Resensi ini dimuat di Media Indonesia pada sabtu 24 Januari 2009
--------------------------
Judul : Goodbye, Bush! - Sepatu Perpisahan dari Baghdad
Penulis : Muhsin Labib
Penerbit : Rajut Publishing House
Cetakan : I, Januari 2009
Tebal : 96 hlm
-------------------------
Masih ingatkah anda dengan peristiwa lemparan sepatu milik wartawan al-Zaidi kepada Presiden Bush, di Irak? Peristiwa ‘sepatu buat Bush’ itu telah mengantarkan Muntahar al Zaidi menjadi terkenal di dunia.
Peristiwa yang ikut menandai lengsernya Presiden George Walker Bush Junior itu, akan selalu dikenang dunia. Dan, nama al Zaidi kini menjadi hero di Irak, bahkan di negara-negara arab lainnya. Al Zaidi muncul sebagai tokoh pembangkang yang berani melawan Bush-Amerika. Saking tingginya daya tarik peristiwa itu, kini tahukah anda sepatu tersebut dilelang dengan harga yang sangat mencengangkan, yaitu Rp 110 miliar.
Bagaimana kronologi peristiwa pelemparan sepatu tersebut? Siapa sesungguhnya Muntahar al-Zaidi? Terus, bagaimana reaksi setelah peristiwa itu? Dalam buku inilah ketiga pertanyaan di atas dapat ditemukan jawabannya.
Minggu, 14 Desember 2008, presiden AS George W. Bush tiba di bandara Internasional Baghdad dengan pesawat kepresidenan AS, Air Force One. Tujuan utama Bush adalah, selain hendak pamitan, untuk menandatangani pakta keamanan AS-Irak. Usai menandatangani, Bush dan Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki hendak melakukan konferensi pers. Seluruh petugas di situ juga telah menyiapkan semua prosedur pengamanan super maksimum yang lengkap dengan peralatan canggihnya. Maka, hampir dipastikan dalam ruangan tersebut tak ada bom, pistol, atau barang apapun yang mengancam keamanan Sang presiden dan perdana menteri.
Saat al-Maliki dan Bush berdiri di podium dengan tatapannya yang penuh kepercayaan diri hendak bersiap menjawab pertanyaan para wartawan, tiba-tiba seorang wartawan televisi Al-Baghdadia, Muntahar al-Zaidi melemparkan sepatunya ke arah Bush sambil berteriak , “Good bye, dog!” Belum sempat para pengawal presiden bereaksi, al-Zaidi melempar sebuah sepatunya lagi, beruntunglah Bush dapat menghindarinya sehingga kedua sepatu itu tak mengenai kepalanya.
Peristiwa tersebut diliput secara live oleh hampir seluruh stasiun televisi dunia. Dan dapat dipastikan berita itu telah tersebar dengan cepat, dan menghibur banyak pemirsa, serta segera saja menjadi bahan gurauan dan melahirkan berbagai reaksi dari seluruh masyarakat dunia. Tentunya peristiwa ini bisa menjadi insiden yang paling memalukan sepanjang sejarah kepresidenan AS.
Dalam budaya arab, tapak kaki (serta yang membungkusnya: Sandal dan sepatu) adalah sebuah penghinaan. Kita tahu, setelah patung Sadam Husein dirobohkan di Baghdad banyak orang memukuli wajah patung itu dengan tapak sepatu mereka. Nah, Bush pun mengalami nasib yang sama dengan Sadam.
Pelemparan sepatu Zaidi merupakan perlawanan simbolik untuk merontokkan kewibawaan Bush. Pesan yang disampaikan tindakan itu adalah hegemoni politik Amerika tidak bisa serta merta beroperasi secara total bagi seluruh rakyat Irak. Negara bisa ditawan dan dikuasai, namun tidak untuk seluruh rakyatnya. Al Zaidi merupakan martir simbolik. Wajar jika kemudian rakyat Irak memberikan dukungan atas tindakan al Zaidi tersebut.
Saat ini kita dapat membaca peristiwa tersebut secara utuh melalui sebuah buku. Buku karangan Mushin Labib ini disertai pula pelbagai informasi yang mengitari peristiwa ‘pelemparan sepatu tersebut’. Buku ini disebut dengan ‘flash book’, dengan dibuat secara cepat untuk menangkap sebuah momen yang masih aktual, yang mampu diselesaikan dalam waktu 2x24 jam. Sungguh luar biasa.
Di awal buku ini diperlihatkan peristiwa seputar Pakta Keamanan Amerika-Irak beserta polemik-polemiknya. Bagian ini memuat berbagai pasal pakta pertahanan tersebut beserta pasal-pasal rahasia dari kesepakatan tersebut. Dari pasal-pasal tersebut terlihat dengan jelas bagaimana AS masih enggan sepenuhnya melepas cengkeraman militernya atas Irak.
Tampaknya ini buku pertama di Indonesia yang memaparkan insiden pelemparan sepatu pada Bush. Selain itu ada banyak informasi yang mungkin hanya bisa diperoleh dalam buku ini saja. Selain kita bisa memperoleh seluruh rangkaian peristiwa ini secara utuh, melalui buku ini pula kita juga akan melihat sebuah ekspresi penolakan yang kuat terhadap arogansi dan hegemoni suatu pemerintahan yang secara sadar ingin menguasai bangsa lain dengan dalih perdamaian dan keamanan dunia.
Di Bagian ketiga dalam buku ini memuat profil singkat pelempar sepatu, Muntahar al Zaidi dan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan sosoknya sesuai aksi pelemparan seperti penyiksaan yang dialaminya dan dukungan serta simpati mulai dari sesama wartawan. Terkait dengan dirinya, beberapa fenomena menarik juga direkam dalam buku ini, seperti banyak ibu-ibu yang bersedia menikahi anak gadisnya dengan al Zaidi, pabrik pembuat sepatu yang mereknya sama dengan yang digunakan al Zaidi kebanjiran order, sehingga pesanan jenis sepatu tersebut dinaikkan hingga 4 kali lipat. Dan uniknya kebanyakan pesanan tersebut berasal dari AS, Inggris, dan sejumlah negara Arab.
Al Zaidi memang telah menjadi hero dan simbol perlawanan terhadap Amerika dan sekutu-sekutunya. Bahkan setelah peristiwa tersebut para intifadah di jalur Gaza tak lagi melempari tentara Israel dengan batu melainkan dengan sepatu.
Selain itu terungkap pula bahwa sejatinya kejadian aib bagi sang presiden tersebut malah menjadi hiburan gratis bagi tentara AS di Irak. Peristiwa tersebut nyaris tidak terkesan sebagai peristiwa kekerasan, namun kelucuan. Tentara AS di Irak terbahak-bahak melihat insiden tersebut.
Kasus ‘sepatu al Zaidi’ itu memang tidak otomatis merontokkan kewibawaan Amerika baik secara ekonomi, politik, militer dan budaya. Sebagaimana yang dikatakan Indra Tranggono, budayawan Jogja, bahwa mereka terlalu digdaya. Namun, lanjutnya, secara politik dan kultural peristiwa itu telah menjadi interupsi penting bagi Amerika bahwa sebuah bangsa dan negara mempunyai harga diri yang tidak bisa diperlakukan secara semena-mena. Semoga kasus ini menjadi bahan renungan bagi Barrack Obama.
Padi tumbuh dalam kesunyian, sejak hijau hingga menguning. Dia tidak banyak "bicara" dan gembar-gembor untuk mempersiapkan kematangannya. Dan saat matang dia justru merunduk. Semakin berisi semakin tunduk. [iqbal.dawami@gmail.com]
Senin, 26 Januari 2009
Sabtu, 24 Januari 2009
Golput Sebagai Ijtihad Politik
Akhir-akhir ini dunia perpolitikan di negeri kita mulai memanas. Tahun 2009 berarti memasuki euforia pemilu Presiden. Pilkada di tingkat legislasi mulai digenjot agar segera rampung sebelum rangkaian pemilihan presiden dimulai.
Para calon legislatif (caleg) dan KPU mulai sibuk dengan perannya masing-masing. Aksi narsis para caleg melalui baliho berlambang partai berjejer di sepanjang jalan, baik jalan raya, maupun jalan-jalan setapak, bahkan hingga gank-gank sempit.
Suasana jalanan pun menjadi semrawut dan kotor oleh gambar-gambar itu. Semua caleg menampakkan diri dengan wajah yang percaya diri, serta tak lupa memamerkan senyumnya. Umumnya para caleg itu ada yang berdasi, berpeci, bersorban, juga berkemeja koko. Tak lupa nama mereka diawali dan diakhiri dengan seabreg titel, seperti K.H., Dr, dr, Ustadz, S.Ag, M.Ag., M.S.i., Drs., dan lain-lainnya.
Latar belakang para caleg pun macam-macam: Pengusaha, petani, kyai, pengurus yayasan, dan tak lupa hubungan kekerabatan (istri bupati, anak walikota, anak gubernur, suami gubernur, dan seterusnya). Tak lupa pula dengan jargonnya masing-masing. Bahkan banyak juga yang meminta restu, doa, dan dukungan yang tertera di aneka alat kampanye. Ah, sungguh aneh-aneh saja mereka ini. Mau memperkaya diri sendiri saja mereka minta doa restu. Saya kemudian berpikir dapatkah mereka memainkan perannya menjadi wakil rakyat? Lha wong wawasan tentang kenegaraan saja masih diragukan?
Saat ini tolok ukur (modal) menjadi caleg hanya satu, yaitu bermodal duit saja. Siapa yang berduit pasti akan mulus menjadi caleg. Dan harus diakui bahwa menjadi caleg itu amatlah mahal. Saat harus lolos di partainya saja, jelas harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Ingin nomor urut jadi (dulu masih berlaku nomor urut), harus merogoh kantong dalam-dalam. Sudah jadi caleg, dia harus promosi sembari membawa sembako, stiker, baliho, kalender, baju, topi, dan lain-lain ke masyarakat di daerah pemilihannya (dapil).
Berdasarkan logika di atas, jika saja mereka kemudian berhasil duduk di bangku legislatif alias menjadi wakil rakyat kita sudah dapat menebak prihal yang mereka lakukan, yaitu meraup uang sebanyak-banyaknya, demi mengembalikan modal yang dulu mereka keluarkan di saat pilkada. Bahkan tidak berhenti di situ, mereka akan meraup untung sebnyak-banyaknya, karena mumpung menjadi wakil rakyat. Mumpungisme.
Oleh karena itu, sangat memungkinkan para wakil rakyat tersebut berperilaku keji, seperti melakukan suap menyuap, korupsi berjamaah, alih fungsi lahan, dan seterusnya. Tak lain semua itu dilakukan demi modal yang dulu telah mereka keluarkan yang harus mereka raih kembali. Dan jangan tanya tentang produk undang-undang (UU) yang mereka buat, yang alih-alih meringankan rakyat, mereka terkesan membuatnya setengah hati untuk mengutamakan keutamaan rakyat. Bisa jadi malah menambah beban rakyat. Sebut saja pengesahan beberapa UU oleh DPR RI seperti soal UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), UU Minyak dan Gas (Migas), UU Mineral dan Batu Bara (Minerba), dan UU Sumberdaya Alam (SDA), yang semuanya mendapat kritik pedas dari para ahli dan masyarakat luas karena berbagai dampak yang pasti ditimbulkannya. Para anggota dewan itu juga malas-malasan bekerja dan sering bolos saat diadakannya rapat paripurna. Ini menjadi bukti bahwa para caleg jika telah duduk di kursi empuk akan lupa atau melupakan rakyat yang pernah diminta untuk memilihnya.
Untuk itu, beranikah kita mengatakan kalau para caleg yang berlomba-lomba meraih simpati rakyat dengan seabreg janji-janjinya itu adalah awal perlombaan kebohongan calon politisi? Benarkah mereka hendak mengabdi bagi ibu pertiwi dan mendedikasikan diri untuk kepentingan masyarakat luas?
Sikap Golput Sebuah Ijtihad
Melihat fakta di atas saya sendiri sanksi untuk memilih para caleg. Saya tidak begitu yakin kalau mereka membawa membawa manfaat bagi masyarakat. Terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Keluhan demi keluhan masih sering terdengar nyaring di telinga kita. Jadi, pantaskah saya mencoblos caleg yang pintar berbohong dan bersilat lidah itu? Pantaskah para caleg untuk dipilih yang amat narsis dan membanggakan diri lewat poster dan baliho itu di tengah-tengah rakyat jelata yang selalu resah memikirkan hari esok masih bisa makan apa tidak?
Dengan sangat terpaksa, jika kenyataan seperti itu dan saya belum menemukan figur yang pantas untuk dipilih, barangkali saya akan bersikap golput. Saya akan memosisikan diri dengan mereka yang mempunyai kesadaran politik untuk memilih golput. Bukan tanpa alasan, dan bukan pula atas hasutan atau pun ikut-ikutan. Sungguh, ini benar-benar sikap yang justru disadari sebagai kesadaran berpolitik. Ada memang beberapa caleg yang menurutku pantas untuk dicoblos, karena sejauh yang saya ketahui caleg tersebut punya reputasi baik, terutama perannya dalam keilmuan, khususnya kajian keislaman. Tapi, sangat disayangkan, mereka tidak berada di daerah yang aku coblos.
Tapi, baiklah, saya akan berusaha menilik para caleg yang ada di daerahku sekali lagi. Jika memang secara keilmuan tidak mumpuni, tapi paling tidak mereka mempunyai kepribadian baik, seperti jujur, tawadhu, sosialis, dan beragam cara lainnya yang wajar. Namun, jika kriteria tersebut masih belum ada, lantas bagaimana? Ya, sekali lagi saya akan melakukan ijtihad sendiri seperti telah saya katakan di atas, golput. Jadi, jangan salahkan saya.
Para calon legislatif (caleg) dan KPU mulai sibuk dengan perannya masing-masing. Aksi narsis para caleg melalui baliho berlambang partai berjejer di sepanjang jalan, baik jalan raya, maupun jalan-jalan setapak, bahkan hingga gank-gank sempit.
Suasana jalanan pun menjadi semrawut dan kotor oleh gambar-gambar itu. Semua caleg menampakkan diri dengan wajah yang percaya diri, serta tak lupa memamerkan senyumnya. Umumnya para caleg itu ada yang berdasi, berpeci, bersorban, juga berkemeja koko. Tak lupa nama mereka diawali dan diakhiri dengan seabreg titel, seperti K.H., Dr, dr, Ustadz, S.Ag, M.Ag., M.S.i., Drs., dan lain-lainnya.
Latar belakang para caleg pun macam-macam: Pengusaha, petani, kyai, pengurus yayasan, dan tak lupa hubungan kekerabatan (istri bupati, anak walikota, anak gubernur, suami gubernur, dan seterusnya). Tak lupa pula dengan jargonnya masing-masing. Bahkan banyak juga yang meminta restu, doa, dan dukungan yang tertera di aneka alat kampanye. Ah, sungguh aneh-aneh saja mereka ini. Mau memperkaya diri sendiri saja mereka minta doa restu. Saya kemudian berpikir dapatkah mereka memainkan perannya menjadi wakil rakyat? Lha wong wawasan tentang kenegaraan saja masih diragukan?
Saat ini tolok ukur (modal) menjadi caleg hanya satu, yaitu bermodal duit saja. Siapa yang berduit pasti akan mulus menjadi caleg. Dan harus diakui bahwa menjadi caleg itu amatlah mahal. Saat harus lolos di partainya saja, jelas harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Ingin nomor urut jadi (dulu masih berlaku nomor urut), harus merogoh kantong dalam-dalam. Sudah jadi caleg, dia harus promosi sembari membawa sembako, stiker, baliho, kalender, baju, topi, dan lain-lain ke masyarakat di daerah pemilihannya (dapil).
Berdasarkan logika di atas, jika saja mereka kemudian berhasil duduk di bangku legislatif alias menjadi wakil rakyat kita sudah dapat menebak prihal yang mereka lakukan, yaitu meraup uang sebanyak-banyaknya, demi mengembalikan modal yang dulu mereka keluarkan di saat pilkada. Bahkan tidak berhenti di situ, mereka akan meraup untung sebnyak-banyaknya, karena mumpung menjadi wakil rakyat. Mumpungisme.
Oleh karena itu, sangat memungkinkan para wakil rakyat tersebut berperilaku keji, seperti melakukan suap menyuap, korupsi berjamaah, alih fungsi lahan, dan seterusnya. Tak lain semua itu dilakukan demi modal yang dulu telah mereka keluarkan yang harus mereka raih kembali. Dan jangan tanya tentang produk undang-undang (UU) yang mereka buat, yang alih-alih meringankan rakyat, mereka terkesan membuatnya setengah hati untuk mengutamakan keutamaan rakyat. Bisa jadi malah menambah beban rakyat. Sebut saja pengesahan beberapa UU oleh DPR RI seperti soal UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), UU Minyak dan Gas (Migas), UU Mineral dan Batu Bara (Minerba), dan UU Sumberdaya Alam (SDA), yang semuanya mendapat kritik pedas dari para ahli dan masyarakat luas karena berbagai dampak yang pasti ditimbulkannya. Para anggota dewan itu juga malas-malasan bekerja dan sering bolos saat diadakannya rapat paripurna. Ini menjadi bukti bahwa para caleg jika telah duduk di kursi empuk akan lupa atau melupakan rakyat yang pernah diminta untuk memilihnya.
Untuk itu, beranikah kita mengatakan kalau para caleg yang berlomba-lomba meraih simpati rakyat dengan seabreg janji-janjinya itu adalah awal perlombaan kebohongan calon politisi? Benarkah mereka hendak mengabdi bagi ibu pertiwi dan mendedikasikan diri untuk kepentingan masyarakat luas?
Sikap Golput Sebuah Ijtihad
Melihat fakta di atas saya sendiri sanksi untuk memilih para caleg. Saya tidak begitu yakin kalau mereka membawa membawa manfaat bagi masyarakat. Terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Keluhan demi keluhan masih sering terdengar nyaring di telinga kita. Jadi, pantaskah saya mencoblos caleg yang pintar berbohong dan bersilat lidah itu? Pantaskah para caleg untuk dipilih yang amat narsis dan membanggakan diri lewat poster dan baliho itu di tengah-tengah rakyat jelata yang selalu resah memikirkan hari esok masih bisa makan apa tidak?
Dengan sangat terpaksa, jika kenyataan seperti itu dan saya belum menemukan figur yang pantas untuk dipilih, barangkali saya akan bersikap golput. Saya akan memosisikan diri dengan mereka yang mempunyai kesadaran politik untuk memilih golput. Bukan tanpa alasan, dan bukan pula atas hasutan atau pun ikut-ikutan. Sungguh, ini benar-benar sikap yang justru disadari sebagai kesadaran berpolitik. Ada memang beberapa caleg yang menurutku pantas untuk dicoblos, karena sejauh yang saya ketahui caleg tersebut punya reputasi baik, terutama perannya dalam keilmuan, khususnya kajian keislaman. Tapi, sangat disayangkan, mereka tidak berada di daerah yang aku coblos.
Tapi, baiklah, saya akan berusaha menilik para caleg yang ada di daerahku sekali lagi. Jika memang secara keilmuan tidak mumpuni, tapi paling tidak mereka mempunyai kepribadian baik, seperti jujur, tawadhu, sosialis, dan beragam cara lainnya yang wajar. Namun, jika kriteria tersebut masih belum ada, lantas bagaimana? Ya, sekali lagi saya akan melakukan ijtihad sendiri seperti telah saya katakan di atas, golput. Jadi, jangan salahkan saya.
Senin, 19 Januari 2009
Harry Potter Menjadi CEO
Resensi ini dimuat di Koran Jakarta pada 8 Januari 2009
------------------
Judul: Harry Potter is Back, And Now he’s the CEO of the General Electric
Penulis: Tom Morris
Penerbit: Quacana,
Cetakan: I, November 2008
Halaman: 406 halaman
---------------------
Harry Potter selebritas dalam dunia sihir, masih terus booming dalam kiprahnya membangun hikmah dan kearifan hidup para pembacanya. Tom Morris satu dari sekian banyak pembaca karya-karya Rowling yang berhasil mengeksplorasi pesona sihir Harry Potter menjadi sebuah karya nyata yang menginspirasi semua kalangan pembacanya.
Di tangan Morris kisah Harry Potter belum berhenti. Petualangan-petualangannya di sekolah Hogwarts--setelah ia berhasil menundukkan Voldemort--telah mengantarkannya menjadi CEO General Electric, sebuah perusahaan besar kelas dunia. Penulis buku ini begitu yakin Harry Potter telah dipersiapkan menjadi “pemain bintang” dalam dunia bisnis, juga menjadi pemimpin muda yang sangat mengesankan. Apa kira-kira yang akan dilakukan Harry sebagai pemimpin perusahaan? Apa kiat-kiat bisnis, manajemen, dan kepemimpinan yang bisa diambil dari Harry Potter? Di buku inilah jawabannya akan ditemukan.
Apa yang dituturkan dalam kisah-kisah Harry Potter menurut Morris adalah kebaikan-kebaikan yang selalu menyebar tepat di pusat kehidupan beretika. Dan dari pengamatannya, ia tercengang, lantaran menemukan banyak pelajaran berharga dan ajaran-ajaran filosofis dalam karya-karya Rowling yang menjadi modal dasar kepemimpinan. Bagaimana Dumbledore telah mengilhami Harry rasa percaya diri, karakter, semangat dan keteguhan dalam kemandiriannya, sehingga ia dapat mengatur dan memimpin perlawanan tanpa henti terhadap kekuatan jahat yang muncul sepanjang cerita.
Di balik jubah sihirnya, justru kisah-kisah Harry Potter ingin menunjukkan bahwa bukan sihir yang memberi kesuksesan dalam meraih impian, karena kita tahu kebanyakan dari kita tidak memiliki perangkat-perangkat sihir itu. Akan tetapi kearifan-kearifan yang terpancar di dalamnya sangat tepat untuk diaplikasikan pada tantangan-tantangan bisnis sekarang ini. Kita bisa melihat banyak petunjuk mengenai kebaikan-kebaikan, keberanian, etika, dan sifat-sifat kepemimpinan yang penuh integritas, yang banyak tersebar dalam kisah-kisah Harry Potter.
Sifat yang penting dalam dunia bisnis, sebagaimana ditulis Morris, adalah keberanian. Keberanian untuk mengambil resiko, juga seperangkat keberanian lainnya; mengatakan kebenaran dan bertingkah laku sesuai prinsip tanpa terpengaruh oleh orang lain. Harry sering terlihat bersedia menghadapi bahaya besar untuk menyelamatkan temannya. Harry mengerti apa yang sedang dihadapi dan bersedia melawannya karena sesuatu yang dia junjung tinggi. Inilah yang harus dijadikan tauladan seorang pelaku bisnis, CEO, dan pemimpin-pemimpin yang berada pada garda depan. Dalam hal ini tentunya termasuk berani untuk dapat menampilkan kenyataan yang benar, bukan hanya berlindung di balik penciptaan kesan yang benar.
Menjadi pribadi yang hebat, merupakan komitmen yang harus dipegang oleh seorang pemimpin. Hebat yang mengacu kepada persaingan untuk menjadi yang terbaik. Membangun kepercayaan melalui kasih sayang, kemanusiaan, dan cinta. Jeft Immelt, CEO perusahaan besar kelas dunia menawarkan lima buah saran yang ia sebut sebagai “lima buah nilai yang dijunjung tinggi”, yaitu: Berkomitmen kepada apa yang harus dipelajari; bekerja keras dengan rasa kasih sayang dan keberanian; jadilah si pemberi; anda harus memiliki kepercayaan diri; terakhir, jadilah orang yang optimistik.
Buku ini sangat berguna untuk semua orang yang ingin menemukan sedikit keajaiban dalam bisnis dan kehidupan. Jika Harry Potter dewasa yang matang memimpin General Electric, atau organisasi lain dalam dunia bisnis, pemerintahan, atau pelayanan masyarakat, sang penulis yakin kita akan melihat sebentuk kepemimpinan yang didasarkan pada sifat-sifat baik, yang tindakannya berani secara etis, dan dimotivasi serta diarahkan oleh cinta.
------------------
Judul: Harry Potter is Back, And Now he’s the CEO of the General Electric
Penulis: Tom Morris
Penerbit: Quacana,
Cetakan: I, November 2008
Halaman: 406 halaman
---------------------
Harry Potter selebritas dalam dunia sihir, masih terus booming dalam kiprahnya membangun hikmah dan kearifan hidup para pembacanya. Tom Morris satu dari sekian banyak pembaca karya-karya Rowling yang berhasil mengeksplorasi pesona sihir Harry Potter menjadi sebuah karya nyata yang menginspirasi semua kalangan pembacanya.
Di tangan Morris kisah Harry Potter belum berhenti. Petualangan-petualangannya di sekolah Hogwarts--setelah ia berhasil menundukkan Voldemort--telah mengantarkannya menjadi CEO General Electric, sebuah perusahaan besar kelas dunia. Penulis buku ini begitu yakin Harry Potter telah dipersiapkan menjadi “pemain bintang” dalam dunia bisnis, juga menjadi pemimpin muda yang sangat mengesankan. Apa kira-kira yang akan dilakukan Harry sebagai pemimpin perusahaan? Apa kiat-kiat bisnis, manajemen, dan kepemimpinan yang bisa diambil dari Harry Potter? Di buku inilah jawabannya akan ditemukan.
Apa yang dituturkan dalam kisah-kisah Harry Potter menurut Morris adalah kebaikan-kebaikan yang selalu menyebar tepat di pusat kehidupan beretika. Dan dari pengamatannya, ia tercengang, lantaran menemukan banyak pelajaran berharga dan ajaran-ajaran filosofis dalam karya-karya Rowling yang menjadi modal dasar kepemimpinan. Bagaimana Dumbledore telah mengilhami Harry rasa percaya diri, karakter, semangat dan keteguhan dalam kemandiriannya, sehingga ia dapat mengatur dan memimpin perlawanan tanpa henti terhadap kekuatan jahat yang muncul sepanjang cerita.
Di balik jubah sihirnya, justru kisah-kisah Harry Potter ingin menunjukkan bahwa bukan sihir yang memberi kesuksesan dalam meraih impian, karena kita tahu kebanyakan dari kita tidak memiliki perangkat-perangkat sihir itu. Akan tetapi kearifan-kearifan yang terpancar di dalamnya sangat tepat untuk diaplikasikan pada tantangan-tantangan bisnis sekarang ini. Kita bisa melihat banyak petunjuk mengenai kebaikan-kebaikan, keberanian, etika, dan sifat-sifat kepemimpinan yang penuh integritas, yang banyak tersebar dalam kisah-kisah Harry Potter.
Sifat yang penting dalam dunia bisnis, sebagaimana ditulis Morris, adalah keberanian. Keberanian untuk mengambil resiko, juga seperangkat keberanian lainnya; mengatakan kebenaran dan bertingkah laku sesuai prinsip tanpa terpengaruh oleh orang lain. Harry sering terlihat bersedia menghadapi bahaya besar untuk menyelamatkan temannya. Harry mengerti apa yang sedang dihadapi dan bersedia melawannya karena sesuatu yang dia junjung tinggi. Inilah yang harus dijadikan tauladan seorang pelaku bisnis, CEO, dan pemimpin-pemimpin yang berada pada garda depan. Dalam hal ini tentunya termasuk berani untuk dapat menampilkan kenyataan yang benar, bukan hanya berlindung di balik penciptaan kesan yang benar.
Menjadi pribadi yang hebat, merupakan komitmen yang harus dipegang oleh seorang pemimpin. Hebat yang mengacu kepada persaingan untuk menjadi yang terbaik. Membangun kepercayaan melalui kasih sayang, kemanusiaan, dan cinta. Jeft Immelt, CEO perusahaan besar kelas dunia menawarkan lima buah saran yang ia sebut sebagai “lima buah nilai yang dijunjung tinggi”, yaitu: Berkomitmen kepada apa yang harus dipelajari; bekerja keras dengan rasa kasih sayang dan keberanian; jadilah si pemberi; anda harus memiliki kepercayaan diri; terakhir, jadilah orang yang optimistik.
Buku ini sangat berguna untuk semua orang yang ingin menemukan sedikit keajaiban dalam bisnis dan kehidupan. Jika Harry Potter dewasa yang matang memimpin General Electric, atau organisasi lain dalam dunia bisnis, pemerintahan, atau pelayanan masyarakat, sang penulis yakin kita akan melihat sebentuk kepemimpinan yang didasarkan pada sifat-sifat baik, yang tindakannya berani secara etis, dan dimotivasi serta diarahkan oleh cinta.
Selasa, 13 Januari 2009
Maafkan Aku Palestina
Sehari menjelang tahun baru Masehi, aku berada di Magelang, bekerja. Dan tak ada perasaan atau pun persiapan apa-apa untuk menyambut malam tahun baru tersebut.
Menjelang maghrib aku tiba di Jogja. Setelah shalat maghrib dan makan, aku pun berangkat tidur dan bangun pukul tiga dini hari, lantaran belum shalat Isya. Sayup-sayup terompet dan kembang api memang sempat terdengar pada tengah malam, tapi semua itu tidak membuatku penasaran ingin keluar rumah. Malahan aku menutup telingaku dengan bantal.
Boleh dikata sikap dinginku itu dalam menghadapi tahun baru adalah sebentuk sikap empatiku atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di tanah Palestina. Betapa tidak, masyarakat Palestina yang tidak tahu apa-apa yang terjadi antara Hamas dan Israel menjadi korban kebrutalan serdadu Israel. Akhir Desember perang antara keduanya sudah terjadi, dan saat itu pula orang-orang Palestina tewas satu persatu dijadikan sasaran tembak tentara Israel. Dan tidak lebih dari satu minggu, kurang lebih 300 orang dipastikan tewas dan ratusan luka-luka.
Masyarakat dunia yang sudah mafhum dengan kebiadaban Israel itu tidak bisa berbuat apa-apa, selain aksi demo dan memberi bantuan logistik (makanan dan obat-obatan) sebisanya. Masyarakat dunia (termasuk PBB dan anggota Liga Arab) tidak bisa menghukum Israel karena dilindungi Amerika. PBB dan anggota liga Arab sudah ompong dan pikun. Mereka semua hanya mementingkan dirinya sendiri. Ibarat perut kenyang yang sudah malas untuk berbuat apa-apa. Inginnya tidur melulu. Ibarat Pegawai Negeri yang sudah terjamin hidupnya, karena selalu dibiayai oleh duit rakyat, malas untuk melakukan kreatifitas lagi. Enggan untuk membantu kaum dhu’afa.
Kini, kekejian Israel masih terus berlangsung, entah sampai kapan berakhir, dan korban yang tewas dari rakyat Palestina masih terus bertambah, hampir mencapai seribu. Dan masyarakat dunia, PBB dan anggota Liga Arab yang punya kuasa dan otoritas tetap tak ada aksi nyata dengan kuasanya itu, hanya bisa berkoar-koar.
Sedang aku? Aku pun hanya bisa menulis... tak berani menjadi anggota sukarelawan ke medan tempur sana. Maafkan aku Palestina…
Menjelang maghrib aku tiba di Jogja. Setelah shalat maghrib dan makan, aku pun berangkat tidur dan bangun pukul tiga dini hari, lantaran belum shalat Isya. Sayup-sayup terompet dan kembang api memang sempat terdengar pada tengah malam, tapi semua itu tidak membuatku penasaran ingin keluar rumah. Malahan aku menutup telingaku dengan bantal.
Boleh dikata sikap dinginku itu dalam menghadapi tahun baru adalah sebentuk sikap empatiku atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di tanah Palestina. Betapa tidak, masyarakat Palestina yang tidak tahu apa-apa yang terjadi antara Hamas dan Israel menjadi korban kebrutalan serdadu Israel. Akhir Desember perang antara keduanya sudah terjadi, dan saat itu pula orang-orang Palestina tewas satu persatu dijadikan sasaran tembak tentara Israel. Dan tidak lebih dari satu minggu, kurang lebih 300 orang dipastikan tewas dan ratusan luka-luka.
Masyarakat dunia yang sudah mafhum dengan kebiadaban Israel itu tidak bisa berbuat apa-apa, selain aksi demo dan memberi bantuan logistik (makanan dan obat-obatan) sebisanya. Masyarakat dunia (termasuk PBB dan anggota Liga Arab) tidak bisa menghukum Israel karena dilindungi Amerika. PBB dan anggota liga Arab sudah ompong dan pikun. Mereka semua hanya mementingkan dirinya sendiri. Ibarat perut kenyang yang sudah malas untuk berbuat apa-apa. Inginnya tidur melulu. Ibarat Pegawai Negeri yang sudah terjamin hidupnya, karena selalu dibiayai oleh duit rakyat, malas untuk melakukan kreatifitas lagi. Enggan untuk membantu kaum dhu’afa.
Kini, kekejian Israel masih terus berlangsung, entah sampai kapan berakhir, dan korban yang tewas dari rakyat Palestina masih terus bertambah, hampir mencapai seribu. Dan masyarakat dunia, PBB dan anggota Liga Arab yang punya kuasa dan otoritas tetap tak ada aksi nyata dengan kuasanya itu, hanya bisa berkoar-koar.
Sedang aku? Aku pun hanya bisa menulis... tak berani menjadi anggota sukarelawan ke medan tempur sana. Maafkan aku Palestina…
Senin, 12 Januari 2009
Doa Awal Tahun 2009
“Menurutku kebahagiaan itu identik dengan sukses dan kaya. Dan kesemuanya itu ibarat orgasme yang selalu ingin dirasakan berkali-kali, tanpa pernah lelah dan puas”(suara hati)
Pada oktober 2008 aku mendapat kiriman buku dari penerbit Kaifa (Bandung). Buku tersebut karangan Arvan Pradiansyah berjudul The 7 Laws of Happiness, dengan ketebalan mencapai 423 hlm. Tentu saja kiriman tersebut dimaksudkan agar aku dapat mengulasnya dengan baik dan dikirimkan (hasil ulasan tersebut) ke media massa, termasuk milis dan blog. Dan itu sudah kulakukan, meski media massa komersial tidak memuatnya. Tapi, aku sudah mempostingnya di blogku, khusus ulasan buku (http://resensor.blogspot.com).
Saat membaca awal-awal buku tersebut, minimal ada tiga hal yang tergurat erat dalam benakku, 1) manusia hidup pada intinya adalah mencari kebahagiaan, 2) mencari kebahagiaan sejati jangan dengan hati tapi dengan otak (pikiran), dan 3) apakah sama sukses dan bahagia?
Ketiga pernyataan tersebut sedikit demi sedikit aku temukan jawabannya dalam buku Arvan tersebut. Meski dalam beberapa hal aku tidak sependapat dengannya. Hal ini patut dianggap wajar, bukan hanya karena dua manusia yang berbeda (antara aku dan Arvan) secara historis maupun psikologis, tapi juga secara experience dan point of view, terutama de facto bahwa Arvan adalah seorang jutawan dan aku seorang “recehan”.
Hal yang menarik (bagiku) dalam buku The 7 Laws of Happiness adalah Arvan ternyata banyak sekali mengambil bahan tulisannya dari ajaran agama, baik agama samawi maupun ardhi. Walau tak dapat dipungkiri dia lebih banyak mengambil ajaran dari agama Islam: Alquran dan Hadis, terutama saat ia mengutip sebuah Hadis yang menjelaskan tentang segumpal daging, bahwa jika daging tersebut baik maka baiklah seluruh organ tubuh dan ruhnya (hidupnya). Hanya saja ia sedikit mengubah hadis tersebut, bahwa daging tersebut bukanlah hati tapi otak. Benarkah? Sepengetahuanku (bacaan yang kubaca dari SD sampai PT) adalah kebalikannya, bahwa daging yang dimaksud Nabi Saw tersebut adalah hati. Entah dari mana Arvan mendapatkan bunyi hadis tersebut? Atau jangan-jangan dia mencoba mengadaptasikan pernyataannya dari hadis tersebut? Wallahu a’lam.
Hal yang menarik lainnya dari buku ini adalah Arvan mendeskripsikan kebahagiaan seperti bangunan rumah. Rumah kebahagiaan itu harus memiliki fondasi: sabar, syukur, dan sederhana. Sedang bangunannya adalah: kasih, memberi, dan memaafkan. Adapun puncaknya ialah pasrah, kemampuan berserah diri dan percaya kepada Tuhan. Ketiga komponen tersebut (fondasi, bangunan, dan puncak) harus mencakup hubungan seorang individu dengan diri sendiri, orang lain, dan Tuhan. Sungguh sebuah idealisasi yang tak tergoyahkan dan amat mapan. Namun, yang lebih penting dari itu semua adalah apakah kita bisa menerapkannya dengan baik dalam hidup kita? Jika sudah bisa, mampukah kita melakukannya secara konsisten dan dawam?
Terakhir, Arvan mengatakan bahwa sukses itu tidak sama dengan bahagia. Buktinya, banyak orang sukses tapi tidak merasakan kebahagiaan. Pun dengan orang yang hidupnya dilimpahi dengan kekayaan, mereka tidak secara otomatis akan merasakan kebahagiaan. Benarkah?
Baiklah, aku harus percaya dengan kata-kata itu. Oleh karena itu, aku ingin berdoa, ‘Ya Tuhan beri aku kekayaan, setelah itu akan kukatakan bahwa ternyata kekayaan tidak mesti mendatangkan kebahagiaan’?
Pada oktober 2008 aku mendapat kiriman buku dari penerbit Kaifa (Bandung). Buku tersebut karangan Arvan Pradiansyah berjudul The 7 Laws of Happiness, dengan ketebalan mencapai 423 hlm. Tentu saja kiriman tersebut dimaksudkan agar aku dapat mengulasnya dengan baik dan dikirimkan (hasil ulasan tersebut) ke media massa, termasuk milis dan blog. Dan itu sudah kulakukan, meski media massa komersial tidak memuatnya. Tapi, aku sudah mempostingnya di blogku, khusus ulasan buku (http://resensor.blogspot.com).
Saat membaca awal-awal buku tersebut, minimal ada tiga hal yang tergurat erat dalam benakku, 1) manusia hidup pada intinya adalah mencari kebahagiaan, 2) mencari kebahagiaan sejati jangan dengan hati tapi dengan otak (pikiran), dan 3) apakah sama sukses dan bahagia?
Ketiga pernyataan tersebut sedikit demi sedikit aku temukan jawabannya dalam buku Arvan tersebut. Meski dalam beberapa hal aku tidak sependapat dengannya. Hal ini patut dianggap wajar, bukan hanya karena dua manusia yang berbeda (antara aku dan Arvan) secara historis maupun psikologis, tapi juga secara experience dan point of view, terutama de facto bahwa Arvan adalah seorang jutawan dan aku seorang “recehan”.
Hal yang menarik (bagiku) dalam buku The 7 Laws of Happiness adalah Arvan ternyata banyak sekali mengambil bahan tulisannya dari ajaran agama, baik agama samawi maupun ardhi. Walau tak dapat dipungkiri dia lebih banyak mengambil ajaran dari agama Islam: Alquran dan Hadis, terutama saat ia mengutip sebuah Hadis yang menjelaskan tentang segumpal daging, bahwa jika daging tersebut baik maka baiklah seluruh organ tubuh dan ruhnya (hidupnya). Hanya saja ia sedikit mengubah hadis tersebut, bahwa daging tersebut bukanlah hati tapi otak. Benarkah? Sepengetahuanku (bacaan yang kubaca dari SD sampai PT) adalah kebalikannya, bahwa daging yang dimaksud Nabi Saw tersebut adalah hati. Entah dari mana Arvan mendapatkan bunyi hadis tersebut? Atau jangan-jangan dia mencoba mengadaptasikan pernyataannya dari hadis tersebut? Wallahu a’lam.
Hal yang menarik lainnya dari buku ini adalah Arvan mendeskripsikan kebahagiaan seperti bangunan rumah. Rumah kebahagiaan itu harus memiliki fondasi: sabar, syukur, dan sederhana. Sedang bangunannya adalah: kasih, memberi, dan memaafkan. Adapun puncaknya ialah pasrah, kemampuan berserah diri dan percaya kepada Tuhan. Ketiga komponen tersebut (fondasi, bangunan, dan puncak) harus mencakup hubungan seorang individu dengan diri sendiri, orang lain, dan Tuhan. Sungguh sebuah idealisasi yang tak tergoyahkan dan amat mapan. Namun, yang lebih penting dari itu semua adalah apakah kita bisa menerapkannya dengan baik dalam hidup kita? Jika sudah bisa, mampukah kita melakukannya secara konsisten dan dawam?
Terakhir, Arvan mengatakan bahwa sukses itu tidak sama dengan bahagia. Buktinya, banyak orang sukses tapi tidak merasakan kebahagiaan. Pun dengan orang yang hidupnya dilimpahi dengan kekayaan, mereka tidak secara otomatis akan merasakan kebahagiaan. Benarkah?
Baiklah, aku harus percaya dengan kata-kata itu. Oleh karena itu, aku ingin berdoa, ‘Ya Tuhan beri aku kekayaan, setelah itu akan kukatakan bahwa ternyata kekayaan tidak mesti mendatangkan kebahagiaan’?
Langganan:
Postingan (Atom)