Selasa, 28 April 2009

Belajar Pada Klub Sepakbola Eropa

Resensi dimuat di Koran Jakarta, 23 Mei 2009

Judul: Raksasa Klub Bola Eropa
Penulis: Zaidan Almahdi
Penerbit: Harmoni
Cetakan: I, 2008
Tebal: 215 hlm.
----------------

Kini, Liga Champions Eropa sudah memasuki semi final. Anehnya, dari tahun ke tahun hanya klub-klub itu saja yang menjadi langganan perdelapan final hingga final, seperti Manchester United, Chelsea, Liverpool, Arsenal, Real Madrid, Barcelona, Inter Milan, AC Milan, Juventus, dan Bayern Munchen.

Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar bagi sebagian orang mengapa tim-tim di atas tersebut selalu mendominasi babak-babak akhir Liga Champions? Apa sesungguhnya rahasianya?

Dalam buku ini terdapat jawaban atas pertanyaan di atas. Zaidan Almahdi, penulis buku ini, mengungkapkan bahwa salah satu rahasia mengapa tim-tim di atas tersebut selalu mendominasi babak-babak akhir Liga Champions, tak lain terletak pada bisnis yang dijalankan oleh tim tersebut. Kombinasi penghasilan dari hak siar televisi, penonton yang berlimpah, serta pemasaran merchandise membuat tim-tim tersebut berlimpah uang. Dengan uang itu mereka bisa mengontrak pemain bagus dan manajer hebat.

Di benua Eropa, sepakbola sudah menjadi industri besar yang menghasilkan uang jutaan dolar baik bagi pemain, manajer, maupun klub. Michael Ballack, misalnya, dari Chelsea FC mendapat gaji perpekan sebesar 2 miliar rupiah. Padahal masih ada 10 pemain lagi yang harus dibayar oleh Chelsea FC. Hal ini memberi sinyal bahwa pemasukan klub Chelsea FC amat luar biasa.

Buku ini berbicara mengenai legenda-legenda klub raksasa di Eropa, yaitu Manchester United (MU), Chelsea, Liverpool, Arsenal, Real Madrid, Barcelona, Inter Milan, AC Milan, Juventus, dan Bayern Munchen. Dijelaskan di dalamnya bahwa klub-klub tersebut sebetulnya berawal dari klub kecil yang kenyang dengan kekalahan dan kebangkrutan. Tapi mereka terus belajar dan belajar sehingga berkembang menjadi legenda-legenda Eropa dan menjuarai berbagai macam kompetisi baik tingkat domestik maupun internasional, bahkan kejuaraan antar klub dunia. MU, misalnya, pada awalnya hanya tim yang terdiri dari para pekerja jalan Kereta Api. Di awal-awal tahun pendiriannya mereka selalu kalah dari klub-klub lainnya. Namun, seiring waktu berjalan, klub ini menjadi klub raksasa hingga saat ini.

Klub-klub yang disebutkan di atas menjadi besar ternyata didukung oleh manajemen yang baik, pemilik klub yang punya visi dan misi, serta pendukung yang fanatik. Semuanya itu akan membentuk suasana kondusif bagi para pemain bintang untuk menorehkan prestasi di lapangan hijau dan mengeluarkan segala kemampuannya. Para klub raksasa itu tidak hanya mendapatkan penghasilan dari tiket penonton di stadionnya, tapi mereka juga dibanjiri uang dari setiap tayangan pertandingan yang disiarkan di televisi, pemasukan saham dari bursa efek, kontrak dari sponsorship, dan penjualan merchandise. Misalnya saja untuk Football Association (FA) di Inggris, Barclaycard, sebuah perusahaan bonafid, berani menandatangani kontrak sebesar 49 juta poun untuk 3 musim di tahun 2001, itu belum termasuk sponsor bagi para klub raksasa ini yang jumlahnya jauh lebih besar. Tidak heran jika para klub ini mampu membeli dan menggaji tinggi para pemain bintang.

Melalui buku ini semoga kita dapat mengambil pelajaran bagi dunia sepakbola tanah air, yang semakin gersang prestasi dan (malah) semakin subur kerusuhan baik yang disebabkan oleh suporter maupun pemain. Mengaca pada manajemen klub-klub Eropa di atas, kita harus mendorong klub-klub sepakbola di Indonesia agar menjadi profesional dan tidak menggantungkan pada APBD saja, tapi bisa mencari sponsor sendiri dari perusahaan-perusahaan daerah atau nasional, menjual merchandise-nya, dan mendapat hak tayang dari televisi. Untuk itu, buku ini sangat layak dijadikan daftar bacaan bagi yang peduli atas nasib sepakbola Indonesia dan yang hobi dengan dunia sepakbola.***

M. IQBAL DAWAMI
Staf pengajar STIS Magelang, mantan pemain sepakbola amatiran tingkat desa dan kecamatan di Pandeglang

Jumat, 10 April 2009

Muntilan (2)

“Aku… aku keguguran, Kak…”
What? Keguguran? Ah, kamu pasti mengarang, dik. Batinku.
“Kamu serius, dik? Kamu gak bercanda, kan?” ucapku hendak memastikan kata-kata gadis itu.

“Hikss…hikss.., aku serius Kak, aku gak bohong” jawabnya sambil meringis menahan sakit. “Tolongin aku, kak, aku gak kuat” Lanjut gadis itu.

Jantungku berdegup kencang. Waduh. Ya Tuhan apa yang mesti kulakukan. Aku benar-benar kasihan melihatnya. Tak mungkin aku membiarkan dia menahan kesakitan seperti itu.

“Ya udah dik, kita ke rumah sakit ya. Kamu harus ke rumah sakit. Sebentar lagi kita akan sampai di Muntilan.”

Wajah gadis itu semakin lama semakin pucat. Berkali-kali dia minta tolong.
“Sabar ya, dik. Tahan dulu. Tinggal satu belokan lagi akan sampai terminal. Adik kok bisa keguguran, emang lagi hamil ya? Kok cuma sendirian, kemana suaminya?”
“Aku… aku.. aku habis aborsi, Kak.”

Hah! Aku tambah terperangah. Astaghfirullah… Apa sudah gila cewek ini, berani sekali melakukan hal itu. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Gadis itu pun bercerita bahwa ia hamil oleh pacarnya. Dan pacarnya tidak mau bertanggungjawab. Maka, ia pun nekat melakukan aborsi di daerah Magelang. Dan kini ia hendak pulang ke Muntilan. Tapi, ia tak menyangka akan sakit seperti ini. Dan ia takut ketahuan oleh orangtuanya.

Ya Tuhan mengapa aku bertemu dengan orang seperti ini. Tapi, baru saja hendak protes sama Tuhan, bus sudah sampai di terminal.

Gadis itu berdiri dengan susah payah. Tangannya memegang tanganku agar tidak terjatuh. Dia mengatakan kalau dirinya sudah gak kuat jalan. Duh, bagaimana ini. Mulanya aku ragu, tapi demi keselamatan dia dan mempercepat penyelamatan, kugendong saja gadis itu. Di terminal orang-orang melihatku dengan penuh tanda tanya. Kukatakan saja, ini adikku lagi sakit.

Setelah keluar dari bus, segera aku mencari ojek. “Ke rumah sakit, mas!” ujar aku pada tukang ojek. Gadis itu terus aduh-aduhan, menahan sakit. Tak lama, kami sampai di RS. Begitu datang langsung kubawa menuju bagian UGD (Unit Gawat Darurat).

Dua orang perawat dengan sigap membantuku mengangkat wanita itu ke atas ranjang beroda. Dia pun lalu dibawa ke perawatan untuk diperiksa. Sedang aku disuruh menghadap bagian administrasi.

“Nama istri bapak siapa?” tanya petugas itu sambil mengisi formulir pendaftaran.
Istri? Dia bukan istriku, mbak. Gerutu aku dalam hati. Tak tahu pula aku, siapa nama wanita itu.
“Ee.. Shinta, mbak.” Jawab aku asal sebut, demi kelancaran pemeriksaan.

Setelah selesai mengisi formulir, akupun diantar menuju dokter yang memeriksa gadis itu. Muka sang dokter itu terlihat serius, seperti ada sesuatu yang tidak beres.

“Ada sesuatu yang harus kita bicarakan mengenai istri Bapak,” ujar sang dokter.
Sialan, dia mengira aku suaminya.
“Ada apa dok?” tanyaku
“Istri Bapak harus dioprasi, karena ketubannya sudah pecah”.

Dokter pun menjelaskan, bahwa sebelum melakukan operasi ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, di antaranya masalah tanggung jawab jika ada hal-hal yang tidak diinginkan, seperti keselamatan sang ibu dan janin, dan masalah biaya.

Mendengar penjelasan dokter itu, aku lemas bukan main. Ya Tuhan, mengapa aku menanggung semua ini, padahal aku sama sekali tidak tahu menahu siapa gadis itu.

Akhirnya kepada dokter aku jelaskan asal muasal bertemu dengan sang gadis itu hingga sampai ke Rumah Sakit ini. Setelah sang dokter memberi masukan, akhirnya aku mengambil tindakan.
(Bersambung…)

Rabu, 08 April 2009

Muntilan (1)

Matahari sudah mulai tenggelam saat aku naik bis Semarang–Jogjakarta dari Magelang. Aku duduk di samping wanita yang kira-kira berumur 20-an. Tapi, wajah gadis itu dibenamkan pada punggung kursi. Mungkin ia sedang tidur, kecapean menempuh perjalanan dari Semarang, ucapku dalam hati.

MP3 kukeluarkan dalam tas. Kuputar lagu campur sari Yulia Astuti. Kukeluarkan juga buku John Perkins Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional. Buku yang tebalnya 465 hlm. itu baru kubaca setengahnya dari satu minggu yang lalu. Mestinya sudah selesai. Hal ini dikarenakan buku-buku yang lain sudah menunggu pengen dibaca. Baiklah, aku akan membacanya hingga 20 halaman sampai terminal Jombor.

Lima menit telah berlalu, dan alunan lagu Yulia Astuti dan kisah John Perkins terus menemaniku. Kulirik wanita itu yang sedang mengubah posisi badannya. Alamak, wajahnya yang putih terlihat sebam, dan matanya begitu sendu seperti habis menangis. Ada apa gerangan? Tiba-tiba ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil menangis terisak-isak.

Kumatikan MP3 dan kucopot headsetnya dari telingaku.
“Ada apa, dik?” tanyaku dengan pelan dan hati-hati. Aku khawatir tersinggung.
Wanita itu tidak menghiraukan pertanyaanku. Oh, biasanya usia seperti itu paling-paling problem putus cinta. Cinta monyet. Pikirku iseng. Tapi wanita itu masih saja menangis. Sekali lagi aku bertanya.

“Ada apa, dik?”
Kali ini wanita itu merespon pertanyaanku, dengan menggeleng-gelengkan kepala. Tapi, dia tetap menutup wajahnya dengan tangannya sambil terisak-isak. Anehnya, sesekali dia memegang perutnya, seperti sedang kesakitan.

“Adik sakit?” tanyaku penasaran. Duh, aku sangat kasihan melihatnya.
Ia seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Ia, Kak…, perutku sakit. Sakit sekali…” ucap wanita itu sayup-sayup sambil meringis dan menitikkan air mata.
“Mungkin kamu masuk angin, dik. Sudah makan belum?” tanyaku.
“Sudah, Kak. Tapi…” suara wanita itu tertahan karena menahan sakit.
“Nanti, di terminal Muntilan kita beli Promag dan Minyak Kayu Putih.”
“Aku tidak masuk angin, Kak.”
“Lha, terus kenapa, dik?”

(Bersambung…)