Minggu, 29 Maret 2009

Pak Guru Sakit?

Waktu duduk di bangku sekolah dasar, aku mempunyai dua orang teman yang sangat akrab, satunya laki-laki bernama Arif Rahman Hakim (panggilannya Maman) dan satunya lagi perempuan, bernama Rosita (biasa dipanggil Iros).

Mereka kini sudah berkeluarga dan sudah punya anak. Keakraban kami sangat terkenal, sebagaimana kenakalannya. Ingat mereka ingat pula suatu kejadian menarik waktu itu.
Ketika kami naik ke kelas lima, ada seorang guru laki-laki yang killer. Usianya sekitar empatpuluhan. Ia selalu datang pagi-pagi sebelum jam sekolah berdenting. Dan pulang paling akhir. Yang membuat kami sekelas tak suka adalah guru ini selalu memberi kami tugas yang kami rasa sangat berat dan membebani.

Tugas itu hampir setiap hari ada. Dan jika ada salah seorang yang tidak mengerjakannya maka dia akan menghukumnya. Hukuman tersebut biasanya sesuatu yang menguntungkan dia sendiri. Seperti membuatkan minuman untuknya, membelikan kebutuhannya di pasar, membereskan meja kantornya, dan sebagainya.

Tugas yang berat dan membebani itu ditambah hukuman yang hanya selalu menguntungkan dirinya sendiri membuat kami semakin tidak menyukainya. Kami selalu mendoakan mudah-mudahan saja guru itu jatuh sakit, sehingga kami memperoleh kebebasan selama beberapa hari. Tapi, sayangnya guru itu tidak pernah sakit, dan tetap bersemangat mengajar.

Kami jengkel. Kami tak ingin terus-terusan dibebani seperti ini. Kami ingin santai bermain sepuas kami setelah pulang sekolah tanpa memikirkan tugas sekolah, sebagaimana pada waktu kelas empat. Kejengkelan kami pada guru itu akhirnya memuncak. Dan kami bertiga mempunyai ide untuk mengerjai guru tersebut. Kami bertiga mengoordinir kelas kami atas rencana ini untuk esok hari. Ini adalah salah satu rencana dari dua rencana yang kami pikirkan.

“Selamat pagi pak, Bapak kok terlihat pucat, apakah Bapak sakit?” tanya aku sambil menuju tempat dudukku.
“Tidak, aku tidak sakit. Biasa saja. Tumben kamu memperhatikan Bapak. Terima kasih” jawab sang guru sambil tersenyum.
Tak lama Maman datang masuk kelas.
“Lho pak, wajah Bapak tidak seperti biasanya. Terlihat pucat, apakah Bapak sakit?” tanya Maman.
“Jangan ngawur kamu. Aku sehat, tidak sakit.” Jawab sang guru.
“Benar lho pak. Aku jujur. Ya sudah Bapak kalau tidak percaya.” Timpal Maman lagi.
Sang guru agak tercenung. Matanya melongo seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin dalam batinnya bertanya-tanya, “Benarkah aku sakit?”
“Selamat pagi, pak. Bapak kok pagi-pagi sudah melamun. Kayaknya Bapak sakit ya? Aku lihat wajah Bapak benar-benar pucat.” Ujar Rosita.
“Sakit? Benarkah aku sakit? Apakah wajahku pucat?” sang guru mulai mempercayai kami.
Kami semua serentak mengatakan bahwa guru sakit, wajah guru pucat. Melihat kami semua menjawab demikian, sang guru pun yakin bahwa dirinya sakit.
“Kalau begitu, aku harus cepat-cepat pulang, biar langsung bisa istirahat dulu. Jadi aku harap keesokan hari aku sudah bisa kembali ke sekolah dengan tidak pucat lagi.”
Kami senang bukan kepalang. Kami sudah membayangkan pulang sekolah sudah bisa bermain dengan sepuas hati. Tapi….
“Untuk itu, hari ini kita belajar di rumah Bapak saja!” ujar sang guru dengan sambil berpikir apa betul dirinya sakit.
Semua diam. Kami tidak jadi senang. Kebahagiaan kami ditarik kembali. Rencana kami gagal untuk mengelabui sang guru.

Apa boleh buat kami menjalankan rencana kedua. Kami semua jalan kaki sedang sang guru naik motor. Di rumahnya, sang guru mengomeli istrinya. “Ibu ini bagaimana sih, aku pucat kok enggak dikasih tahu. Kalau terlihat guru-guru lain bagaimana reputasiku di sekolah nanti? Aku kan sudah dikenal guru teladan. Untung saja sakitku belum parah.”
Dengan penuh keheranan, istri sang guru berkata, “Bapak sakit? Ah yang benar saja? Bapak tidak terlihat pucat kok. Bapak sehat, Bapak benar-benar sehat. Coba saja lihat di cermin!”

Tapi sang guru tidak bergeming. Ia langsung masuk ke kamarnya dan ganti pakaian. Istrinya mengikuti.
“Mungkin perasaan bapak saja itu. Soalnya wajah Bapak benar-benar bugar.” Istrinya masih meyakinkan suaminya.
“Tidak bu, kata anak-anak Bapak pucat. Memalukan saja aku ini. Tapi, jangan khawatir aku suruh anak-anak belajar di sini selama aku kurang sehat. ”

Istrinya hanya diam. Ia tidak mau mengajak ribut pagi-pagi begini.
Tak lama kami datang dan langsung disambut oleh sang guru.
“Berhubung aku sakit, jadi kalian saja yang aktif ya. Aku hanya mendengarkan saja belajar kalian.” Ujar sang Guru.
Kami hanya mengiyakan.
“Coba Maman baca pelajaran ketiga di halaman tujuh puluh!”
Maman pun membacanya.
“Jangan kencang-kencang membacanya. Biasa saja!” tegur sang guru.
“Tidak guru. Aku membacanya dengan pelan kok.”
Giliran Rosita membaca.
“Kamu juga. Jangan keras-keras membacanya!” Bentak sang guru lagi.
“Siapa yang keras-keras pak guru? Aku biasa saja kok membacanya” ujar Rosita pura-pura heran.

Setelah itu giliran aku. Aku pun sama ditegur oleh sang guru.
“Aha, aku tahu pak guru. Sebetulnya bukan suara kami yang keras tapi mungkin kepala pak guru saja yang lagi pusing. Jadi, suara kami yang lembut ini terdengar keras.” Ujar aku panjang lebar.
“Mungkin juga ya. Ya sudah kalau begitu kalian belajar sendiri saja di rumah. Aku harus istirahat total.”
Bukan main senangnya hati kami. Kami merasa bebas. Seolah-olah kami baru saja memenangkan perlombaan drama. Akting kami sungguh bagus dan benar-benar menjiwai. Kami semua pulang dengan kemenangan.

Sesampai di rumah ibuku bertanya penuh keheranan. Aku jawab saja bahwa pak gurunya sakit. Jadi, kelas kami diliburkan. Tapi ibuku tak mempercayainya begitu saja. Ia berpikir bahwa ada sesuatu yang janggal. Untuk memastikannya, ia pun pergi menuju rumah sang guru.

Apa yang terjadi? Ternyata memang betul. Sang guru sakit betulan. Aku pun tak mempercayainya. tapi kenyataannya memang demikian.

“Kok bisa ya Pak guru tiba-tiba sakit?” tanya ibuku.
“Entahlah, tiba-tiba saja aku sakit. Untung diberitahu oleh para siswa, sehingga bisa cepat-cepat pulang ke rumah dan beristirahat. Kalau tidak, mungkin lebih parah lagi,” kata sang guru.

2 komentar:

Fitria Zulfa mengatakan...

Murid yang nakal! hehe...

Fitria Zulfa mengatakan...

Dikerjain begitu ya... jelas pikiran. Alhasil tekanan darahnyapun jadi naik, so akhirnya sakit betulan. Lain kali jangan begitu lagi ya... sama gurunya... Hm.. hati-hati, bisa-bisa nanti kualat loh hehe...