Waktu itu, di dalam pesawat Makassar – Yogyakarta, tak henti-hentinya mulutku
mengucapkan hamdalah sebagai wujud rasa syukur. Syukur akan banyak hal. Saya
bukanlah siapa-siapa di depan mereka. Tapi perlakuan mereka membuat saya
tersanjung. Mengharukan. Betapa tidak, ada banyak kebaikan yang rasanya saya
tidak pantas untuk mendapatkannya.
Ada hal-hal dalam hidup ini yang selalu ingin kuingat. Salah satunya adalah
kenangan berkesan pada saat saya menghadiri launching buku Pemimpin Cinta
karya Edi Sutarto di Sekolah Islam Athirah, Makassar pada Februari 2015. Saya
merasa ada suatu bagian dari diri saya yang tertinggal di sekolah ini.
Pertama tiba di bandara, aku sudah ditunggu penjemput. Dia membawa mobil
sedan. Saat menaikinya aku seperti seorang direktur karena begitu istimewanya
mobil tersebut. Di dalam mobil aku disodori parcel dengan aneka panganan khas
Makassar. Di dalam parcel terselip ucapan selamat datang untukku. Nyess...
hatiku gerimis syahdu. Ucapan itu tertulis di daun kering. Ini penampakannya:
Di mobil itu sudah ada seorang editor Mizan, Fuad Irawan, yang datang
setengah jam sebelum saya. Dia berangkat dari Jakarta. Kami berdua dibawa ke
hotel dimana kami akan menginap selama dua hari di Makassar. Kami sms Pak Edi,
selaku direktur Sekolah Islam Athirah, agar kami menginap di masjid sekolah
saja. Beliau hanya mengirim emoticon senyum. Bagi kami hotel bintang lima
itu terlalu mewah. Kami selaku jebolan pesantren sudah terbiasa tidur di
masjid. Justru kami tidak terbiasa tidur di kamar hotel semewah itu. Serba
kikuk. Bahkan cara mengeluarkan pasta gigi saja kami kebingungan, hehe.
Keesokan harinya kami ke sekolah untuk menghadiri launching buku tersebut. Kami
dibuat terkagum-kagum dengan konsep launchingnya. Seumur-umur baru kali itu
saya menemukan launching yang unik, kreatif, dan menyentuh. Launching buku itu diisi
oleh siswa semua. Mulai dari pemandu acara hingga pembicara. Di acara tersebut
juga terdapat musikalisasi buku, dimana lirik lagunya diambil dari cuplikan
buku yang sedang di-launching. Asyik sekali. Sungguh menggetarkan mendengarnya.
Kulihat ada dua grup musik di atas panggung yang saling bergantian menghibur para
peserta.
Dua hari kami di Makassar. Dua hari itu pula kami banyak menghabiskan waktu
di lingkungan sekolah Islam Athirah. Saya melihat bagaimana sekolah itu tumbuh
dengan karakter kuat. Setiap siswa berpapasan dengan guru mereka berucap salam,
dan sang guru menjawabnya. Siapa saja yang melihat sampah di dekatnya, mereka
langsung memungutnya dan memasukkannya ke tong sampah. Tidak guru, tidak siswa.
Sistemnya sudah berjalan dengan sangat baik. Kekompakan para gurunya juga luar
biasa. Pengabdiannya pada sekolah begitu militan. Semangat belajarnya untuk
tumbuh menyala-nyala. Hal itu saya lihat pada saat kami mengisi pelatihan
menulis untuk para guru sekolah tersebut.
Para pimpinan Sekolah Islam Athirah memang bermental driver, bukan
passenger. Masing-masing mereka punya tekad untuk selalu melakukan perubahan. Mereka
kompak untuk berkembang bersama. Mereka melakukan pembaruan dan
terobosan-terobosan dengan penuh keberanian.
Saya ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada semua orang-orang di
Sekolah Islam Athirah yang sudah mengundang saya di acara launching buku
tersebut. Terima kasih atas segala kebaikannya.
Begitulah kesan dalam
ingatan mesra saya pada saat berkunjung ke Sekolah Islam Athirah. Sekolah ini meninggalkan jejak indah di hati saya. Tabe.