Di Pati. Sudah dua hari ini hujan turun terus menerus tak kenal henti. Mungkin ada dua hari dua malam. Berhenti hanya sejenak, seolah hendak sekadar mengambil napas saja. Setelah itu hujan turun kembali. Baru kali ini aku menemui hujan seperti ini. Sebelumnya tidak pernah. Bayangan banjir menghantuiku. Betapa tidak bayangkan saja apabila hujan turun terus menerus, air sungai meluap, dan banjir kiriman dari gunung datang menerjang. Mengerikan.
Ah, semoga saja tidak terjadi perihal ketakutanku itu. Amin. Meski begitu aku harus siap dengan segala kemungkinan. Toh, apa pun bisa saja terjadi. Dan, aku sebagai hamba-Nya hanya bisa pasrah, tak mampu untuk mengubah sesuatu. Hujan seolah mempunyai dua sisi mata uang: bisa membawa berkah, bisa pula membawa petaka. Tidak sepenuhnya benar pernyataanku itu. Karena hujan sesungguhnya selalu membawa kebaikan, hanya saja manusia yang ditugasi sebagai pengelola dunia tidak amanah dalam menjalankannya.
Ketidakamanahan manusia menjadikan sirkulasi alam raya tidak lancar. Misalnya, penebangan pohon yang semena-mena. Hal itulah kemudian saat datang hujan, banyak wilayah menjadi banjir. Karena air yang melimpah tidak terserap tanaman. Sehingga banjir dan longsor. Jadi, bukan hujannya yang bisa disalahkan, tapi ketidaksiapan bumi sendiri untuk menerima air yang melimpah itu. Jika saja hujan makhluk hidup, mungkin dia tidak rela untuk disalahkan apalagi dikambinghitamkan.
Hujan saat ini seperti sebuah anomali. Satu sisi kita mengharapkan kehadirannya saat kita terkena musim kemarau panjang yang sulit menemukan air, namun sisi lain, saat turun hujan seperti ini, malah kita berharap segera berlalu musim hujan. Karena menyebabkan banjir. Tentu ada yang salah dengan keadaan anomali demikian. Iklim yang tak menentu turut menjadikanya demikian. Pemanasan global juga sangat bertanggung jawab dengan keadaan ini.
Ya, banyak faktor sebetulnya yang menyebabkan anomali. Ketakutan kita lah penyebab kita menjadi takut. Aneh juga, mengapa kita harus takut? Sejak kapan sebetulnya munculnya ketakutan itu yang menyebabkan anomali? Wallahu a'lam. Mungkin saat manusia tidak merasakan manfaatnya apa arti hujan dan apa arti kemarau. Mungkin saat manusia merasakan kala berkah menjadi petaka. Ya, mungkin saja demikian. Tapi, mesti diingat anomali itu—sebagaimana telah disinggung di atas—terjadi karena manusia itu sendiri. Bukan karena yang lainnya. Mari kita merenungkannya.
Pati, senin, 9 januari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar