Saat mendengar khutbah jumat, pikiranku tiba-tiba menuju satu sosok yang kukagumi karena keistikamahannya. Dia biasa dipanggil Wa Dullah. Usianya sudah tua, mungkin seangkatan dengan almarhum kakekku. Aku tidak tahu persis. Tapi semangat memakmurkan mesjidnya begitu istimewa. Dia tidak hanya sekadar rajin shalat berjamaah lima waktu, tapi juga orang yang selalu pertama dan terakhir di mesjid. Dia yang mengumandangkan azan dan iqamat. Dia yang selalu membersihkan mesjid. Dia juga yang selalu menggelar karpet pas persiapan jumatan.
Bagiku Wa Dullah adalah pencinta sejati mesjid, meski pada hakikatnya pencinta Allah yang tulus mendermakan hidupnya pada rumah Tuhan. Beliau adalah orang yang dirinya menyerahkan sepenuhnya pada mesjid. Dia melakukan semua itu hanya berharap rahmat Tuhan. Tidak lebih. Setiap kali pulang kampung aku hampir bertemu dengannya di mesjid. Kadang sembari menunggu shalat berjamaah beliau mengajak aku ngobrol, sambil memijit pundakku. Beliau selalu menasihatiku. Pernah suatu ketika dia memberi nasihat padaku agar aku menjadi penerus kakekku kelak sudah tidak ada.
Ada kejadian lucu yang sering diceritakan bapakku mengenai Wa Dullah. Pada suatu dini hari Wa Dullah azan. Bapakku terbangun dan melihat jam dinding. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Bapakku berujar, "Lha, masih jam dua malam Wa Dullah kok sudah azan subuh. Pasti dia salah lihat jam." Dan benar saja, tak lama kemudian beliau mengumandangkan kata, "Hampuraaa". Hampura adalah bahasa sunda yang berarti mohon maaf. Pas subuh, bapakku kemudian bertemu dengannya dan mengonfirmasikan kejadian itu, dan benar saja Wa Dullah salah lihat jam, dikira sudah masuk waktu subuh maka dia buru-buru azan. Dan ketika melihat jam ternyata masih jam dua, maka dia buru-buru lagi membatalkan azannya yang sudah setengah perjalanan.
Begitulah sekelumit kisah Wa Dullah. Mengenai beliau aku banyak tahu dari bapakku. Bapakku pernah menceritakan asal-usulnya dan kedekatannya dengan almarhum kakekku. Pas lebaran tahun 2011 dengan ditemani bapak, aku silaturahmi ke rumahnya untuk pertama kalinya. Kulihat sosoknya yang begitu ringkih, dia sudah tidak bisa berjalan lagi. Itu lantaran faktor usia, bukan faktor lainnya. Namun penglihatan dan pendengarannya serta ingatannya masih segar bugar. Aku yakin itu karena hasil dari keistikamahannya memakmurkan mesjid (shalat, ngaji, dan menjaga segala sesuatunya yang ada di dalam mesjid). Dia hanya tidak bisa berjalan lantaran kakinya sudah lumpuh termakan usia. Itu saja.
Mungkin sudah 3 tahun aku tidak bertemu dengannya, dan baru kali itu lagi kami bertemu. Aku bersyukur dia masih ingat padaku. Alhamdulillah. Ingatannya masih normal. Biasanya usia yang sudah uzur seperti itu sudah banyak lupa, terlebih kepada orang yang sudah lama tidak pernah bertemu. Tapi beliau sungguh berbeda, berada di luar kebiasaan.
Bapakku pernah bilang bahwa keistikamahan Wa Dullah dalam shalat berjamaah di mesjid lima waktu belum ada yang menyamainya. Banyak orang yang lebih muda darinya tapi tidak ada yang rajin shalat berjamaah di mesjid. Mestinya mereka malu. Ujar bapakku. Padahal rumahnya tidak begitu jauh dari area masjid. Bandingkan dengam rumah Wa Dullah yang posisinya antara desa Bojong dan Citumenggung. Lumayan jauh. Meski jika ada yang mengatakan tidak jauh, tapi dia harus naik jika hendak ke mesjid. Butuh perjuangan ekstra untuk ke mesjid dengan medan seperti itu. Terlebih pada musim hujan, jalan yang dilaluinya agak becek. Coba anda bayangkan pada musim hujan beliau keluar rumah menuju mesjid pada menjelang subuh. Gelap dan becek. Tapi, ternyata bagi beliau itu bukanlah halangan. Biasa-biasa saja.
Bisakah kita melakukannyat? Aku sendiri belum tentu. Wong pas dekat saja kadang malas-malasan. Kebetulan rumah kakek-nenekku persis samping mesjid. Jaraknya cuma 5 langkah padahal. Jadi sungguh memalukan sebenarnya aku jika sedang di tempat kakek aku tidak sampai ke mesjid untuk shalat berjamaah. Rasa malu itu bertambah jika hendak dibandingkan dengan Wa Dullah yang notanene-nya sudah tua dan jauh dari mesjid, namun tidak pernah absen untuk shalat di mesjid.
Apa yang bisa aku ambil dari kisah Wa Dullah itu? Keteladanan dan totalitas. Ya, dua hal itulah yang melekat dalam dirinya yang bisa kulekatkan juga dalam diriku. Istikamahnya dalam "menjaga" mesjid menjadi hal yang patut diteladani, terlebih di zaman sekarang yang menggerus kita dengan pelbagai kesibukan duniawi sehingga melupakan mesjid. Zaman ini adalah dengan meminjam bahasa teman, zaman bergelimang material tapi busung lapar di gurun spiritual. Totalitasnya mengabdi pada Tuhan menjadikan dirinya tak goyah di telan zaman. Wa Dullah tetap hidup bersahaja dan istikamah.[]
Pati, 11 Desember 2011
2 komentar:
thanks gan, you write useful info and really good, nice and greet bloggers blog. I am from the blog
sprei
bedcover
bed cover
Izin share ya kang iqbal
Posting Komentar