Senin sore, 17 Mei 2010 aku berkunjung ke Jogja Islamic Book Fair (JIBF) 2010 di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Yogyakarta. Pameran ini berlangsung pada 13-19 Mei 2010. Pas kebetulan, waktu itu sedang ada bedah novel Bumi Cinta (2010) karya Habiburrahman El-Shirazy. Aku pun mengikuti acara tersebut. Pesertanya membludak. Sampai-sampai banyak yang berdiri tidak kebagian kursi. Untung saja aku mendapatkan tempat duduk.
Aku mengikuti acara tersebut hanya kuat sampai tanya jawab sesi pertama. Mengapa? Diskusinya terasa hambar. Tidak ada, misalnya, pembahasan mengenai kelebihan dan kekurangan buku itu, terutama dari sudut pandang sastranya, baik dari pembicara, penulis, maupun para penanya. Isinya hanya berputar soal materi novel dan di luar pembahasan buku tersebut. Diskusi itu terkesan ceramah keagamaan. Aku pun memilih hengkang dari situ.
Dari situ, kemudian aku lihat denah dan agenda acara JIBF di depan pintu masuk gedung. Siapa tahu esoknya ada diskusi atau lomba penulisan. Ah, nampaknya tidak ada yang menarik. Aku pun masuk dan mulai bergerilya menelusuri stand-stand buku, mengamati satu per satu buku-buku yang ada setiap stand-nya. Dan, kurang lebih satu jam aku sudah menyambangi semua stand. Setelah itu, aku memutuskan untuk pulang. Sungguh, pameran buku Islam yang membosankan.
Dalam perjalanan pulang, aku memikirkan perhelatan pameran JIBF itu. Hampir setiap tahun aku selalu menghadiri JIBF. Di tempat yang sama pula. Suka atau tidak, aku mengamati perubahan dari tahun ke tahunnya. Adakah perubahan yang signifikan?
Penerbit, Buku, dan Acara
Ada tiga hal yang membuatku gelisah dari JIBF. Pertama, sekitar 90 persen para penerbit yang ikut pameran JIBF nampaknya tidak jauh beda dengan peserta pameran buku yang diadakan IKAPI. Lantas, kalau begitu apa bedanya dengan pameran buku yang diadakan IKAPI? Pemainnya itu-itu saja. Imbasnya, kesan keislamannya pun semakin luntur. Islamic Book Fair pun hanya sebatas slogan, minus substansi. Mengingat hal di atas, momen ini pun sebenarnya Gramedia bisa berpartisipasi, apalagi mereka punya penerbit Quanta yang khusus menerbitkan buku-buku keislaman praktis.
Kedua, kebanyakan yang dipajang adalah buku-buku itu melulu, baik stok lama maupun stok baru. Saya lihat sedikit sekali buku-buku barunya. Parahnya lagi, buku-buku baru tersebut didominasi oleh buku-buku Islam aplikatif, instan, dan “dangkal,” di mana rata-rata menyodorkan seputar kehidupan ala “Islam” menurut pandangan sang penulisnya yang menurutku sangat relatif.
Hanya segelintir saja buku-buku yang mengangkat tema keislaman agak “berat” dan “dalam”. Jika boleh saya sebut, misalnya, Fiqih Jihad (2010) karya Yusuf Qardhawi yang diterbitkan Mizan, tebalnya mencapai seribu halaman. Ada juga buku Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (2010) karya Fahmi Salim yang mencoba mengkonter pemikiran kaum Islam Liberal. Buku ini diterbitkan Gema Insani. Sedang dalam ranah fiksi, misalnya novel Muhammad (2010) karya Tasaro yang diterbitkan Bentang. Ada beberapa buku lainnya juga yang termasuk kategori itu. Namun, selebihnya adalah buku-buku yang berjenis “dangkal” dan instan.
Ketiga, perihal acara atau kajian yang berlangsung pada saat perhelatan JIBF. Jika diperhatikan dan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, nampaknya rangkaian acaranya tidak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, bedah buku dan ceramah keagamaan. Buku yang dibedah pun tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dan para penulisnya pun setali tiga uang. Sebut saja, misalnya, Salim A. Fillah. Tahun-tahun lalu sering pula ia mengisi bedah bukunya di pameran JIBF. Dan tahun ini pun demikian. Bukunya juga yang dibedah tema-tema seputar dakwah dan “cinta Islami” saja. Dalam Dekapan Ukhuwah (2010) adalah buku terbarunya yang dibedah pada tahun ini di JIBF.
Sungguh, saya mendambakan bedah buku dengan tema yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, buku-buku pertarungan wacana. Katakanlah buku-buku yang ditulis oleh kaum muslim liberal, seperti Metodologi Studi Al-Quran (2009) karya Abdul Moqsith Ghazali, dkk. atau sebaliknya, buku-buku yang mengkonternya seperti karya Fahmi Salim sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas. Sangat menarik dan mencerahkan bagi pengunjung JIBF.
Saya harapkan, tahun depan, JIBF lebih kreatif dan inovatif lagi, dengan menyodorkan buku dan acaranya yang lebih segar dan “mencerahkan”. Jangan sampai terjebak oleh keuntungan semata tanpa memperhitungkan kemajuan masyarakat. Teringat kata-kata Muhammad Abduh, “Al-Islam mahjubun bil muslimin.” Islam telah tertutup oleh orang Islam sendiri. Semoga pameran tahun depan lebih baik lagi. Wallahu a’lam.[]
M. Iqbal Dawami, pencinta buku, teh, dan gogodoh. Aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community Yogyakarta.
3 komentar:
Semoga para panitia pameran buku mendengar keluh kesah sang kutu buku ini.Ke depannya para panita harus lebih kreatif, inovatif, edukatif kondusif,dan yang penting jangan konservatif. he he
hi..saya non muslim tapi saya berusaha untuk mengikuti beberapa book fair yang ada di jogja..isalamic book fair selalu memberi doorprize yang menggiurkan,tapi kemaren ertanyaan yg kurang berbobot kok bisa dapet yahhh???hukzzzz
Ternyata Sapen banyak melahirkan kritikus sastra...siapa bilang alumni Fak. Adab SUKA bakal susah cari kerja....sobat...aku bangga, kagum, dan terkejut atas lompatan kreatifitasmu...kamu adalah deretan alumni BSA yang tetap konsisten di jalur sastra...sukses selalu ya sobat
Posting Komentar