Jumat, 10 April 2009

Muntilan (2)

“Aku… aku keguguran, Kak…”
What? Keguguran? Ah, kamu pasti mengarang, dik. Batinku.
“Kamu serius, dik? Kamu gak bercanda, kan?” ucapku hendak memastikan kata-kata gadis itu.

“Hikss…hikss.., aku serius Kak, aku gak bohong” jawabnya sambil meringis menahan sakit. “Tolongin aku, kak, aku gak kuat” Lanjut gadis itu.

Jantungku berdegup kencang. Waduh. Ya Tuhan apa yang mesti kulakukan. Aku benar-benar kasihan melihatnya. Tak mungkin aku membiarkan dia menahan kesakitan seperti itu.

“Ya udah dik, kita ke rumah sakit ya. Kamu harus ke rumah sakit. Sebentar lagi kita akan sampai di Muntilan.”

Wajah gadis itu semakin lama semakin pucat. Berkali-kali dia minta tolong.
“Sabar ya, dik. Tahan dulu. Tinggal satu belokan lagi akan sampai terminal. Adik kok bisa keguguran, emang lagi hamil ya? Kok cuma sendirian, kemana suaminya?”
“Aku… aku.. aku habis aborsi, Kak.”

Hah! Aku tambah terperangah. Astaghfirullah… Apa sudah gila cewek ini, berani sekali melakukan hal itu. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Gadis itu pun bercerita bahwa ia hamil oleh pacarnya. Dan pacarnya tidak mau bertanggungjawab. Maka, ia pun nekat melakukan aborsi di daerah Magelang. Dan kini ia hendak pulang ke Muntilan. Tapi, ia tak menyangka akan sakit seperti ini. Dan ia takut ketahuan oleh orangtuanya.

Ya Tuhan mengapa aku bertemu dengan orang seperti ini. Tapi, baru saja hendak protes sama Tuhan, bus sudah sampai di terminal.

Gadis itu berdiri dengan susah payah. Tangannya memegang tanganku agar tidak terjatuh. Dia mengatakan kalau dirinya sudah gak kuat jalan. Duh, bagaimana ini. Mulanya aku ragu, tapi demi keselamatan dia dan mempercepat penyelamatan, kugendong saja gadis itu. Di terminal orang-orang melihatku dengan penuh tanda tanya. Kukatakan saja, ini adikku lagi sakit.

Setelah keluar dari bus, segera aku mencari ojek. “Ke rumah sakit, mas!” ujar aku pada tukang ojek. Gadis itu terus aduh-aduhan, menahan sakit. Tak lama, kami sampai di RS. Begitu datang langsung kubawa menuju bagian UGD (Unit Gawat Darurat).

Dua orang perawat dengan sigap membantuku mengangkat wanita itu ke atas ranjang beroda. Dia pun lalu dibawa ke perawatan untuk diperiksa. Sedang aku disuruh menghadap bagian administrasi.

“Nama istri bapak siapa?” tanya petugas itu sambil mengisi formulir pendaftaran.
Istri? Dia bukan istriku, mbak. Gerutu aku dalam hati. Tak tahu pula aku, siapa nama wanita itu.
“Ee.. Shinta, mbak.” Jawab aku asal sebut, demi kelancaran pemeriksaan.

Setelah selesai mengisi formulir, akupun diantar menuju dokter yang memeriksa gadis itu. Muka sang dokter itu terlihat serius, seperti ada sesuatu yang tidak beres.

“Ada sesuatu yang harus kita bicarakan mengenai istri Bapak,” ujar sang dokter.
Sialan, dia mengira aku suaminya.
“Ada apa dok?” tanyaku
“Istri Bapak harus dioprasi, karena ketubannya sudah pecah”.

Dokter pun menjelaskan, bahwa sebelum melakukan operasi ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, di antaranya masalah tanggung jawab jika ada hal-hal yang tidak diinginkan, seperti keselamatan sang ibu dan janin, dan masalah biaya.

Mendengar penjelasan dokter itu, aku lemas bukan main. Ya Tuhan, mengapa aku menanggung semua ini, padahal aku sama sekali tidak tahu menahu siapa gadis itu.

Akhirnya kepada dokter aku jelaskan asal muasal bertemu dengan sang gadis itu hingga sampai ke Rumah Sakit ini. Setelah sang dokter memberi masukan, akhirnya aku mengambil tindakan.
(Bersambung…)

1 komentar:

Fitria Zulfa mengatakan...

Hm.. penasaran sekali... tindakan apakah yang diambil mas Iqbal..?
Tapi sepertinya, Mas iqbal.. be a hero... and save the girl... horee... SuperIqbal... hehe...