Buruan..ikuti lomba resensi Percy Jackson, THE LAST OLYMPIAN
Syarat : Posting resensi kamu via facebook dan tag minimal 20 sobat kamu termasuk Rumah Buku Hikmah.
Tiga resensi utama yang terpilih berhak mendapatkan masing-masing.. hadiah uang senilai Rp 1 juta rupiah plus paket buku senilai Rp 250.000 rupiah. 10 Resensi terpilih lainnya akan mendapatkan hadiah hiburan berupa paket buku dari penerbit Hikmah senilai Rp 250 ribu rupiah. Cepetan bikin..........
Pengumuman pemenang Februari 2011
Dont Miss IT
Padi tumbuh dalam kesunyian, sejak hijau hingga menguning. Dia tidak banyak "bicara" dan gembar-gembor untuk mempersiapkan kematangannya. Dan saat matang dia justru merunduk. Semakin berisi semakin tunduk. [iqbal.dawami@gmail.com]
Rabu, 29 Desember 2010
Jumat, 26 November 2010
Bahagiakah dengan Pekerjaan Anda?
“Setelah gak kerja di situ lagi, terus kerjamu apa sekarang?” tanya aku, kepada seorang kawan.
Dia menjawab, “Aku kerja freelance. Dan, aku sangat bahagia dengan pekerjaanku ini.”
Amboi. Indah sekali aku mendengar jawaban dari seorang kawan itu. Betapa nikmatnya kerja yang dikerjakan penuh dengan rasa bahagia itu.
Betapa sering aku mendengar orang-orang “mengeluh” dengan pekerjaannya. Terkesan tidak bahagia. Mereka bekerja hanya sebatas mencari uang. Soal nikmat atau tidak dengan apa yang dikerjakannya, itu lain hal. Oleh karena itu, mereka ingin segera menyelesaikan pekerjaannya, ingin segera habis jadwal jam kerjanya, ingin segera datang hari libur, membenci hari senin, mengawali hari dengan menggerutu, dan seterusnya, dan seterusnya.
Walhasil, mereka tidak sungguh-sungguh dalam bekerja. Mereka sering korupsi waktu; datang terlambat, pulang cepat, tugas pekerjaannya sering molor alias tidak tepat waktu. Mereka bekerja lantaran terpaksa. Itulah saya kira gambaran orang yang bekerja dengan perasaan tidak bahagia. Mereka bekerja hanya sebatas menjalankan kewajiban, meski kewajibannya sering kali dikorup. Namun, parahnya lagi, mereka sangat “melek” terhadap uang. Sensitif sekali dengan rupiah. Salah satunya, ingin meraih uang dengan jumlah yang banyak.
Namun, harus juga disadari bahwa antara pekerjaan kita dengan “pekerjaan” yang kita senangi sering kali menjadi dua hal yang berbeda. Kita bekerja, baik bekerja pada orang lain, maupun bekerja yang dikelola sendiri, selalu mendapatkan bayaran (berupa uang). Tapi, apa yang kita lakukan dengan penuh kesenangan tidak mesti menghasilkan uang. Dua hal inilah yang sering kali kita alami. Itu menjadi sebuah dilema. Meski pada akhirnya kita sering kali lebih memilih bekerja (yang menghasilkan uang) ketimbang “bekerja” dengan yang kita senangi (yang tidak mesti menghasilkan uang).
Jadi, alangkah bahagianya orang yang bisa menggabungkan di antara dua hal itu, di mana pekerjaan yang dia senangi ada yang membayarnya. Pekerjaannya tidak menjadi sebuah “penderitaan” atau “keterpaksaan”, tetapi kebahagiaan. Bahagialah orang yang menikmati pekerjaannya.
Jogjakarta, Jumat, 26 November 2010, Pkl. 07.00.
Dia menjawab, “Aku kerja freelance. Dan, aku sangat bahagia dengan pekerjaanku ini.”
Amboi. Indah sekali aku mendengar jawaban dari seorang kawan itu. Betapa nikmatnya kerja yang dikerjakan penuh dengan rasa bahagia itu.
Betapa sering aku mendengar orang-orang “mengeluh” dengan pekerjaannya. Terkesan tidak bahagia. Mereka bekerja hanya sebatas mencari uang. Soal nikmat atau tidak dengan apa yang dikerjakannya, itu lain hal. Oleh karena itu, mereka ingin segera menyelesaikan pekerjaannya, ingin segera habis jadwal jam kerjanya, ingin segera datang hari libur, membenci hari senin, mengawali hari dengan menggerutu, dan seterusnya, dan seterusnya.
Walhasil, mereka tidak sungguh-sungguh dalam bekerja. Mereka sering korupsi waktu; datang terlambat, pulang cepat, tugas pekerjaannya sering molor alias tidak tepat waktu. Mereka bekerja lantaran terpaksa. Itulah saya kira gambaran orang yang bekerja dengan perasaan tidak bahagia. Mereka bekerja hanya sebatas menjalankan kewajiban, meski kewajibannya sering kali dikorup. Namun, parahnya lagi, mereka sangat “melek” terhadap uang. Sensitif sekali dengan rupiah. Salah satunya, ingin meraih uang dengan jumlah yang banyak.
Namun, harus juga disadari bahwa antara pekerjaan kita dengan “pekerjaan” yang kita senangi sering kali menjadi dua hal yang berbeda. Kita bekerja, baik bekerja pada orang lain, maupun bekerja yang dikelola sendiri, selalu mendapatkan bayaran (berupa uang). Tapi, apa yang kita lakukan dengan penuh kesenangan tidak mesti menghasilkan uang. Dua hal inilah yang sering kali kita alami. Itu menjadi sebuah dilema. Meski pada akhirnya kita sering kali lebih memilih bekerja (yang menghasilkan uang) ketimbang “bekerja” dengan yang kita senangi (yang tidak mesti menghasilkan uang).
Jadi, alangkah bahagianya orang yang bisa menggabungkan di antara dua hal itu, di mana pekerjaan yang dia senangi ada yang membayarnya. Pekerjaannya tidak menjadi sebuah “penderitaan” atau “keterpaksaan”, tetapi kebahagiaan. Bahagialah orang yang menikmati pekerjaannya.
Jogjakarta, Jumat, 26 November 2010, Pkl. 07.00.
Kamis, 25 November 2010
Kuliner di Kudus
Bismillah… hari ini aku merasa segar sekali, baik jiwa maupun raga. Barusan aku menghabiskan secangkir kopi Kapal Api. Sembari ngopi aku ngobrol ngalor ngidul dengan kawan. Ah, nikmat sekali. Dan, ketika kopi mau habis, kami pun mengakhiri obrolan. Kami mulai aktivitas masing-masing. Aku memilih membuka laptopku. Dan memulai menulis catatan ini.
Sembari mendengar lagu-lagu Doel Soembang, aku ingin bercerita pas kemarin di Kudus. Malam hari, bersama dua orang kawan, satunya wartawan Suara Merdeka, dan satunya lagi esais, kami berwisata kuliner di kota kudus. Ada dua tempat yang kami singgahi. Pertama, warung makan sop ayam. Baru kali itu aku merasakan nikmatnya makan sop ayam. Kuahnya terasa nikmat sekali. Porsinya juga porsi jumbo. Mangkuknya besar sekali. Berbeda dengan mangkok yang sering kulihat di warung-warung makan jogja, mangkuknya kecil-kecil. Tentu saja itu berpengaruh pada porsi makanannya.
Setelah selesai menghabiskan semangkuk sop ayam, kami meluncur ke lokasi kuliner lainnya. Kami menuju lesehan wedang alang-alang. Senang sekali aku mendengarnya. Kupikir pasti unik nih wedangnya. Seperti halnya keunikan kopi jos di Jogjakarta. Dan benar saja, ketika kulihat wedang itu, unik sekali wedangnya. Wedang tersebut warnanya agak kekuning-kuningan, dan ada rempah-rempahnya, semacam akar begitu. Dan, rasanya mirip jahe. Dan mirip rasa purwaceng juga, ketika aku dulu meminumnya di Dieng.
Alang-alang atau ilalang adalah sejenis rumput berdaun tajam yang merupakan gulma (tumbuhan pengganggu) para petani. Konon, ilalang mempunyai manfaat di bidang kesehatan. Di antaranya sebagai pelembut kulit; peluruh air seni, pembersih darah, penambah nafsu makan, penghenti perdarahan dan lain-lainnya.
Kulihat banyak orang menikmati wedang tersebut. Ada yang berpasangan, muda-mudi, ada pula yang bersama keluarganya. Nikmat sekali memang menyeruput wedang alang-alang, apalagi setelah capai sehabis kerja seharian.
Sembari menyeruput wedang alang-alang kami ngobrol ngalor-ngidul. Dari obrolan itu, banyak infromasi yang berharga buatku terutama dalam soal tulis-menulis dan beberapa informasi penting mengenai dunia pendidikan di Kudus.
Sembari mendengar lagu-lagu Doel Soembang, aku ingin bercerita pas kemarin di Kudus. Malam hari, bersama dua orang kawan, satunya wartawan Suara Merdeka, dan satunya lagi esais, kami berwisata kuliner di kota kudus. Ada dua tempat yang kami singgahi. Pertama, warung makan sop ayam. Baru kali itu aku merasakan nikmatnya makan sop ayam. Kuahnya terasa nikmat sekali. Porsinya juga porsi jumbo. Mangkuknya besar sekali. Berbeda dengan mangkok yang sering kulihat di warung-warung makan jogja, mangkuknya kecil-kecil. Tentu saja itu berpengaruh pada porsi makanannya.
Setelah selesai menghabiskan semangkuk sop ayam, kami meluncur ke lokasi kuliner lainnya. Kami menuju lesehan wedang alang-alang. Senang sekali aku mendengarnya. Kupikir pasti unik nih wedangnya. Seperti halnya keunikan kopi jos di Jogjakarta. Dan benar saja, ketika kulihat wedang itu, unik sekali wedangnya. Wedang tersebut warnanya agak kekuning-kuningan, dan ada rempah-rempahnya, semacam akar begitu. Dan, rasanya mirip jahe. Dan mirip rasa purwaceng juga, ketika aku dulu meminumnya di Dieng.
Alang-alang atau ilalang adalah sejenis rumput berdaun tajam yang merupakan gulma (tumbuhan pengganggu) para petani. Konon, ilalang mempunyai manfaat di bidang kesehatan. Di antaranya sebagai pelembut kulit; peluruh air seni, pembersih darah, penambah nafsu makan, penghenti perdarahan dan lain-lainnya.
Kulihat banyak orang menikmati wedang tersebut. Ada yang berpasangan, muda-mudi, ada pula yang bersama keluarganya. Nikmat sekali memang menyeruput wedang alang-alang, apalagi setelah capai sehabis kerja seharian.
Sembari menyeruput wedang alang-alang kami ngobrol ngalor-ngidul. Dari obrolan itu, banyak infromasi yang berharga buatku terutama dalam soal tulis-menulis dan beberapa informasi penting mengenai dunia pendidikan di Kudus.
Senin, 09 Agustus 2010
Pembajakan Buku yang Memprihatinkan
Jumat, 31 Juli 2010, aku melihat dwilogi novel Padang Bulan karya Andrea Hirata versi bajakan di pedagang buku emperan di jalan Kahar Muzakkar, Yogyakarta. Kavernya agak pucat, kertasnya sejenis kertas koran. Jadi, walaupun halamannya sama, tapi jauh lebih tipis. Setelah kutanya harganya, oh, ternyata hanya 35 ribu rupiah dan bisa ditawar. Padahal harga buku versi aslinya 76.500 rupiah. Kulihat tidak hanya buku itu saja, ada juga buku-buku lainnya, seperti tetralogi Laskar Pelangi masih karya Andrea Hirata, Bumi Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy, Eclipse karya Stephenie Meyer, dan lain-lain.
Aku sedih bukan kepalang melihat buku-buku yang dibajak itu. Betapa tidak, hasil karya seseorang yang sudah “berdarah-darah” menuliskan ide, gagasan, pikiran, dan perasaannya, dibajak begitu saja oleh orang-orang yang rakus terhadap keuntungan semata. Bahkan jika dilihat dalam lingkup yang lebih luas, sebetulnya yang dirugikan tidak hanya penulisnya saja, melainkan penerbit, distributor, dan toko-toko buku yang menjual buku-buku non-bajakan. Pembelian buku asli akan mengalami penurunan drastis seiring beredarnya buku bajakan. Dan, tentu saja, royalti si penulis menjadi seret.
Pada saat aku mengikuti acara bedah buku dwilogi novel Padang Bulan di Toga Mas Affandi, Yogyakata, Andrea Hirata mengatakan bahwa baru diluncurkan tiga hari saja dwilogi Padang Bulan-nya sudah dibajak, tepatnya di Stasiun Bogor. Alamak. Sedang novel Laskar Pelangi-nya dibajak mencapai 15 juta eksemplar. Sungguh memprihatinkan sekali.
Lazimnya, buku-buku yang menjadi sasaran pembajakan adalah buku-buku best seller, mulai dari kamus, buku panduan, novel, dan yang lainnya. Sistem kerjanya pun sangat cepat. Mereka jeli terhadap buku-buku yang dikategorikan best seller. Seperti kasus dwilogi Padang Bulan, baru tiga hari launching, sudah ada bajakannya. Sungguh, luar biasa.
Teknologi dan Mental Masyakarat
Nampaknya, teknologi sangat berperan besar dalam pembajakan buku. Teknologi semakin canggih, pembajakan buku pun semakin merajalela. Tahun-tahun dahulu, pembajak melakukannya dengan mengetik ulang dan mencetaknya. Jika, tidak mau repot, pembajak menggunakan foto kopi. Lain halnya dengan sekarang. Mereka sudah bisa menggunakan alat yang dinamakan scanner. Tinggal men-scan saja buku yang hendak dibajak, lalu diolah memakai program OCR (Optical Character Recognition). Dan penjualannya bisa dilakukan dengan dua cara, dalam bentuk e-book yang kemudian dimasukkan ke dalam CD dan bentuk buku cetak. Luar biasa, bukan?
Pembajakan buku di Amerika Serikat lebih canggih lagi, seiring kemajuan teknologinya. Di sana telah menjamur buku-buku elektronik berformat PDF yang sesungguhnya hasil pemindaian dari buku yang asli. Pasarannya menuntut seperti itu, karena di sana komputer bisa dikatakan hampir dipunyai oleh semua masyakarat. Salah satu korbannya adalah Stephen King, penulis spesialis thriller. Novelnya berjudul The Stand dengan ketebalan 1.100 lembar dibajak dalam bentuk PDF.
Sudah mafhum, bahwa pembajakan buku termasuk pelanggaran Undang-undang Hak Cipta No 19 tahun 2002. Tapi, undang-undang itu tidak pernah digubris oleh sang pembajak. Kenyataannya, mereka baik-baik saja, tidak ada yang menangkap, dan pembeli pun lumayan banyak. Dengan kata lain, mereka melakukan pembajakan karena ada pasarannya dan aman-aman saja untuk dilakoni.
Mengapa pembajakan sangat susah diberantas? Menurut saya paling tidak ada dua hal, yaitu lemahnya penegakan hukum dan kronisnya mental masyarakat. Sejak dulu pembajakan buku sudah ada, tapi sejauh pengamatan saya tidak ada satu pun terdengar kasus terkait masalah ini, misalnya di media diberitakan ada pembajak buku dijebloskan ke penjara. Yang sering terdengar adalah aksi sweeping atas buku-buku yang tidak boleh beredar karena isinya dianggap “membahayakan”.
Sisi lain, mental masyarakat dalam menghargai buku masih lemah pula. Masyarakat hanya memikirkan bagaimana bisa mendapatkan buku yang diinginkan dengan harga yang relatif murah. Dalam hal ini, saya kira, tidak terkait persoalan isi kantong seseorang, tetapi soal mental membeli buku. Karena kenyataannya ada juga sebagian masyakarat yang hidupnya pas-pasan tapi mampu membeli buku-buku asli.
Jadi, hemat saya, jika ingin memberantas pembajakan buku, kedua hal di atas harus diselesaikan; yaitu para penegak hukum serius membawa para pembajak ke pengadilan dan masyarakat diberi penyuluhan melalui berbagai media untuk tidak membeli buku-buku bajakan. Untuk yang kedua, itu adalah tugas kita semua, bagaimana mengubah masyarakat yang biasa membeli buku bajakan dan menyadarkan mereka untuk menghargai jerih payah sang pengarang dan penerbit.
Sungguh, bukan tidak mungkin jika pembajakan buku dibiarkan begitu saja, akan menimbulkan dampak negatif pada pengembangan perekonomian Indonesia. Lingkup yang lebih kecilnya barangkali berdampak pada sang pengarang untuk enggan berkarya lagi. Persis seperti yang pernah diutarakan Andrea Hirata, bahwa riset novelnya (dwilogi Padang Bulan) selama 3,5 tahun dengan menghabiskan dana Rp 30 juta, dibajak begitu saja. Fenomena pembajakan kerap kali membuatnya kehilangan minat menulis.
Seorang kawan mengatakan bahwa pelanggaran hak cipta oleh pembajak di Indonesia bagai memindahkan air laut dengan tangan. Dibutuhkan banyak pihak untuk turut membantu menertibkannya dengan serius, tuntas, dan istiqomah.[]
M. Iqbal Dawami, pencinta buku, tinggal di Muntilan
Aku sedih bukan kepalang melihat buku-buku yang dibajak itu. Betapa tidak, hasil karya seseorang yang sudah “berdarah-darah” menuliskan ide, gagasan, pikiran, dan perasaannya, dibajak begitu saja oleh orang-orang yang rakus terhadap keuntungan semata. Bahkan jika dilihat dalam lingkup yang lebih luas, sebetulnya yang dirugikan tidak hanya penulisnya saja, melainkan penerbit, distributor, dan toko-toko buku yang menjual buku-buku non-bajakan. Pembelian buku asli akan mengalami penurunan drastis seiring beredarnya buku bajakan. Dan, tentu saja, royalti si penulis menjadi seret.
Pada saat aku mengikuti acara bedah buku dwilogi novel Padang Bulan di Toga Mas Affandi, Yogyakata, Andrea Hirata mengatakan bahwa baru diluncurkan tiga hari saja dwilogi Padang Bulan-nya sudah dibajak, tepatnya di Stasiun Bogor. Alamak. Sedang novel Laskar Pelangi-nya dibajak mencapai 15 juta eksemplar. Sungguh memprihatinkan sekali.
Lazimnya, buku-buku yang menjadi sasaran pembajakan adalah buku-buku best seller, mulai dari kamus, buku panduan, novel, dan yang lainnya. Sistem kerjanya pun sangat cepat. Mereka jeli terhadap buku-buku yang dikategorikan best seller. Seperti kasus dwilogi Padang Bulan, baru tiga hari launching, sudah ada bajakannya. Sungguh, luar biasa.
Teknologi dan Mental Masyakarat
Nampaknya, teknologi sangat berperan besar dalam pembajakan buku. Teknologi semakin canggih, pembajakan buku pun semakin merajalela. Tahun-tahun dahulu, pembajak melakukannya dengan mengetik ulang dan mencetaknya. Jika, tidak mau repot, pembajak menggunakan foto kopi. Lain halnya dengan sekarang. Mereka sudah bisa menggunakan alat yang dinamakan scanner. Tinggal men-scan saja buku yang hendak dibajak, lalu diolah memakai program OCR (Optical Character Recognition). Dan penjualannya bisa dilakukan dengan dua cara, dalam bentuk e-book yang kemudian dimasukkan ke dalam CD dan bentuk buku cetak. Luar biasa, bukan?
Pembajakan buku di Amerika Serikat lebih canggih lagi, seiring kemajuan teknologinya. Di sana telah menjamur buku-buku elektronik berformat PDF yang sesungguhnya hasil pemindaian dari buku yang asli. Pasarannya menuntut seperti itu, karena di sana komputer bisa dikatakan hampir dipunyai oleh semua masyakarat. Salah satu korbannya adalah Stephen King, penulis spesialis thriller. Novelnya berjudul The Stand dengan ketebalan 1.100 lembar dibajak dalam bentuk PDF.
Sudah mafhum, bahwa pembajakan buku termasuk pelanggaran Undang-undang Hak Cipta No 19 tahun 2002. Tapi, undang-undang itu tidak pernah digubris oleh sang pembajak. Kenyataannya, mereka baik-baik saja, tidak ada yang menangkap, dan pembeli pun lumayan banyak. Dengan kata lain, mereka melakukan pembajakan karena ada pasarannya dan aman-aman saja untuk dilakoni.
Mengapa pembajakan sangat susah diberantas? Menurut saya paling tidak ada dua hal, yaitu lemahnya penegakan hukum dan kronisnya mental masyarakat. Sejak dulu pembajakan buku sudah ada, tapi sejauh pengamatan saya tidak ada satu pun terdengar kasus terkait masalah ini, misalnya di media diberitakan ada pembajak buku dijebloskan ke penjara. Yang sering terdengar adalah aksi sweeping atas buku-buku yang tidak boleh beredar karena isinya dianggap “membahayakan”.
Sisi lain, mental masyarakat dalam menghargai buku masih lemah pula. Masyarakat hanya memikirkan bagaimana bisa mendapatkan buku yang diinginkan dengan harga yang relatif murah. Dalam hal ini, saya kira, tidak terkait persoalan isi kantong seseorang, tetapi soal mental membeli buku. Karena kenyataannya ada juga sebagian masyakarat yang hidupnya pas-pasan tapi mampu membeli buku-buku asli.
Jadi, hemat saya, jika ingin memberantas pembajakan buku, kedua hal di atas harus diselesaikan; yaitu para penegak hukum serius membawa para pembajak ke pengadilan dan masyarakat diberi penyuluhan melalui berbagai media untuk tidak membeli buku-buku bajakan. Untuk yang kedua, itu adalah tugas kita semua, bagaimana mengubah masyarakat yang biasa membeli buku bajakan dan menyadarkan mereka untuk menghargai jerih payah sang pengarang dan penerbit.
Sungguh, bukan tidak mungkin jika pembajakan buku dibiarkan begitu saja, akan menimbulkan dampak negatif pada pengembangan perekonomian Indonesia. Lingkup yang lebih kecilnya barangkali berdampak pada sang pengarang untuk enggan berkarya lagi. Persis seperti yang pernah diutarakan Andrea Hirata, bahwa riset novelnya (dwilogi Padang Bulan) selama 3,5 tahun dengan menghabiskan dana Rp 30 juta, dibajak begitu saja. Fenomena pembajakan kerap kali membuatnya kehilangan minat menulis.
Seorang kawan mengatakan bahwa pelanggaran hak cipta oleh pembajak di Indonesia bagai memindahkan air laut dengan tangan. Dibutuhkan banyak pihak untuk turut membantu menertibkannya dengan serius, tuntas, dan istiqomah.[]
M. Iqbal Dawami, pencinta buku, tinggal di Muntilan
Kamis, 22 Juli 2010
Kebahagiaan di Tengah Penderitaan
Judul buku : Negeri Bahagia (The City of Joy)
Penulis : Dominique Lapierre
Penerjemah: Wardah Hafidz
Penerbit : Bentang Pustaka, Jogjakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: xv + 799 hlm.
Terpujilah untuk penerbit yang sudah menerbitkan buku yang bermutu nan memberdayakan ini. Terpujilah untuk penerjemah yang sudah berhasil menyuguhkan rasa bahasa Indonesia ini. Terpujilah penyuntingnya yang sudah mengamplas huruf, kata, dan paragraf dalam novel ini, sehingga nikmat dibaca, tanpa ada gangguan sedikit pun. Terpujilah sang pengarang yang telah berhasil menulis novel ini dengan usaha keras, sehingga usaha anda telah menginspirasi banyak orang.
Terpujilah Pak Guru (J. Sumardianta) yang sudah merekomendasikan kepadaku novel ini. Terpujilah Pak Hernadi Tanzil yang telah bersedia meminjamkan bukunya. Kini buku tersebut sedang dalam perjalanan menuju sang pemiliknya. Semoga selamat sampai tujuan.
Sungguh, belum ada sebuah novel yang begitu mengguncangkan aku sedemikian rupa, kecuali novel ini. Tak jarang air mataku dibuatnya mengalir dalam keheningan. Dan ketika membacanya, waktu dan detak jantungku seolah berhenti. Aku sadar bahwa ini hanyalah fiksi, tapi entah mengapa aku memercayainya bahwa itu adalah sebuah fakta. Fakta dan fiksi rasanya sudah tidak penting lagi. Karena kenyataannya, bukan tidak mungkin di belahan dunia sana atau bahkan di sekelilingku apa yang diceritakan oleh sang pengarang benar-benar fakta.
City of Joy sejatinya bukanlah novel biasa. Itu aku simpulkan manakala pembacaanku sudah sampai halaman sepuluh. Aku tahu novel ini dari Pak Guru, Sang Predator Buku. Beliau merekomendasikannya agar aku harus membaca novel itu jika ingin menjadi suami dan bapak yang baik. Dan setiap kali kami jungle tracking bersama, beliau sering mengutip kata-kata Hasari Pal, salah satu tokoh dalam novel tersebut, “Setiap yang tidak diberikan akan hilang sia-sia” dan bercerita tentang perjuangan Hasari untuk keluarganya.
Aku pun hendak meminjam kepada beliau buku tersebut, tapi, sayang sekali, sedang dipinjam, katanya. Aku pun berburu ke toko-toko buku bahkan sampai kutanyakan langsung ke penerbitnya, tapi, aku sedang tidak mujur. Aku tidak mendapatkan novel itu. Suatu ketika aku iseng menulis status di FB-ku, “Siapa yang punya novel City of Joy? Jika ada yang punya perkenankan aku meminjamnya.Trims.” Tak disangka, ternyata ada orang yang rela untuk meminjamkannya padaku. Orang itu mengomentari statusku tentang kesediaannya untuk meminjamkan buku tersebut. Kemudian, ia meminta alamatku. Alhamdulillah—Puji Tuhan, akhirnya aku dapat membaca novel itu. Tentu saja, aku salut sama orang itu yang berani untuk memercayaiku untuk meminjamkan bukunya walau kami berada di dua provinsi yang berbeda.
Aku membaca novel itu bak sopir bus pariwisata yang hendak memberikan kenyamanan pada penumpangnya. Aku tidak ingin buru-buru mengkhatamkannya. Setiap kisahnya aku resapi dalam-dalam. Novel ini berlatar di Kalkuta, salah satu wilayah di India yang paling sering didera bencana alam maupun bencana kemanusiaan. Kemiskinan, pengangguran, dan berbagai penyakit, terutama penyakit lepra, menjadi identitas yang melekat dalam diri kota Kalkuta. Tak heran, jika Kalkuta dijuluki sebagai ”rumah besar” bagi orang yang terkena kusta.
Dominique Lapierre, novelis Prancis, mengangkat Kalkuta dari sisi bencana kemanusiaannya. Dia menceritakan penderitaan keluarga miskin yang tercerabut dari kampung halamannya. Dan, harapan hidup yang layak di kota Kalkuta menjadi klangenan semata. Meski begitu, dalam pandangan saya novel ini sejatinya hendak hendak menyampaikan dua pesan utama, yaitu 1) betapa pun kerasnya hidup, manusia harus terus menggenggam harapannya, 2) rela berkorban (dengan cara-cara yang baik) untuk orang lain, terlebih untuk keluarga.
Paling tidak, pesan tersebut bisa digambarkan, misalnya, dalam dua paragraf, di bawah ini:
“Ayahnya datang dan merangkul istrinya. “Ibu anak-anak lelakiku,” ujarnya, “kita berdua tidak usah makan supaya beras itu cukup untuk waktu yang lebih lama. Anak-anak tidak boleh menderita.”
“Lelaki itu juga mempunyai senyum yang sulit dimengerti kalau melihat penderitaannya,” ujar Stephan Kovalski. “Ia tidak pernah sedikit pun mengeluh. Kalau saya kebetulan bertemu di jalan lorong, ia selalu menegur saya dengan suara yang penuh getaran kegembiraan.”
Maka tak aneh jika novel ini diberi judul Negeri Bahagia. Faktanya, semenderita apa pun mereka tidak pernah mengeluh dan egois. Yang ada malah sebaliknya, mereka selalu berbagi dan penuh dengan kebahagiaan, misalnya pada saat mereka mengantri untuk buang hajat. Keceriaan dan suara tawa terlihat jelas.
Novel ini percampuran antara fakta dan fiksi. Sang penulisnya meriset novelnya dengan langsung ke lapangan, yaitu di Kalkuta selama dua tahun. Dia melihat langsung fenomena di Kalkuta; merasakan, mencatat dan melakukan wawancara dengan penduduk setempat.
Karya Lapierre ini pun menginspirasi banyak orang untuk melakukan sesuatu, terutama sumbangan berupa material yang mengalir ke Kalkuta. Buku ini sekarang sudah terjual lebih dari enam juta kopi dalam 31 bahasa dan edisi, termasuk lima edisi dalam huruf Braille.
Walhasil, setelah membaca novel ini, kesan saya tak jauh beda dengan resensor The New York Times, yang mengatakan bahwa: “Buku ini terpahat di pikiran saya selama-lamanya.”
Anda merasa sengsara dan miskin? Boleh jadi belum ada apa-apanya dibanding Hasari Pal, salah satu tokoh dalam novel ini, yang rela menjual organ tubuhnya untuk biaya pernikahan anaknya. Silakan baca novel ini.[]
M Iqbal Dawami, penikmat teh, gogodoh, dan sastra. Aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community
Penulis : Dominique Lapierre
Penerjemah: Wardah Hafidz
Penerbit : Bentang Pustaka, Jogjakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: xv + 799 hlm.
Terpujilah untuk penerbit yang sudah menerbitkan buku yang bermutu nan memberdayakan ini. Terpujilah untuk penerjemah yang sudah berhasil menyuguhkan rasa bahasa Indonesia ini. Terpujilah penyuntingnya yang sudah mengamplas huruf, kata, dan paragraf dalam novel ini, sehingga nikmat dibaca, tanpa ada gangguan sedikit pun. Terpujilah sang pengarang yang telah berhasil menulis novel ini dengan usaha keras, sehingga usaha anda telah menginspirasi banyak orang.
Terpujilah Pak Guru (J. Sumardianta) yang sudah merekomendasikan kepadaku novel ini. Terpujilah Pak Hernadi Tanzil yang telah bersedia meminjamkan bukunya. Kini buku tersebut sedang dalam perjalanan menuju sang pemiliknya. Semoga selamat sampai tujuan.
Sungguh, belum ada sebuah novel yang begitu mengguncangkan aku sedemikian rupa, kecuali novel ini. Tak jarang air mataku dibuatnya mengalir dalam keheningan. Dan ketika membacanya, waktu dan detak jantungku seolah berhenti. Aku sadar bahwa ini hanyalah fiksi, tapi entah mengapa aku memercayainya bahwa itu adalah sebuah fakta. Fakta dan fiksi rasanya sudah tidak penting lagi. Karena kenyataannya, bukan tidak mungkin di belahan dunia sana atau bahkan di sekelilingku apa yang diceritakan oleh sang pengarang benar-benar fakta.
City of Joy sejatinya bukanlah novel biasa. Itu aku simpulkan manakala pembacaanku sudah sampai halaman sepuluh. Aku tahu novel ini dari Pak Guru, Sang Predator Buku. Beliau merekomendasikannya agar aku harus membaca novel itu jika ingin menjadi suami dan bapak yang baik. Dan setiap kali kami jungle tracking bersama, beliau sering mengutip kata-kata Hasari Pal, salah satu tokoh dalam novel tersebut, “Setiap yang tidak diberikan akan hilang sia-sia” dan bercerita tentang perjuangan Hasari untuk keluarganya.
Aku pun hendak meminjam kepada beliau buku tersebut, tapi, sayang sekali, sedang dipinjam, katanya. Aku pun berburu ke toko-toko buku bahkan sampai kutanyakan langsung ke penerbitnya, tapi, aku sedang tidak mujur. Aku tidak mendapatkan novel itu. Suatu ketika aku iseng menulis status di FB-ku, “Siapa yang punya novel City of Joy? Jika ada yang punya perkenankan aku meminjamnya.Trims.” Tak disangka, ternyata ada orang yang rela untuk meminjamkannya padaku. Orang itu mengomentari statusku tentang kesediaannya untuk meminjamkan buku tersebut. Kemudian, ia meminta alamatku. Alhamdulillah—Puji Tuhan, akhirnya aku dapat membaca novel itu. Tentu saja, aku salut sama orang itu yang berani untuk memercayaiku untuk meminjamkan bukunya walau kami berada di dua provinsi yang berbeda.
Aku membaca novel itu bak sopir bus pariwisata yang hendak memberikan kenyamanan pada penumpangnya. Aku tidak ingin buru-buru mengkhatamkannya. Setiap kisahnya aku resapi dalam-dalam. Novel ini berlatar di Kalkuta, salah satu wilayah di India yang paling sering didera bencana alam maupun bencana kemanusiaan. Kemiskinan, pengangguran, dan berbagai penyakit, terutama penyakit lepra, menjadi identitas yang melekat dalam diri kota Kalkuta. Tak heran, jika Kalkuta dijuluki sebagai ”rumah besar” bagi orang yang terkena kusta.
Dominique Lapierre, novelis Prancis, mengangkat Kalkuta dari sisi bencana kemanusiaannya. Dia menceritakan penderitaan keluarga miskin yang tercerabut dari kampung halamannya. Dan, harapan hidup yang layak di kota Kalkuta menjadi klangenan semata. Meski begitu, dalam pandangan saya novel ini sejatinya hendak hendak menyampaikan dua pesan utama, yaitu 1) betapa pun kerasnya hidup, manusia harus terus menggenggam harapannya, 2) rela berkorban (dengan cara-cara yang baik) untuk orang lain, terlebih untuk keluarga.
Paling tidak, pesan tersebut bisa digambarkan, misalnya, dalam dua paragraf, di bawah ini:
“Ayahnya datang dan merangkul istrinya. “Ibu anak-anak lelakiku,” ujarnya, “kita berdua tidak usah makan supaya beras itu cukup untuk waktu yang lebih lama. Anak-anak tidak boleh menderita.”
“Lelaki itu juga mempunyai senyum yang sulit dimengerti kalau melihat penderitaannya,” ujar Stephan Kovalski. “Ia tidak pernah sedikit pun mengeluh. Kalau saya kebetulan bertemu di jalan lorong, ia selalu menegur saya dengan suara yang penuh getaran kegembiraan.”
Maka tak aneh jika novel ini diberi judul Negeri Bahagia. Faktanya, semenderita apa pun mereka tidak pernah mengeluh dan egois. Yang ada malah sebaliknya, mereka selalu berbagi dan penuh dengan kebahagiaan, misalnya pada saat mereka mengantri untuk buang hajat. Keceriaan dan suara tawa terlihat jelas.
Novel ini percampuran antara fakta dan fiksi. Sang penulisnya meriset novelnya dengan langsung ke lapangan, yaitu di Kalkuta selama dua tahun. Dia melihat langsung fenomena di Kalkuta; merasakan, mencatat dan melakukan wawancara dengan penduduk setempat.
Karya Lapierre ini pun menginspirasi banyak orang untuk melakukan sesuatu, terutama sumbangan berupa material yang mengalir ke Kalkuta. Buku ini sekarang sudah terjual lebih dari enam juta kopi dalam 31 bahasa dan edisi, termasuk lima edisi dalam huruf Braille.
Walhasil, setelah membaca novel ini, kesan saya tak jauh beda dengan resensor The New York Times, yang mengatakan bahwa: “Buku ini terpahat di pikiran saya selama-lamanya.”
Anda merasa sengsara dan miskin? Boleh jadi belum ada apa-apanya dibanding Hasari Pal, salah satu tokoh dalam novel ini, yang rela menjual organ tubuhnya untuk biaya pernikahan anaknya. Silakan baca novel ini.[]
M Iqbal Dawami, penikmat teh, gogodoh, dan sastra. Aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community
Selasa, 22 Juni 2010
Selamat Jalan Guruku
Amin tadzakurin jiranin bi Dzi Salami,Mazajta dam‘an jara min muqlatin bi dami?
(Tidakkah kau ingat tetanggamu di Dzu Salam, Yang air matanya tercucur bercampur darah?)
Bushairi)
Bis Trisulatama jurusan Semarang-Jogjakarta melaju dengan kecepatan sedang. Aku duduk di bangku belakang deretan sebelah kanan pojok. Aku acuhkan perempuan yang duduk di sampingku yang sepertinya menungguku untuk diajak ngobrol, lantaran aku sedang asyik membaca Novel The Man Who Loved Books (2010). Tiba-tiba HP-ku bergetar. Ada pesan masuk. “Info: Tolong kasih tau yang lain. Mohon doa buat Bapak Pengasuh. Skr kritis di kediamannya. Tks.” Aku pun berdoa dalam hati, “Ya Allah berilah beliau kesembuhan…”
Belakangan beliau memang sering sakit-sakitan. Sering dirawat di Rumah Sakit (RS), baik di RS Bandung, Tasikmalaya, maupun Ciamis. Aku sudah tahu itu sejak lama dari kawan-kawanku. Namun, dua minggu yang lalu, kawanku, yang berkunjung ke tempatku, bercerita bahwa beliau sudah tidak dirawat di RS lagi, mengingat keadaannya sudah sangat sulit disembuhkan. Beliau hanya rawat jalan saja. Mendengar itu aku sungguh sedih.
Waktu pun terus berlalu… Dan, tadi pagi, pkl. 06.45, kawanku sms: “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Bapak Pengasuh pupus! Wartosan nu sanes. Jam 06.10 WIB…” Aku tercenung. Perasaan hampa dan sedih menjadi satu. Pikiranku galau.Ya Allah, beliau telah tiada. Aku terus memberi tahu kawan-kawan lain, dan menulis status di dinding fesbuk-ku.
Tiba-tiba wajah beliau memenuhi pikiranku. Memoriku sewaktu nyantri di Ponpes Darussalam Ciamis terbuka kembali. Betapa masih ingat aku pertama kali berjumpa face to face, berpapasan dengan beliau yang sedang sendiri, kucium tangannya sembari mengucapkan salam. Beliau pun menjawab salamku. Setelah itu beliau bertanya dengan Bahasa Arab tentang siapa namaku dan dari mana asalku. Dan, waktu itu aku hanya bisa menjawab “na’am” dan “la” saja. Maklum, waktu itu baru satu mingguan aku berada di pondok pesantren, di mana sebelumnya belum menguasai Bahasa Arab dari segi istima’-nya.
Etos Keilmuan
Salah satu yang aku teladani dari beliau hingga saat ini adalah etos keilmuannya. Seorang kawan asal Jawa Timur yang juga santri Darussalam pernah bercerita bahwa beliau terkenal ilmu laduninya. Boleh jadi memang benar ucapan kawanku itu.
Dalam salah satu syair gubahan beliau ada yang berbunyi, “Cinta segala ilmu dihiasi budi suci…” Ya, beliau memang sangat mencintai segala ilmu pengetahuan. Koleksi bukunya, baik yang berbahasa Arab, Inggris, dan Indonesia, sungguh luar biasa banyaknya. Pernah, beberapa kali aku masuk ke rumahnya, hampir di setiap ruangan terdapat koleksi buku-bukunya. Bahkan, beliau punya kamar khusus untuk membaca yang di dalamnya pun ada koleksi buku-bukunya juga. Kamar tersebut menyatu dengan mesjid pesantren, yang punya pintu langsung tembus ke dalam mesjid.
Di kamar itulah beliau membaca dan menulis. Dan dari pintu kamar itu pula beliau masuk ke masjid untuk shalat berjamaah dan juga mengisi kuliah Shubuh. Beliau juga sering memberi penghargaan berupa buku/kitab kepada para santri yang berprestasi, misalnya, hafal Alquran, hafal Alfiyyah, dan lain sebagainya. Beberapa kawan sekamarku mendapatkan kitab dan buku-buku dari beliau karena hafal Alquran dan Alfiyyah. Sungguh, betapa beruntungnya mereka mendapatkan penghargaan berupa kitab dan buku-buku itu.
Karena otakku tidak seencer kawan-kawanku itu, dan keinginan mengoleksi kitab menggebu-gebu, jalan yang aku tempuh adalah membeli ke toko buku/kitab. Biasanya aku beli buku maupun kitab ke toko Beirut yang ada di Pasar Ciamis. Kadang aku memesan kepada kawan yang mau ke Tasikmalaya, karena di sana harganya lebih murah. Aku pernah menitip kepada kawan yang hendak ke Tasikmalaya untuk membelikan kitab Ihya Ulumuddin (5 jilid), yang waktu itu harganya 40 ribuan. Pernah juga aku membeli kitab Sufwat At-Tafasir (4 jilid, kalau gak salah) dari seorang kawan yang kepepet tidak punya duit dan ia menjual koleksinya itu. Harganya separuh harga, karena barang second, dan di situ sudah tertera namanya: Ahmad Thobari.
***
Ah, tentu banyak sekali teladan yang bisa aku ambil dari beliau selain hal di atas. Namun, bagiku itulah yang paling berkesan dan mengalir-menyatu dengan aliran darahku. Aku sangat mencintai ilmu. Aku sangat cinta dengan aktifitas membaca dan menulis. Setiap hari aku selalu menyempatkan diri dan menyisihkan waktu untuk kedua aktifitas itu.
Akhirnya,… selamat jalan guru kami tercinta. Semoga amal baikmu diterima oleh Allah Swt. Meski, engkau sudah tiada, tapi spirit dan teladanmu akan selalu ada. Mudah-mudahan aku bisa meneruskan etos keilmuanmu sampai kapan pun. Rencana reuni di bulan Desember 2010 di Ponpes Darussalam nantinya akan terasa lain, karena kami tidak bisa bermuwajahah denganmu, wahai guru kami.
Akhirul kalam, hanya doa yang bisa kami persembahkan untukmu:
Allahmummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu wa akrim nuzulahu wawassi' madkhalahu waghsilhu bi maain watsaljin wabarodin wanaqqihi minalkhathaaya kamaa yunaqqotstsaubul abyadhu minad danasi waabdilhu daaran khairan min daarihi wa ahlan khairan min ahlihi wazaujan khairan min zaujihi waqihi fitnatal qabri wa'adzaaban naari. Amin ya robbal alamin.
Alfatihah…
“Dan jangan mengira orang yang gugur di jalan Allah itu meninggal. Sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mereka mendapat rezeki” (QS. Ali Imran: 169)
Yogyakarta, 30 Mei 2010
M. Iqbal Dawami, santri Ponpes Darussalam, Ciamis, Jawab Barat, angkatan ’99.
(Tidakkah kau ingat tetanggamu di Dzu Salam, Yang air matanya tercucur bercampur darah?)
Bushairi)
Bis Trisulatama jurusan Semarang-Jogjakarta melaju dengan kecepatan sedang. Aku duduk di bangku belakang deretan sebelah kanan pojok. Aku acuhkan perempuan yang duduk di sampingku yang sepertinya menungguku untuk diajak ngobrol, lantaran aku sedang asyik membaca Novel The Man Who Loved Books (2010). Tiba-tiba HP-ku bergetar. Ada pesan masuk. “Info: Tolong kasih tau yang lain. Mohon doa buat Bapak Pengasuh. Skr kritis di kediamannya. Tks.” Aku pun berdoa dalam hati, “Ya Allah berilah beliau kesembuhan…”
Belakangan beliau memang sering sakit-sakitan. Sering dirawat di Rumah Sakit (RS), baik di RS Bandung, Tasikmalaya, maupun Ciamis. Aku sudah tahu itu sejak lama dari kawan-kawanku. Namun, dua minggu yang lalu, kawanku, yang berkunjung ke tempatku, bercerita bahwa beliau sudah tidak dirawat di RS lagi, mengingat keadaannya sudah sangat sulit disembuhkan. Beliau hanya rawat jalan saja. Mendengar itu aku sungguh sedih.
Waktu pun terus berlalu… Dan, tadi pagi, pkl. 06.45, kawanku sms: “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Bapak Pengasuh pupus! Wartosan nu sanes. Jam 06.10 WIB…” Aku tercenung. Perasaan hampa dan sedih menjadi satu. Pikiranku galau.Ya Allah, beliau telah tiada. Aku terus memberi tahu kawan-kawan lain, dan menulis status di dinding fesbuk-ku.
Tiba-tiba wajah beliau memenuhi pikiranku. Memoriku sewaktu nyantri di Ponpes Darussalam Ciamis terbuka kembali. Betapa masih ingat aku pertama kali berjumpa face to face, berpapasan dengan beliau yang sedang sendiri, kucium tangannya sembari mengucapkan salam. Beliau pun menjawab salamku. Setelah itu beliau bertanya dengan Bahasa Arab tentang siapa namaku dan dari mana asalku. Dan, waktu itu aku hanya bisa menjawab “na’am” dan “la” saja. Maklum, waktu itu baru satu mingguan aku berada di pondok pesantren, di mana sebelumnya belum menguasai Bahasa Arab dari segi istima’-nya.
Etos Keilmuan
Salah satu yang aku teladani dari beliau hingga saat ini adalah etos keilmuannya. Seorang kawan asal Jawa Timur yang juga santri Darussalam pernah bercerita bahwa beliau terkenal ilmu laduninya. Boleh jadi memang benar ucapan kawanku itu.
Dalam salah satu syair gubahan beliau ada yang berbunyi, “Cinta segala ilmu dihiasi budi suci…” Ya, beliau memang sangat mencintai segala ilmu pengetahuan. Koleksi bukunya, baik yang berbahasa Arab, Inggris, dan Indonesia, sungguh luar biasa banyaknya. Pernah, beberapa kali aku masuk ke rumahnya, hampir di setiap ruangan terdapat koleksi buku-bukunya. Bahkan, beliau punya kamar khusus untuk membaca yang di dalamnya pun ada koleksi buku-bukunya juga. Kamar tersebut menyatu dengan mesjid pesantren, yang punya pintu langsung tembus ke dalam mesjid.
Di kamar itulah beliau membaca dan menulis. Dan dari pintu kamar itu pula beliau masuk ke masjid untuk shalat berjamaah dan juga mengisi kuliah Shubuh. Beliau juga sering memberi penghargaan berupa buku/kitab kepada para santri yang berprestasi, misalnya, hafal Alquran, hafal Alfiyyah, dan lain sebagainya. Beberapa kawan sekamarku mendapatkan kitab dan buku-buku dari beliau karena hafal Alquran dan Alfiyyah. Sungguh, betapa beruntungnya mereka mendapatkan penghargaan berupa kitab dan buku-buku itu.
Karena otakku tidak seencer kawan-kawanku itu, dan keinginan mengoleksi kitab menggebu-gebu, jalan yang aku tempuh adalah membeli ke toko buku/kitab. Biasanya aku beli buku maupun kitab ke toko Beirut yang ada di Pasar Ciamis. Kadang aku memesan kepada kawan yang mau ke Tasikmalaya, karena di sana harganya lebih murah. Aku pernah menitip kepada kawan yang hendak ke Tasikmalaya untuk membelikan kitab Ihya Ulumuddin (5 jilid), yang waktu itu harganya 40 ribuan. Pernah juga aku membeli kitab Sufwat At-Tafasir (4 jilid, kalau gak salah) dari seorang kawan yang kepepet tidak punya duit dan ia menjual koleksinya itu. Harganya separuh harga, karena barang second, dan di situ sudah tertera namanya: Ahmad Thobari.
***
Ah, tentu banyak sekali teladan yang bisa aku ambil dari beliau selain hal di atas. Namun, bagiku itulah yang paling berkesan dan mengalir-menyatu dengan aliran darahku. Aku sangat mencintai ilmu. Aku sangat cinta dengan aktifitas membaca dan menulis. Setiap hari aku selalu menyempatkan diri dan menyisihkan waktu untuk kedua aktifitas itu.
Akhirnya,… selamat jalan guru kami tercinta. Semoga amal baikmu diterima oleh Allah Swt. Meski, engkau sudah tiada, tapi spirit dan teladanmu akan selalu ada. Mudah-mudahan aku bisa meneruskan etos keilmuanmu sampai kapan pun. Rencana reuni di bulan Desember 2010 di Ponpes Darussalam nantinya akan terasa lain, karena kami tidak bisa bermuwajahah denganmu, wahai guru kami.
Akhirul kalam, hanya doa yang bisa kami persembahkan untukmu:
Allahmummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu wa akrim nuzulahu wawassi' madkhalahu waghsilhu bi maain watsaljin wabarodin wanaqqihi minalkhathaaya kamaa yunaqqotstsaubul abyadhu minad danasi waabdilhu daaran khairan min daarihi wa ahlan khairan min ahlihi wazaujan khairan min zaujihi waqihi fitnatal qabri wa'adzaaban naari. Amin ya robbal alamin.
Alfatihah…
“Dan jangan mengira orang yang gugur di jalan Allah itu meninggal. Sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mereka mendapat rezeki” (QS. Ali Imran: 169)
Yogyakarta, 30 Mei 2010
M. Iqbal Dawami, santri Ponpes Darussalam, Ciamis, Jawab Barat, angkatan ’99.
Senin, 31 Mei 2010
Pameran Buku yang Membosankan
Senin sore, 17 Mei 2010 aku berkunjung ke Jogja Islamic Book Fair (JIBF) 2010 di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Yogyakarta. Pameran ini berlangsung pada 13-19 Mei 2010. Pas kebetulan, waktu itu sedang ada bedah novel Bumi Cinta (2010) karya Habiburrahman El-Shirazy. Aku pun mengikuti acara tersebut. Pesertanya membludak. Sampai-sampai banyak yang berdiri tidak kebagian kursi. Untung saja aku mendapatkan tempat duduk.
Aku mengikuti acara tersebut hanya kuat sampai tanya jawab sesi pertama. Mengapa? Diskusinya terasa hambar. Tidak ada, misalnya, pembahasan mengenai kelebihan dan kekurangan buku itu, terutama dari sudut pandang sastranya, baik dari pembicara, penulis, maupun para penanya. Isinya hanya berputar soal materi novel dan di luar pembahasan buku tersebut. Diskusi itu terkesan ceramah keagamaan. Aku pun memilih hengkang dari situ.
Dari situ, kemudian aku lihat denah dan agenda acara JIBF di depan pintu masuk gedung. Siapa tahu esoknya ada diskusi atau lomba penulisan. Ah, nampaknya tidak ada yang menarik. Aku pun masuk dan mulai bergerilya menelusuri stand-stand buku, mengamati satu per satu buku-buku yang ada setiap stand-nya. Dan, kurang lebih satu jam aku sudah menyambangi semua stand. Setelah itu, aku memutuskan untuk pulang. Sungguh, pameran buku Islam yang membosankan.
Dalam perjalanan pulang, aku memikirkan perhelatan pameran JIBF itu. Hampir setiap tahun aku selalu menghadiri JIBF. Di tempat yang sama pula. Suka atau tidak, aku mengamati perubahan dari tahun ke tahunnya. Adakah perubahan yang signifikan?
Penerbit, Buku, dan Acara
Ada tiga hal yang membuatku gelisah dari JIBF. Pertama, sekitar 90 persen para penerbit yang ikut pameran JIBF nampaknya tidak jauh beda dengan peserta pameran buku yang diadakan IKAPI. Lantas, kalau begitu apa bedanya dengan pameran buku yang diadakan IKAPI? Pemainnya itu-itu saja. Imbasnya, kesan keislamannya pun semakin luntur. Islamic Book Fair pun hanya sebatas slogan, minus substansi. Mengingat hal di atas, momen ini pun sebenarnya Gramedia bisa berpartisipasi, apalagi mereka punya penerbit Quanta yang khusus menerbitkan buku-buku keislaman praktis.
Kedua, kebanyakan yang dipajang adalah buku-buku itu melulu, baik stok lama maupun stok baru. Saya lihat sedikit sekali buku-buku barunya. Parahnya lagi, buku-buku baru tersebut didominasi oleh buku-buku Islam aplikatif, instan, dan “dangkal,” di mana rata-rata menyodorkan seputar kehidupan ala “Islam” menurut pandangan sang penulisnya yang menurutku sangat relatif.
Hanya segelintir saja buku-buku yang mengangkat tema keislaman agak “berat” dan “dalam”. Jika boleh saya sebut, misalnya, Fiqih Jihad (2010) karya Yusuf Qardhawi yang diterbitkan Mizan, tebalnya mencapai seribu halaman. Ada juga buku Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (2010) karya Fahmi Salim yang mencoba mengkonter pemikiran kaum Islam Liberal. Buku ini diterbitkan Gema Insani. Sedang dalam ranah fiksi, misalnya novel Muhammad (2010) karya Tasaro yang diterbitkan Bentang. Ada beberapa buku lainnya juga yang termasuk kategori itu. Namun, selebihnya adalah buku-buku yang berjenis “dangkal” dan instan.
Ketiga, perihal acara atau kajian yang berlangsung pada saat perhelatan JIBF. Jika diperhatikan dan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, nampaknya rangkaian acaranya tidak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, bedah buku dan ceramah keagamaan. Buku yang dibedah pun tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dan para penulisnya pun setali tiga uang. Sebut saja, misalnya, Salim A. Fillah. Tahun-tahun lalu sering pula ia mengisi bedah bukunya di pameran JIBF. Dan tahun ini pun demikian. Bukunya juga yang dibedah tema-tema seputar dakwah dan “cinta Islami” saja. Dalam Dekapan Ukhuwah (2010) adalah buku terbarunya yang dibedah pada tahun ini di JIBF.
Sungguh, saya mendambakan bedah buku dengan tema yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, buku-buku pertarungan wacana. Katakanlah buku-buku yang ditulis oleh kaum muslim liberal, seperti Metodologi Studi Al-Quran (2009) karya Abdul Moqsith Ghazali, dkk. atau sebaliknya, buku-buku yang mengkonternya seperti karya Fahmi Salim sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas. Sangat menarik dan mencerahkan bagi pengunjung JIBF.
Saya harapkan, tahun depan, JIBF lebih kreatif dan inovatif lagi, dengan menyodorkan buku dan acaranya yang lebih segar dan “mencerahkan”. Jangan sampai terjebak oleh keuntungan semata tanpa memperhitungkan kemajuan masyarakat. Teringat kata-kata Muhammad Abduh, “Al-Islam mahjubun bil muslimin.” Islam telah tertutup oleh orang Islam sendiri. Semoga pameran tahun depan lebih baik lagi. Wallahu a’lam.[]
M. Iqbal Dawami, pencinta buku, teh, dan gogodoh. Aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community Yogyakarta.
Aku mengikuti acara tersebut hanya kuat sampai tanya jawab sesi pertama. Mengapa? Diskusinya terasa hambar. Tidak ada, misalnya, pembahasan mengenai kelebihan dan kekurangan buku itu, terutama dari sudut pandang sastranya, baik dari pembicara, penulis, maupun para penanya. Isinya hanya berputar soal materi novel dan di luar pembahasan buku tersebut. Diskusi itu terkesan ceramah keagamaan. Aku pun memilih hengkang dari situ.
Dari situ, kemudian aku lihat denah dan agenda acara JIBF di depan pintu masuk gedung. Siapa tahu esoknya ada diskusi atau lomba penulisan. Ah, nampaknya tidak ada yang menarik. Aku pun masuk dan mulai bergerilya menelusuri stand-stand buku, mengamati satu per satu buku-buku yang ada setiap stand-nya. Dan, kurang lebih satu jam aku sudah menyambangi semua stand. Setelah itu, aku memutuskan untuk pulang. Sungguh, pameran buku Islam yang membosankan.
Dalam perjalanan pulang, aku memikirkan perhelatan pameran JIBF itu. Hampir setiap tahun aku selalu menghadiri JIBF. Di tempat yang sama pula. Suka atau tidak, aku mengamati perubahan dari tahun ke tahunnya. Adakah perubahan yang signifikan?
Penerbit, Buku, dan Acara
Ada tiga hal yang membuatku gelisah dari JIBF. Pertama, sekitar 90 persen para penerbit yang ikut pameran JIBF nampaknya tidak jauh beda dengan peserta pameran buku yang diadakan IKAPI. Lantas, kalau begitu apa bedanya dengan pameran buku yang diadakan IKAPI? Pemainnya itu-itu saja. Imbasnya, kesan keislamannya pun semakin luntur. Islamic Book Fair pun hanya sebatas slogan, minus substansi. Mengingat hal di atas, momen ini pun sebenarnya Gramedia bisa berpartisipasi, apalagi mereka punya penerbit Quanta yang khusus menerbitkan buku-buku keislaman praktis.
Kedua, kebanyakan yang dipajang adalah buku-buku itu melulu, baik stok lama maupun stok baru. Saya lihat sedikit sekali buku-buku barunya. Parahnya lagi, buku-buku baru tersebut didominasi oleh buku-buku Islam aplikatif, instan, dan “dangkal,” di mana rata-rata menyodorkan seputar kehidupan ala “Islam” menurut pandangan sang penulisnya yang menurutku sangat relatif.
Hanya segelintir saja buku-buku yang mengangkat tema keislaman agak “berat” dan “dalam”. Jika boleh saya sebut, misalnya, Fiqih Jihad (2010) karya Yusuf Qardhawi yang diterbitkan Mizan, tebalnya mencapai seribu halaman. Ada juga buku Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (2010) karya Fahmi Salim yang mencoba mengkonter pemikiran kaum Islam Liberal. Buku ini diterbitkan Gema Insani. Sedang dalam ranah fiksi, misalnya novel Muhammad (2010) karya Tasaro yang diterbitkan Bentang. Ada beberapa buku lainnya juga yang termasuk kategori itu. Namun, selebihnya adalah buku-buku yang berjenis “dangkal” dan instan.
Ketiga, perihal acara atau kajian yang berlangsung pada saat perhelatan JIBF. Jika diperhatikan dan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, nampaknya rangkaian acaranya tidak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, bedah buku dan ceramah keagamaan. Buku yang dibedah pun tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dan para penulisnya pun setali tiga uang. Sebut saja, misalnya, Salim A. Fillah. Tahun-tahun lalu sering pula ia mengisi bedah bukunya di pameran JIBF. Dan tahun ini pun demikian. Bukunya juga yang dibedah tema-tema seputar dakwah dan “cinta Islami” saja. Dalam Dekapan Ukhuwah (2010) adalah buku terbarunya yang dibedah pada tahun ini di JIBF.
Sungguh, saya mendambakan bedah buku dengan tema yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, buku-buku pertarungan wacana. Katakanlah buku-buku yang ditulis oleh kaum muslim liberal, seperti Metodologi Studi Al-Quran (2009) karya Abdul Moqsith Ghazali, dkk. atau sebaliknya, buku-buku yang mengkonternya seperti karya Fahmi Salim sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas. Sangat menarik dan mencerahkan bagi pengunjung JIBF.
Saya harapkan, tahun depan, JIBF lebih kreatif dan inovatif lagi, dengan menyodorkan buku dan acaranya yang lebih segar dan “mencerahkan”. Jangan sampai terjebak oleh keuntungan semata tanpa memperhitungkan kemajuan masyarakat. Teringat kata-kata Muhammad Abduh, “Al-Islam mahjubun bil muslimin.” Islam telah tertutup oleh orang Islam sendiri. Semoga pameran tahun depan lebih baik lagi. Wallahu a’lam.[]
M. Iqbal Dawami, pencinta buku, teh, dan gogodoh. Aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community Yogyakarta.
Minggu, 16 Mei 2010
Sang Nabi di Mata Tasaro GK
Rabu, 12 Mei 2010, aku menghadiri acara diskusi novel Muhammad (2010) karya Tasaro GK. Acara tersebut diadakan di Toga Mas, Jl. Gejayan, Yogyakarta pada pukul 16.00 hingga 18.00. Pembicaranya adalah penulisnya sendiri, Tasaro GK yang dipandu oleh Salman Faridi (CEO penerbit BENTANG).
Menarik sekali mengikuti acara diskusi novel Muhammad ini. Kelebihan acara itu adalah format acaranya yang sangat santai, di mana pembicara maupun peserta duduk ala lesehan, dan peserta diberi kesempatan bertanya atau berkomentar di tengah-tengah pembahasannya. Dan, disediakan pula angkringan beserta makanannya, seperti ceker ayam, sate telor puyuh, dan aneka gorengan. Hmm... maknyuss… (sayang, tidak ada kopi, teh hangat, maupun gogodoh, padahal cuaca sedang hujan kala itu).
Bagiku (dan barangkali peserta lainnya) acara tersebut kesempatan emas untuk menanyakan dan komentar langsung kepada sang penulisnya perihal novel Muhammad.
Dalam diskusi, Tasaro lebih banyak membicarakan asbabul wurud dan proses kreatif menulis Novel Muhammad, ketimbang membicarakan isi novel. Harus dimaklumi, peserta memang banyak bertanya soal itu dan sebagian peserta belum membaca novelnya.
Didorong oleh rasa gelisah dengan adanya fenomena penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan reaksi kaum muslim atas penghinaan tersebut, Tasaro kemudian menulis novel Muhammad ini. Tentu saja adalah sebuah kesalahan bagi siapa pun yang melakukan penghinaan -- kepada siapa pun, terlebih kepada Nabi Muhammad, sebagai manusia yang agung dan suri tauladan. Namun, apakah reaksi kita atas penghinaan tersebut harus dibalas dengan kekerasan? Inilah yang menjadi keprihatinan Tasaro. “Reaksi” Tasaro adalah dengan jalan menulis novel tentang Nabi Muhammad. Dia mencoba menuangkan kisah Muhammad lewat novel, dengan harapan orang-orang yang menghina Nabi paham bahwa Nabi tidaklah sebagaimana yang mereka anggap demikian.
Tasaro sendiri tidak menanggapi hinaan atas Nabi Muhammad, karena sedistorsi apa pun persepsi atas Muhammad, tetap akan memancarkan sinar kemuliaan diri Muhammad. Itulah keyakinan Tasaro.
Sebetulnya, untuk menulis novel tentang Nabi Muhammad sungguh tidak mudah. Terlalu berisiko dan butuh keberanian yang besar. Sedikit saja ada kesalahan atau ketidaksepemahaman dengan khalayak masyakarat akan berakibat fatal. Dan ini pun disadari oleh Tasaro. Tapi, dengan niat dan tujuan yang benar (sesuai yang ia yakini), ia berani menuliskannya.
Orang pertama yang ia beritahu niat menulis tentang ini adalah ibunya. Apa jawaban ibunya? Pembaca akan tahu di novelnya langsung di halaman persembahan. Ketika Tasaro memberitahukan niatnya tersebut kepada teman-teman dan saudara-saudaranya mempunyai pendapat yang hampir sama, “Terlalu berisiko, dan siap-siap dicerca orang”. Senada dengan jawaban ibunya.
Tapi, Tasaro adalah Tasaro, ia tidak bergeming. Ia terus maju mewujudkan niatnya: MENULIS TENTANG NABI MUHAMMAD. Karena, ia pun seperti halnya orang lain yang melarang niatnya itu: atas dasar cinta kepada Nabi Muhammad.
Tasaro menjelaskan bahwa kaum muslim mencintai Nabi Muhammad, tapi banyak yang tidak berani “mendekatinya”. Mereka menjaga jarak, lantaran khawatir salah mendekatinya. Parahnya lagi, tidak sampai 50 persen kaum muslim yang pernah membaca sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi Muhammad).
Melihat fenomena itu dan kemudian dikaitkan dengan terbitnya novel tersebut, salah satu peserta ada yang berkomentar bahwa sangat ironik seorang muslim yang mencintai Nabinya tapi tidak tahu sejarah hidupnya. Oleh karena itu, kehadiran novel Muhammad sangat diharapkan untuk mengisi kekosongan tersebut, bahwa seorang muslim (khususnya) perlu membaca novel ini agar bisa mengenal Nabinya, jika mereka memang tidak ingin membaca sirah nabawiyah -- jika dirasa kaku dan kering karena terlalu ilmiah. Jadi, sebuah pendekatan yang sangat bagus yang diperbuat Tasaro ini.
Dan, uniknya, acara ini dihadiri peserta yang beragama Kristen. Amboi, alangkah kagetnya aku, ternyata mereka sudah membaca novel Muhammad. Dan, yang paling menggetarkan dari pendapat mereka setelah membaca novel itu, yang katanya, mereka jadi tahu sosok Nabi Muhammad dan Islam sendiri. Mereka mengaku sebelum membaca novel itu, pandangan tentang Islam sedikit negatif, karena selalu dikaitkan dengan teroris dan kekerasan, misalnya. Tapi, setelah membaca novel ini, ternyata mereka salah menilai. Islam sejatinya adalah agama penyayang, rahmat bagi semesta alam.
Di tengah diskusi, Tasaro memperkenalkan dan menunjukkan salah seorang teman yang beragama Kristen, bernama Rampa Maega, yang berada di antara peserta diskusi. Ia adalah orang sedikit-banyak membantu proses penulisan novel Muhammad. Tasaro bahkan berani mengatakan kalau novelnya ikut “ditulis” olehnya juga. Karena, banyak sekali hal-hal yang selalu didiskusikan dalam menulis novel ini.
Tasaro memang penulis muda berbakat. Hasil racikannya selalu mendecak kagum pembaca dan mendapatkan penghargaan, seperti penghargaan Adikarya IKAPI dan kategori novel terbaik; Di Serambi Mekkah (2006) dan O, Achilles (2007), Wandu; novel terbaik FLP Award 2005, Mad Man Show (juara cerbung Femina 2006), Bubat (juara skenario Direktorat Film 2006), Kontes Kecantikan, Legalisasi Kemunafikan (penghargaan Menpora 2009), dan Galaksi Kinanthi (Karya Terpuji Anugerah Pena 2009).
Ia mengaku, novel Muhammad adalah novel yang ditulis dengan melibatkan banyak orang dan banyak revisi (mencapai belasan kali), dibanding novel-novel lainnya yang pernah ditulis. Referensi yang digunakan pun sangat representatif, seperti karya Karen Armstrong, Muhammad Husein Haikal, Tariq Ramadhan, Martin Lings, dan yang lainnya.
Hal itu membuktikan bahwa Tasaro menulis novel ini sangat serius. Ia hendak menjadikan karyanya karya yang “original”, dalam arti mempunyai sudut pandang yang baru di antara penulis-penulis tentang Nabi Muhammad. Novel ini boleh dikata pandangan Tasaro atas Sang Nabi.
Namun, sayang, dalam acara itu tidak ada pembicara kedua yang menilai novel tersebut, baik kelebihan maupun kekurangannya. Dan, tidak ada pula peserta yang sudah membaca bukunya berkomentar soal sisi sastranya. Karena, bagaimana pun buku ini adalah novel yang layak dinikmati sebagai karya sastra.
Jika anda ingin membaca sejarah Nabi Muhammad dengan cita rasa sastra silakan baca novel ini. Dan, sekuelnya akan terbit pada Agustus 2010, bertepatan dengan bulan Ramadhan 1431 H. []
M. Iqbal Dawami, penikmat sastra, teh, dan gogodoh.
Menarik sekali mengikuti acara diskusi novel Muhammad ini. Kelebihan acara itu adalah format acaranya yang sangat santai, di mana pembicara maupun peserta duduk ala lesehan, dan peserta diberi kesempatan bertanya atau berkomentar di tengah-tengah pembahasannya. Dan, disediakan pula angkringan beserta makanannya, seperti ceker ayam, sate telor puyuh, dan aneka gorengan. Hmm... maknyuss… (sayang, tidak ada kopi, teh hangat, maupun gogodoh, padahal cuaca sedang hujan kala itu).
Bagiku (dan barangkali peserta lainnya) acara tersebut kesempatan emas untuk menanyakan dan komentar langsung kepada sang penulisnya perihal novel Muhammad.
Dalam diskusi, Tasaro lebih banyak membicarakan asbabul wurud dan proses kreatif menulis Novel Muhammad, ketimbang membicarakan isi novel. Harus dimaklumi, peserta memang banyak bertanya soal itu dan sebagian peserta belum membaca novelnya.
Didorong oleh rasa gelisah dengan adanya fenomena penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan reaksi kaum muslim atas penghinaan tersebut, Tasaro kemudian menulis novel Muhammad ini. Tentu saja adalah sebuah kesalahan bagi siapa pun yang melakukan penghinaan -- kepada siapa pun, terlebih kepada Nabi Muhammad, sebagai manusia yang agung dan suri tauladan. Namun, apakah reaksi kita atas penghinaan tersebut harus dibalas dengan kekerasan? Inilah yang menjadi keprihatinan Tasaro. “Reaksi” Tasaro adalah dengan jalan menulis novel tentang Nabi Muhammad. Dia mencoba menuangkan kisah Muhammad lewat novel, dengan harapan orang-orang yang menghina Nabi paham bahwa Nabi tidaklah sebagaimana yang mereka anggap demikian.
Tasaro sendiri tidak menanggapi hinaan atas Nabi Muhammad, karena sedistorsi apa pun persepsi atas Muhammad, tetap akan memancarkan sinar kemuliaan diri Muhammad. Itulah keyakinan Tasaro.
Sebetulnya, untuk menulis novel tentang Nabi Muhammad sungguh tidak mudah. Terlalu berisiko dan butuh keberanian yang besar. Sedikit saja ada kesalahan atau ketidaksepemahaman dengan khalayak masyakarat akan berakibat fatal. Dan ini pun disadari oleh Tasaro. Tapi, dengan niat dan tujuan yang benar (sesuai yang ia yakini), ia berani menuliskannya.
Orang pertama yang ia beritahu niat menulis tentang ini adalah ibunya. Apa jawaban ibunya? Pembaca akan tahu di novelnya langsung di halaman persembahan. Ketika Tasaro memberitahukan niatnya tersebut kepada teman-teman dan saudara-saudaranya mempunyai pendapat yang hampir sama, “Terlalu berisiko, dan siap-siap dicerca orang”. Senada dengan jawaban ibunya.
Tapi, Tasaro adalah Tasaro, ia tidak bergeming. Ia terus maju mewujudkan niatnya: MENULIS TENTANG NABI MUHAMMAD. Karena, ia pun seperti halnya orang lain yang melarang niatnya itu: atas dasar cinta kepada Nabi Muhammad.
Tasaro menjelaskan bahwa kaum muslim mencintai Nabi Muhammad, tapi banyak yang tidak berani “mendekatinya”. Mereka menjaga jarak, lantaran khawatir salah mendekatinya. Parahnya lagi, tidak sampai 50 persen kaum muslim yang pernah membaca sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi Muhammad).
Melihat fenomena itu dan kemudian dikaitkan dengan terbitnya novel tersebut, salah satu peserta ada yang berkomentar bahwa sangat ironik seorang muslim yang mencintai Nabinya tapi tidak tahu sejarah hidupnya. Oleh karena itu, kehadiran novel Muhammad sangat diharapkan untuk mengisi kekosongan tersebut, bahwa seorang muslim (khususnya) perlu membaca novel ini agar bisa mengenal Nabinya, jika mereka memang tidak ingin membaca sirah nabawiyah -- jika dirasa kaku dan kering karena terlalu ilmiah. Jadi, sebuah pendekatan yang sangat bagus yang diperbuat Tasaro ini.
Dan, uniknya, acara ini dihadiri peserta yang beragama Kristen. Amboi, alangkah kagetnya aku, ternyata mereka sudah membaca novel Muhammad. Dan, yang paling menggetarkan dari pendapat mereka setelah membaca novel itu, yang katanya, mereka jadi tahu sosok Nabi Muhammad dan Islam sendiri. Mereka mengaku sebelum membaca novel itu, pandangan tentang Islam sedikit negatif, karena selalu dikaitkan dengan teroris dan kekerasan, misalnya. Tapi, setelah membaca novel ini, ternyata mereka salah menilai. Islam sejatinya adalah agama penyayang, rahmat bagi semesta alam.
Di tengah diskusi, Tasaro memperkenalkan dan menunjukkan salah seorang teman yang beragama Kristen, bernama Rampa Maega, yang berada di antara peserta diskusi. Ia adalah orang sedikit-banyak membantu proses penulisan novel Muhammad. Tasaro bahkan berani mengatakan kalau novelnya ikut “ditulis” olehnya juga. Karena, banyak sekali hal-hal yang selalu didiskusikan dalam menulis novel ini.
Tasaro memang penulis muda berbakat. Hasil racikannya selalu mendecak kagum pembaca dan mendapatkan penghargaan, seperti penghargaan Adikarya IKAPI dan kategori novel terbaik; Di Serambi Mekkah (2006) dan O, Achilles (2007), Wandu; novel terbaik FLP Award 2005, Mad Man Show (juara cerbung Femina 2006), Bubat (juara skenario Direktorat Film 2006), Kontes Kecantikan, Legalisasi Kemunafikan (penghargaan Menpora 2009), dan Galaksi Kinanthi (Karya Terpuji Anugerah Pena 2009).
Ia mengaku, novel Muhammad adalah novel yang ditulis dengan melibatkan banyak orang dan banyak revisi (mencapai belasan kali), dibanding novel-novel lainnya yang pernah ditulis. Referensi yang digunakan pun sangat representatif, seperti karya Karen Armstrong, Muhammad Husein Haikal, Tariq Ramadhan, Martin Lings, dan yang lainnya.
Hal itu membuktikan bahwa Tasaro menulis novel ini sangat serius. Ia hendak menjadikan karyanya karya yang “original”, dalam arti mempunyai sudut pandang yang baru di antara penulis-penulis tentang Nabi Muhammad. Novel ini boleh dikata pandangan Tasaro atas Sang Nabi.
Namun, sayang, dalam acara itu tidak ada pembicara kedua yang menilai novel tersebut, baik kelebihan maupun kekurangannya. Dan, tidak ada pula peserta yang sudah membaca bukunya berkomentar soal sisi sastranya. Karena, bagaimana pun buku ini adalah novel yang layak dinikmati sebagai karya sastra.
Jika anda ingin membaca sejarah Nabi Muhammad dengan cita rasa sastra silakan baca novel ini. Dan, sekuelnya akan terbit pada Agustus 2010, bertepatan dengan bulan Ramadhan 1431 H. []
M. Iqbal Dawami, penikmat sastra, teh, dan gogodoh.
Kamis, 11 Februari 2010
Pamuk dan Istanbul
Judul: Istanbul : Kenangan Sebuah Kota
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: I, Februari 2009
Tebal: 563 halaman
------------------------
BUKU ini adalah memoar seorang peraih nobel bidang sastra tahun 2006, Orhan Pamuk, kelahiran Turki. Dalam memoarnya, Pamuk banyak berkisah tentang dirinya—seperti keluarga dan cinta pertamanya—dan tempat kelahirannya yang sekaligus menjadi judul buku ini, Istanbul. Ia mencatat penggalan memori kehidupan masa lalunya di Istanbul antara 1950 hingga 1970-an.
Ferit Orhan Pamuk, demikian nama lengkapnya, dilahirkan di Istanbul pada 7 Juni 1952. Ia terlahir dalam sebuah keluarga kelas menengah yang makmur. Ayahnya adalah direktur utama pertama IBM Turki. Ia kuliah di Universitas Teknik Istanbul jurusan arsitektur. Namun, ia berhenti setelah tiga tahun kuliah dan memutuskan untuk menjadi seorang penulis sepenuh waktu.
“Kenapa kau tidak pergi keluar sebentar, kenapa tidak mencoba melihat pemandangan lain, melakukan perjalanan?” Ujar sang ibu suatu ketika menyarankan Pamuk. Pamuk mengakui bahwa dirinya dan Istanbul sudah tidak bisa dipisahkan. Istanbul adalah takdirnya, karena kota tersebut telah menjadikan dirinya seperti sekarang ini. Pamuk dan kota Istanbul telah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Pamuk berbeda dengan para penulis dunia lainnya semacam Joseph Conrad, Vladimir Nabokov, dan V.S. Naipul. Mereka adalah penulis dunia yang dikenal telah berhasil melakukan migrasi antar-bahasa, budaya, negara, benua, bahkan peradaban. Imajinasi mereka mendapat makanan dari pengasingan, zat gizi yang diperoleh bukan melalui akar melainkan dari ketiadaaan akar. Oleh karena itu, Inspirasi Pamuk hanyalah kota Istanbul, yang sudah dikenal dengan detail. Maka, tak heran dalam memoarnya ini pula ia banyak mengulas Istanbul.
Salah satu yang diulas oleh Pamuk mengenai Istanbul adalah sisi kemuramannya alias huzun. Baginya, orang boleh bangga dengan kemegahan Turki yang dibangun pada masa Kesultanan Usmani (Ottoman), tapi saat ini di mana Kesultanan Usmani sudah ambruk, Istanbul tak lain hanyalah kota miskin, kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi Pamuk, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan.
Karena pandangan sinisnya atas Istanbul (umumnya Turki) baik melalui karya-karya maupun wawancaranya, Pamuk menuai kritikan. Banyak orang menanyakan mengapa ia sering mengkritik Turki dari sisi negatifnya.
Pamuk Sebagai Penulis
Meski tidak banyak membicarakan perjalanan kepenulisannya, dalam memoarnya tersirat embrio Pamuk akan menjadi penulis besar. Berawal dari perpustakaan ayahnya, pada usia 17 tahun ia mulai mencurahkan waktunya untuk membaca dan melahap habis buku-buku yang ada dalam perpustakaan tersebut. Pada 1970, saat berusia 18 tahun, dia mulai menulis puisi.
Menurut pengakuannya, Pamuk sangat menyukai buku-buku puisi yang ramping dan kusam dari para penyair yang dikenal di Turki sebagai bagian dari gelombang pertama tahun 1940 hingga 1950 dan gelombang kedua tahun 1960 sampai 1970. Pamuk kemudian menulis puisi-puisi dengan cara yang sama dengan mereka.
Semenjak tahun 1970, Pamuk menambah koleksi perpustakaan keluarganya. Terutama buku-buku yang berkaitan dengan bangsa Turki. Membaca buku-buku yang terkait Turki membuka pikirannya. Sejumlah pertanyaan selalu menggelayut dalam otaknya, seperti mengapa Turki begitu miskin, kumuh, suram, dan kacau balau. Menurutnya, adalah benar bahwa orang seharusnya memandang rendah dirinya karena tak memikirkan apa pun kecuali memikirkan negerinya sendiri dan gagal melihat hubungan antara negerinya dengan bagian dunia yang lain. Semenjak itu, ia mulai serius menulis novel yang bersettingkan Turki.
Walhasil, buku ini patut dibaca oleh siapa saja (seperti penulis, sosiolog, dan antropolog), terlebih yang mau mengenal lebih jauh siapa Orhan Pamuk dan negeri Turki (baca: Istanbul).[]
M. Iqbal Dawami,
Penikmat teh dan gogodoh
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: I, Februari 2009
Tebal: 563 halaman
------------------------
BUKU ini adalah memoar seorang peraih nobel bidang sastra tahun 2006, Orhan Pamuk, kelahiran Turki. Dalam memoarnya, Pamuk banyak berkisah tentang dirinya—seperti keluarga dan cinta pertamanya—dan tempat kelahirannya yang sekaligus menjadi judul buku ini, Istanbul. Ia mencatat penggalan memori kehidupan masa lalunya di Istanbul antara 1950 hingga 1970-an.
Ferit Orhan Pamuk, demikian nama lengkapnya, dilahirkan di Istanbul pada 7 Juni 1952. Ia terlahir dalam sebuah keluarga kelas menengah yang makmur. Ayahnya adalah direktur utama pertama IBM Turki. Ia kuliah di Universitas Teknik Istanbul jurusan arsitektur. Namun, ia berhenti setelah tiga tahun kuliah dan memutuskan untuk menjadi seorang penulis sepenuh waktu.
“Kenapa kau tidak pergi keluar sebentar, kenapa tidak mencoba melihat pemandangan lain, melakukan perjalanan?” Ujar sang ibu suatu ketika menyarankan Pamuk. Pamuk mengakui bahwa dirinya dan Istanbul sudah tidak bisa dipisahkan. Istanbul adalah takdirnya, karena kota tersebut telah menjadikan dirinya seperti sekarang ini. Pamuk dan kota Istanbul telah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Pamuk berbeda dengan para penulis dunia lainnya semacam Joseph Conrad, Vladimir Nabokov, dan V.S. Naipul. Mereka adalah penulis dunia yang dikenal telah berhasil melakukan migrasi antar-bahasa, budaya, negara, benua, bahkan peradaban. Imajinasi mereka mendapat makanan dari pengasingan, zat gizi yang diperoleh bukan melalui akar melainkan dari ketiadaaan akar. Oleh karena itu, Inspirasi Pamuk hanyalah kota Istanbul, yang sudah dikenal dengan detail. Maka, tak heran dalam memoarnya ini pula ia banyak mengulas Istanbul.
Salah satu yang diulas oleh Pamuk mengenai Istanbul adalah sisi kemuramannya alias huzun. Baginya, orang boleh bangga dengan kemegahan Turki yang dibangun pada masa Kesultanan Usmani (Ottoman), tapi saat ini di mana Kesultanan Usmani sudah ambruk, Istanbul tak lain hanyalah kota miskin, kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi Pamuk, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan.
Karena pandangan sinisnya atas Istanbul (umumnya Turki) baik melalui karya-karya maupun wawancaranya, Pamuk menuai kritikan. Banyak orang menanyakan mengapa ia sering mengkritik Turki dari sisi negatifnya.
Pamuk Sebagai Penulis
Meski tidak banyak membicarakan perjalanan kepenulisannya, dalam memoarnya tersirat embrio Pamuk akan menjadi penulis besar. Berawal dari perpustakaan ayahnya, pada usia 17 tahun ia mulai mencurahkan waktunya untuk membaca dan melahap habis buku-buku yang ada dalam perpustakaan tersebut. Pada 1970, saat berusia 18 tahun, dia mulai menulis puisi.
Menurut pengakuannya, Pamuk sangat menyukai buku-buku puisi yang ramping dan kusam dari para penyair yang dikenal di Turki sebagai bagian dari gelombang pertama tahun 1940 hingga 1950 dan gelombang kedua tahun 1960 sampai 1970. Pamuk kemudian menulis puisi-puisi dengan cara yang sama dengan mereka.
Semenjak tahun 1970, Pamuk menambah koleksi perpustakaan keluarganya. Terutama buku-buku yang berkaitan dengan bangsa Turki. Membaca buku-buku yang terkait Turki membuka pikirannya. Sejumlah pertanyaan selalu menggelayut dalam otaknya, seperti mengapa Turki begitu miskin, kumuh, suram, dan kacau balau. Menurutnya, adalah benar bahwa orang seharusnya memandang rendah dirinya karena tak memikirkan apa pun kecuali memikirkan negerinya sendiri dan gagal melihat hubungan antara negerinya dengan bagian dunia yang lain. Semenjak itu, ia mulai serius menulis novel yang bersettingkan Turki.
Walhasil, buku ini patut dibaca oleh siapa saja (seperti penulis, sosiolog, dan antropolog), terlebih yang mau mengenal lebih jauh siapa Orhan Pamuk dan negeri Turki (baca: Istanbul).[]
M. Iqbal Dawami,
Penikmat teh dan gogodoh
Minggu, 31 Januari 2010
Gara-gara nama FB-ku pakai "Sheldon", aku pengen baca karya2 Sidney Sheldon.Mungkin dimulai dari
The Other Side Of Midnight, yang begitu fenomenal. Konon novel itu menyelamatkan jiwa wanita yang menderita serangan jantung dan dirawat di RS.
Dia melarang orangtua dan pacarnya datang menemuinya. Dia menulis kepada Sheldon bahwa dia hanya ingin mati. Di kamar tempat wanita itu dirawat ada yang meninggalkan satu eksemplar novel itu di sebelah ranjangnya. Dia kemudian membacanya dan larut di dalamnya, sehingga dia melupakan masalahnya sendiri, dan siap menghadapi kehidupan lagi.
The Other Side Of Midnight, yang begitu fenomenal. Konon novel itu menyelamatkan jiwa wanita yang menderita serangan jantung dan dirawat di RS.
Dia melarang orangtua dan pacarnya datang menemuinya. Dia menulis kepada Sheldon bahwa dia hanya ingin mati. Di kamar tempat wanita itu dirawat ada yang meninggalkan satu eksemplar novel itu di sebelah ranjangnya. Dia kemudian membacanya dan larut di dalamnya, sehingga dia melupakan masalahnya sendiri, dan siap menghadapi kehidupan lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)