Matahari sudah mulai tenggelam saat aku naik bis Semarang–Jogjakarta dari Magelang. Aku duduk di samping wanita yang kira-kira berumur 20-an. Tapi, wajah gadis itu dibenamkan pada punggung kursi. Mungkin ia sedang tidur, kecapean menempuh perjalanan dari Semarang, ucapku dalam hati.
MP3 kukeluarkan dalam tas. Kuputar lagu campur sari Yulia Astuti. Kukeluarkan juga buku John Perkins Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional. Buku yang tebalnya 465 hlm. itu baru kubaca setengahnya dari satu minggu yang lalu. Mestinya sudah selesai. Hal ini dikarenakan buku-buku yang lain sudah menunggu pengen dibaca. Baiklah, aku akan membacanya hingga 20 halaman sampai terminal Jombor.
Lima menit telah berlalu, dan alunan lagu Yulia Astuti dan kisah John Perkins terus menemaniku. Kulirik wanita itu yang sedang mengubah posisi badannya. Alamak, wajahnya yang putih terlihat sebam, dan matanya begitu sendu seperti habis menangis. Ada apa gerangan? Tiba-tiba ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil menangis terisak-isak.
Kumatikan MP3 dan kucopot headsetnya dari telingaku.
“Ada apa, dik?” tanyaku dengan pelan dan hati-hati. Aku khawatir tersinggung.
Wanita itu tidak menghiraukan pertanyaanku. Oh, biasanya usia seperti itu paling-paling problem putus cinta. Cinta monyet. Pikirku iseng. Tapi wanita itu masih saja menangis. Sekali lagi aku bertanya.
“Ada apa, dik?”
Kali ini wanita itu merespon pertanyaanku, dengan menggeleng-gelengkan kepala. Tapi, dia tetap menutup wajahnya dengan tangannya sambil terisak-isak. Anehnya, sesekali dia memegang perutnya, seperti sedang kesakitan.
“Adik sakit?” tanyaku penasaran. Duh, aku sangat kasihan melihatnya.
Ia seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Ia, Kak…, perutku sakit. Sakit sekali…” ucap wanita itu sayup-sayup sambil meringis dan menitikkan air mata.
“Mungkin kamu masuk angin, dik. Sudah makan belum?” tanyaku.
“Sudah, Kak. Tapi…” suara wanita itu tertahan karena menahan sakit.
“Nanti, di terminal Muntilan kita beli Promag dan Minyak Kayu Putih.”
“Aku tidak masuk angin, Kak.”
“Lha, terus kenapa, dik?”
(Bersambung…)
2 komentar:
Hati-hati mas... nanti disuruh tanggung jawab loh...
masih bersambung,noura :)
Posting Komentar