasil memenangkan pertandingan dengan skor 2-0. Dan di final (senin, 21 November 2011) akan bertemu Malaysia kembali. Semoga kekalahan dari Malaysia pas di perebutan juara group menjadi pelajaran berharga, dan menemukan taktik jitu untuk menaklukannya. Walau tidak menang, mari tunjukkan mentalitas yang kuat, dengan disertai permainan yang apik (taktik dan teknik yang jitu). Bravo Indonesia.

Yogyakarta, minggu, tgl. 20.11.2011 (hari ini nomornya cantik, seperti 11.11.2011), pkl. 16.49

Sabtu, 19 November 2011

Kapitalis dan Idealis

Di luar hujan lumayan lebat. Aku kehabisan ide mau berbuat apa. Membaca sudah, menulis (mengedit) juga sudah. Rasanya mau ngapa-ngapain agak malas. Akhirnya, kunyalakan notebook dan kubuat secangkir teh hangat. Dalam pikiranku saat menyalakan notebook bukan untuk menulis buku atau pun resensi, tapi mau menulis catatan harian saja. Entah kenapa, menulis catatan harian (cathar) atau biasa disebut diary begitu mengasyikkan. Tak pernah bosan. Bahkan ada perasaan lega, puas, senang, dan perasaan positif lainnya.


Tentu ini harus disyukuri, karena jarang-jarang juga aku melakukannya pada saat banyak pekerjaan. Terutama saat aku bekerja di kantoran. Jadi, mumpung masih banyak waktu luang, maksudku waktu yang tidak terikat, aku harus menggunakannya untuk menulis diary. Terserah apa saja yang hendak aku tulis. Anggap saja sebagai sampah.

Jadi tak perlu dipikirkan bermutu atau tidak tulisannya, bagus atau tidak bahasanya, yang penting menulis. Ya, menulis segala unek-unek dalam otak dan hati. Unek-unek bisa dari diri sendiri maupun orang lain, baik yang dirasakan sendiri maupun dirasakan orang lain, baik kisah sendiri maupun kisah orang lain. Dari mana saja dan apa saja.

Namun, ada baiknya memang tulisanku harus dibagi dua, satu sisi ada yang diarahkan, dan sisi lain ada yang dibebaskan. Maksudku, satu sisi bisa dijadikan bahan buku, sisi lain bisa memplongkan pikiran dan perasaan. Satu sisi kapitalis, sisi lain idealis, ha-ha-ha. Jadi, dua sisi ini memang tidak bisa dipisahkan dalam diriku. Keduanya sama-sama tumbuh, dan sama-sama membawa masalah dalam hidupku, he-he-he. Lho, kok masalah? Mari aku perlihatkan.

Tak dapat dipungkiri, kalau aku mencari nafkah memang dari menulis. Itu fakta. Tapi, aku juga masih mempunya sisi idealisme, yakni tetap setia pada jalur ini. Banyak godaan ingin bekerja pada hal yang lain, tapi aku menepisnya. Aku ingin bekerja yang masih berhubungan dengan dunia tulis-menulis. Utamanya lagi, aku ingin bekerja sebagai penulis, dan menulis yang aku sukai. Itu idealisme aku. Aku pernah menjadi guru, pernah juga menjadi dosen, pernah juga menjadi penjaga taman bacaan, tapi entah kenapa aku tidak merasa cocok.

Dan aku merasa cocok pas kerja di bidang tulis-menulis. Tapi, lha kok masih ada ‘tapi’nya? Bukankah sudah sesuai dengan idealisme-ku? Nah, ternyata aku pun tidak cocok dengan menjadi pekerjaan kantoran. Aku pernah kerja di penerbitan, di mana aku harus ngantor tiap harinya. Ternyata, aku merasa jenuh kerja di kantor. Monoton banget. Akhirnya aku minta resign saja. Payah memang diriku ini. Tapi mau bagaimana lagi? Jadi, yang paling cocok bagiku adalah menulis di rumah/kos, ha-ha-ha. Aku merasa bebas dan leluasa.

Cuma masalahnya aku kadang tidak disiplin, tidak mendapat kepastian finansial dari apa yang kutulis, dan banyak menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak produktif. Aku kebanyakan melakukan yang bernilai 20 % dan tidak melakukan yang bernilai 60%--jika menggunakan pembagian waktu berrdasarkan hukum Pareto. Inilah PR-ku. Dan sampai saat ini aku masih ngisi PR tersebut setiap hari. Semoga aku bisa menyandingkan dengan indah antara kapitalis dan idealis dalam hal tulis-menulis. Semoga pilihanku tidak keliru, ha-ha-ha. Semoga sukses bagiku. Semangat.

Yogyakarta, 19 November 2011, pkl. 16.27, saat turun hujan dengan deras, dan aku menyesap teh hangat. Hmm…

Jumat, 18 November 2011

Hari Ini Disyukuri, Hari Esok Diharapkan

Alhamdulillah, hari ini sesuai target. Editing Masnawi sesuai rencana, aku mengedit sekitar 10 halaman. Sedikit sebetulnya, tapi aku merasa puas, karena sesuai dengan rencana. Namun, harus aku tingkatkan lagi menjadi 20 sampai 30 halaman. Karena, terlalu sedikit kalau aku menargetkan 10 halaman per hari. Terlebih jika melihat ketebalan bukunya yang mencapai 400-an halaman, dan diberi waktu oleh penerbit hanya 3 minggu. Jadi, mau tak mau aku harus menambah halaman lagi per harinya.


Di samping itu, ada dua naskah pula yang sedang aku garap, dari dua penerbit. Ini naskahku sendiri. Aku menargetkan satu bulan ini kedua naskah itu bisa rampung. Terkesan nafsu mungkin, tapi tidak mengapa, karena sudah ada beberapa naskah yang menunggu aku garap pula, walau sebenarnya naskah-naskah itu belum ada yang meminangnya, alias belum ada kepastian untuk diterima dan diterbitkan oleh penerbit. Tidak mengapa. Aku tetap akan menggarapnya karena siapa tahu bisa diterbitkan, baik oleh penerbit orang lain maupun penerbit sendiri, he-he-he.

Prestasi-prestasi kecil di atas patut aku syukuri, karena tanpa tekad yang kuat dan kemurahan dari Tuhan, sungguh tidak akan terjadi. Janganlah aku melupakan hal itu, karena syukur itu akan membuka prestasi-prestasi lainnya. Aku harus yakin itu. Aku tidak boleh luput dari perasaan syukur. Bayangkan saja, di saat orang lain mengalami kesulitan dalam masalah menulis buku, aku malah dilancarkan. Dua hal yang sangat kontras. Dan juga di saat orang lain kesulitan mendapat ide-ide untuk menuliskan sesuatu, aku malah kelimpahan ide yang bisa kutulis menjadi buku. Subhanallah banget, bukan? *sindrom syahrini*

Oleh karena itu, ekspresi rasa syukur itu aku harus mengejawantahkannya dalam tindakanku sehari-hari. Jangan sampai aku kufur nikmat, lupa dengan segala nikmat yang Tuhan berikan padaku ini. Meski hidupku kadang susah, aku harus tetap berpikir jernih, aku harus tetap semangat menjalani hidup ini. Tidak boleh putus asa. Tidak boleh habis harapan. Yakinkan pada diri ini bahwa aku mampu menjalani hidup dengan segala keterbatasan, entah itu keterbatasan harta, keterbatasan kemampuan, maupun keterbatasan lainnya yang selalu mengganjal cita-citaku.

Semua itu akan bisa kuatasi dengan menjadikan diri sebagai pribadi yang penuh semangat dan kemauan untuk terus belajar. Semangat itu penting, karena akan menjaga aku dari keputusasaan. Semangat itu perlu, karena itu menjadi semacam bensin untuk menggerakkan roda perjalanan hidupku menuju arah atau tujuan yang hendak ingin kucapai. Sedang soal kenapa aku harus terus belajar, kiranya sudah jelas, bahwa dengan menanamkan ‘aku sebagai manusia pembelajar’ aku akan terus menggali pelbagai macam pengetahuan; pengetahuan apa saja. Kemampuanku akan terus terasah jika aku terus belajar, dan belajar.

Dengan semangat dan belajar itu aku yakin hari esok segala yang aku harapkan bisa tercapai. Tentunya dengan izin Allah. Dan dengan mensyukuri hari ini membuat hidupku berlimpah kenikmatan. Kepada Tuhan aku memohon dan kepada-Nya pula aku berserah.

Yogyakarta, 18 November 2011, pkl. 16.57. sembari minum teh.

Senin, 14 November 2011

Kutempuh Jalan Sunyi

Jalan yang aku tempuh adalah jalan sunyi. Jalan yang jarang dilalui orang. Tidak semua orang suka dengan jalanku. Barangkali tidak popular dan tidak biasa. Barangkali tidak menjanjikan apa-apa, selain kesunyian. Entahlah. Yang jelas demikian faktanya. Di antara sekian banyak teman-temanku, mulai dari teman SD, MTs, MAK, hingga PT, sepengetahuanku tidak satu pun ada yang menempuh jalan sepertiku. De facto. Merek lebih memilih jalan lain, yang ramai, dan menjanjikan. Ya, menjanjikan segala sesuatunya.

Tetapi, mengapa aku memilih jalan sunyi itu padahal jelas-jelas banyak orang tidak menempuhnya?

Hingga saat ini aku belum mendapat jawaban yang mantap. Paling-paling aku hanya bisa menjawab, bahwa aku memilih jalan itu karena sesuai dengan karakter dan kepribadianku. Ya, begitu saja. Bisa saja aku memilih jalan yang banyak ditempuh layaknya kawan-kawanku juga, karena secara kualitas keilmuan, kapabilitas, tidak jauh berbeda dengan mereka. Tapi, ya itu tadi, sebagaimana yang aku sebutkan di atas, tidak cocok dengan karakter dan kepribadianku.

Meski jalan ini jalan penuh kesunyian aku harus menempuhnya, karena sudah menjadi pilihanku. Aku telah memilihnya, maka aku harus bertanggungjawab. Jadi, aku tidak boleh mengeluh (paling tidak jangan mengeluh terlalu banyak, haha), dan tidak pula bersedih karena kondisi itu. Mengapa aku mengatakan demikian, karena keluhan dan kesedihan sering aku rasakan di jalan ini. Jalan ini begitu terjal, penuh kerikil, bebatuan, dan lubang yang menganga, yang membuatku sulit berjalan cepat, dan harus hati-hati dalam melangkah. Semua keadaan itu menggoda aku untuk marah, mengeluh, menggerutu, sumpah serapah, dan hal-hal negatif lainnya.

Aku harus yakin bahwa jalan ini adalah jalan menuju keindahan dan kebahagiaan. Aku harus yakin seyakin-yakinnya di ujung jalan sana ada sebuah “dunia” yang penuh pesona, penuh kenikmatan, penuh keindahan, dan penuh kebahagiaan, yang kontras dengan jalan ini sendiri. Itulah “sebuah dunia” yang dijadikan balasan bagiku jika kelak aku dapat sampai di ujung jalan ini. Aku harus yakin bahwa jalan yang kutempuh ini bukan jalan buntu, bukan pula jalan yang penuh kesia-siaan. Aku harus yakin itu.

Mungkin keresahan dan kegelisahan yang kutempuh di jalan ini disebabkan oleh orientasiku juga yang serba kapitalistis, di mana segala hal yang kulakukan harus mendatangkan finansial alias rupiah. Maka jadinya aku resah dan gelisah tatkala gagal meraup uang. Namun begitu, wajar sebetulnya jika aku mempunyai niat dan orientasi ini, karena manusiawi—butuh sandang, pangan, dan papan—terlebih aku sudah beristri dan beranak. Cuma jangan terlalu, itu saja. Jadi, kuncinya ada pada kontrol diri.

Aku sedikit yakin seandainya aku tidak money oriented maka jalan yang kutempuh ini akan penuh dengan kebahagiaan. Lakukan segala sesuatunya sebagai panggilan hidup, sebagai pengabdian pada masyarakat. Betapa tidak, aku akan banyak membantu orang dalam segi pencerahan hidup, penambah wawasan bagi banyak orang, dan “petunjuk” menuju hidup kayak makna. Bukankah itu perilaku terpuji? Sungguh, aku harus yakin dengan hal itu. Keyakinan itu penting karena akan membuat aku percaya diri dalam hidup ini. Keyakinan itu penting karena akan memantapkan jiwa dan ragaku.

Teringat dengan puisi Emha Ainun Nadjib berjudul “Jalan Sunyi”:

Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi
Mendengarkan lagu bisu sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata - kata
Cinta yang tak kan kutemukan bentuknya

Apabila kau dengar tangis di saat lengang
Kalau bulan senyap dan langit meremang
Sesekali temuilah detak - detik pelaminan ruh sepi hidupku
Agar terjadi saat saling mengusap peluh dendam rindu

Kuanyam dari dan malam dalam nyanyian
Kerajut waktu dengan darah berlarut - larut
Tak habis menimpukku batu demi batu kepalsuan
Demi mengongkosi penantian ke Larut

Bagiku yang paling berkesan dari puisi di atas adalah kelompok bait terakhir, yang menggambarkan betapa beratnya orang menempuh jalan sunyi. Segala derita dari waktu ke waktu dia rasakan, dan hanya dia yang merasakannya. Tak ada orang lain, tak ada yang peduli. Ujian datang silih berganti, tak habis-habisnya. Semua itu dia lakukan demi sebuah idealisme, sebuah cita-cita yang didambakannya. Itulah ongkos yang harus dia bayar dengan begitu mahalnya. Jalan sunyi adalah jalan penuh onak-duri. Dan dia menempuh jalan itu.

Di jalan sunyi ini aku seperti tidak menghamba pada siapa pun. Aku merasa menjadi manusia merdeka. Aku tidak terikat oleh apa pun, tidak meruang dan mewaktu. Jalan ramai hanya membuat aku si pejalan sunyi menjadi kering jiwa, mematikan rasa, tidak peka dengan lingkungan. Jalan ini jauh dari hiruk-pikuk. Di jalan ini yang ada hanyalah ketenangan yang bercabang: bisa melenakan dan bisa menyadarkan. Tinggal bagaimana yang menjalaninya.

Aku akan terus berjalan di jalan sunyi ini, karena aku merasa membuatku menemukan nurani.