Sesungguhnya untuk menulis buku tidak perlu banyak bahan, karena sesuai dengan pengalaman saya, terkadang banyak bahan malah membuat bingung, mana dulu yang hendak ditulis, dan bagaimana meracik tulisan dari pelbagai bahan tersebut. Jadi, dengan kata lain, banyaknya bahan tidak ada jaminan kalau kita bisa menulis sebuah buku. Justru, terkadang dengan sedikitnya bahan, akan membuat kita lebih efisien dalam menuliskan gagasan kita.
Hal yang perlu diingat adalah tidak ada yang lebih menjamin selain menuliskan dengan segera apa yang kita dapatkan, entah itu ide maupun bahan (referensi). Dengan menuliskannya secara langsung, maka secara otomatis hasilnya sudah terlihat. Dahulu, semasa menyusun tesis, saya diberitahu oleh dosen pembimbing, Pak Sahiron Syamsuddin, PhD., beliau kira-kira mengatakan begini, “Tulis saja dulu, apa yang sudah kamu dapatkan, jangan menunggu bahan atau referensi lengkap.”
Aih, perkataan Pak Sahiron tersebut betul adanya. Sungguh, baru aku merasakannya pada saat aku serius menggeluti dunia tulis-menulis, tepatnya saat aku lulus kuliah pasca sarjana. Aku tidak perlu menunggu segala sesuatunya sempurna, seperti halnya saat aku hendak menikah, tidak perlu menunggu waktu yang tepat, entah dari segi materi, mental, spiritual, apalagi seksual, hehe. Saat ada bahan atau ide, langsung aku menulisnya, sesedikit apa pun. Aku tidak perlu menunggu waktu yang tenang untuk menulis, tidak perlu pula menunggu bahan referensi yang banyak.
Jadi, sekali lagi saya katakan, banyaknya bahan tidak menjamin bisa disulap menjadi sebuah tulisan, entah itu resensi, esai, opini, maupun naskah (buku). Hal yang menjamin hanyalah dengan menuliskannya sesegera mungkin, meski bahannya sedikit. Ibarat kita hendak sodaqoh, kalau tidak sesegera mungkin, maka belum tentu kita bisa sodaqoh. Biasanya kita mengatakan, ‘Ah, nanti saja sodaqohnya, sekalian kalau sudah banyak duit’. Eh, tahunya duitnya tidak banyak-banyak, dan akhirnya tidak pernah sodaqoh. Atau saat anda banyak duit, malah pengen beli ini-itu. Atau juga, anda tiba-tiba dijemput paksa malaikat pencabut nyawa, maka selamanya anda tidak bisa lagi sodaqoh. Menyesal, bukan?
Kesempatan. Ya, itu dia kata yang sangat penting untuk diperhatikan bagi siapa saja yang hendak menulis. Bahkan, sebetulnya bagi orang yang hendak melakukan sesuatu, tidak terbatas pada persoalan tulis-menulis saja. Seringkali orang ingin menulis, dengan mencari waktu yang tepat, atau nanti ditulisnya pada saat bahan sudah terpenuhi. Dan, saat mereka gagal melakukannya, pada akhirnya mereka mencari dalih, alias alasan. Entah itu pada saat jam yang sudah direncanakannya ada gangguan (ada kawan, mati listrik, kecapean, dan lain-lain), atau lantaran ada salah satu referensinya tidak ditemukan.
Itulah konsekuensi dari niat ‘hendak menulis’ yang dinanti-nanti. Maka dari itu, saran saya, gunakan kesempatan menulis pada waktu yang terdekat. Maksudnya, bersegeralah menuliskannya atas apa yang hendak anda tulis. Jadi, anda bisa menulis pada saat apa saja dan di mana saja. Dengan begitu anda saya jamin bisa menulis. Anda saya jamin bisa menuangkan curahan hati dan pikiran anda dalam sebuah tulisan. []
Yogyakarta,25 Februari 2012
Padi tumbuh dalam kesunyian, sejak hijau hingga menguning. Dia tidak banyak "bicara" dan gembar-gembor untuk mempersiapkan kematangannya. Dan saat matang dia justru merunduk. Semakin berisi semakin tunduk. [iqbal.dawami@gmail.com]
Sabtu, 25 Februari 2012
Jumat, 24 Februari 2012
Masa Depan Buku Cetak
Suatu malam saya dan kawan-kawan peresensi Jogjakarta berbincang dengan seorang distributor buku di sebuah kafe daerah selokan mataram, Jogjakarta. Kami berbincang mengenai dunia perbukuan, salah satunya adalah soal masa depan buku cetak. Distributor itu bercerita bahwa buku (cetak) kini mendapat tantangan serius dari waktu ke waktu. Minat baca dan daya beli masyarakat itu masih menjadi masalah klasik dan klise dalam dunia perbukuan di Indonesia. Belum juga kelar mencari solusi soal itu, kini perbukuan juga diserang oleh hadirnya e-book (electronic book)—buku elektronik—alias buku digital.
Tidak hanya penerbit yang mendapat getahnya, tetapi juga distributor dan toko buku. Bahkan penulis juga. Penerbit akan menyusut memproduksi bukunya lantaran konsumen tertarik membeli buku elektronik yang murah dan mudah. Distributor pusing apa yang hendak didistribusikan kepada toko-toko buku jika pasokan buku-bukunya berkurang sedang ongkos di lapangan tidak kenal kompromi. Sedang toko buku kelimpungan menjual. Konsumen sudah jarang pergi ke toko buku lagi. Mereka tinggal memesan e-book via internet yang cepat dan murah. Amboi.
Hal itulah yang dialami di Amerika. Jaringan toko buku terbesar di Amerika, Borders Group, bangkrut. Sekitar 400 gerai lebih telah ditutup dan dijual. Padahal perusahaan tersebut menguasai pasar buku dalam dan luar negeri, mempunyai cabang di beberapa negara, seperti Singapura dan Australia. Penghasilan mereka per tahun mencapai $ 3 miliar atau Rp 25 triliun. Mereka bangkrut lantaran serbuan e-book atau buku digital yang begitu massif.
Menurut Asosiasi Penerbit Amerika (AAP), per Juni 2011, penjualan buku dewasa dengan kertas koran (paperback) merosot tajam sebesar 63,8% dalam waktu 12 bulan. Diperkirakan, ini setara dengan 85 juta dolar AS. Untuk buku hardcover, penjualannya juga menurun. Walaupun prosentasenya lebih kecil tapi tak kalah mencemaskan, yakni turun 25,4%. Bagaimana dengan e-book? Penjualannya, melalui Kindle, iPad, dan Nook, melonjak sampai 167% atau sekitar 50 juta dolar AS.
Di Inggris, penjualan Kindle terdongkrak 20% dibandingkan tahun lalu. Kabarnya, Amazon.co.uk telah mampu menjual 242 e-book untuk setiap 100 buku hardcover yang laku. Penurunan penjualan buku di Inggris memang tidak sedrastis di AS, yakni 7,5% selama tiga bulan pertama tahun 2011. Tapi, seperti di AS, penurunan penjualan buku hardcover di Inggris tidak sebanyak paperback. Pembaca buku paperback umumnya beralih ke e-book, sedangkan perpustakaan di negara maju lazimnya lebih suka membeli buku hardcover karena lebih awet (blogtempointeraktif.com, 6/12/11).
Lantas, bagaimana di Indonesia? Sejauh pengamatan saya, efek adanya buku digital masih belum terasa. Perbukuan di Indonesia masih berkutat soal bagaimana meningkatkan minat baca pada masyarakat dan bagaimana kertas agar bisa murah, di samping perkembangan tablet computer masih rendah lantaran harganya masih dianggap mahal. Majalah Tempo pernah melakukan survey bahwa penjualan tablet di Indonesia hanya 150 ribu unit, nyaris tak berarti dibandingkan dengan total penjualan di pasar dunia yang mencapai 100 juta unit.
Tapi, meski begitu, jika mendengar cerita distributor yang saya ceritakan di atas fenomena buku digital yang telah meluluhlantahkan perbukuan konvensional di luar negeri menjadi kegelisahan pekerja buku di Indonesia juga. Musyawarah antar-penerbit sudah dilakukan. Beberapa penerbit sudah melakukan inisiatif sendiri sebagai langkah antisipatif. Gramedia, Mizan, dan Ufuk, misalnya, sudah mulai menggarap pasar buku digital. Gramedia meluncurkan aplikasi Gramedia for iPad dan aplikasi pembaca buku digital untuk tablet Samsung Galaxy Tab.
Mizan di bawah lini Mizan New Media mulai menggarap buku-buku digital dengan beberapa terma: Mizan-Google Book Search, Mizan e-Book, dan Mizan Fonovela. Buku-buku Mizan bisa ditemukan di Nokia Ovi Store. Di ranah tablet, bisa diunduh lewat aplikasi gratis Mizan di Apple Store. Untuk perangkat berbasis Android, unduh aplikasi toko buku wayangforce.com. Aplikasi buku untuk pengguna Blackberry siap diluncurkan. Dalam menyelenggarakan layanan konten digital ini, Mizan bekerjasama dengan sejumlah pengembang aplikasi seperti Manggis Mobile untuk aplikasi buku di Nokia dan Blackberry, PhaseDev untuk aplikasi Mizan di Apple Store dan Android Market serta Huawei untuk layanan XL Baca.
Sedang Ufuk telah memiliki versi digitalnya masing-masing. Ufuk bekerja sama dengan pihak ketiga, yaitu sebuah situs toko buku online, yang membuatkan versi elektronik dari seluruh buku yang telah diterbitkan. Ufuk hanya menerima royalti dari setiap buku yang dibeli dari toko buku online tersebut.
Ya, zaman terus bergulir, teknologi terus melaju. Beberapa tahun ke depan tablet komputer dengan layar sentuh akan menjadi tren seiring penurunan harganya lantaran pihak produsen makin kompetitif. Dan era buku cetak segera beralih ke era buku digital. Namun, kedua jenis buku tersebut tetap memiliki pasarnya masing-masing. Ini soal selera dan kebiasaan. “Jenis buku cetak akan tetap diminati dan buku elektronik pun punya penggemarnya sendiri,” ujar Baqar Bilfaqih,
direktur produksi penerbit Ufuk. Budaya membaca buku versi cetak akan beriringan dengan budaya membaca buku versi digital.
Jadi, buku cetak tetap kelak akan selamat dan diproduksi karena masih ada yang senang membacanya, atau dijadikan barang koleksi (collectible items).Terlepas dari wacana di atas, ada hal yang lebih penting sesungguhnya yang harus dijadikan PR kita bersama, baik pemerintah maupun pekerja buku. Di Inggris sudah melakukan antisipasi jauh ke depan persoalan gurita buku digital ini. Pemerintah Inggris kini menyediakan insentif pajak dan berbagai kemudahan finansial lain untuk mencegah buku-buku karya sastrawan Inggris dibeli oleh museum-museum Amerika Serikat.
Tommy Satryatomo, konsultan konten digital Penerbit Mizan, dalam milis bercerita bahwa selang sehari setelah dirilisnya buku-buku Mizan dalam bentuk digital, dia langsung dikontak oleh perpustakaan Kedubes Australia di Jakarta. Dia dimintai daftar buku-buku digital Mizan. Tentu saja akan dibeli. Dia berpikir jauh ke depan, jangan-jangan kelak kita mesti ke Australia atau Belanda untuk membaca buku cetak berisi karya-karya Taufiq Ismail, Romo Mangun, Radhar Panca Dahana, Helvy Tiana Rosa, Farid Gaban, dan lain-lain sama seperti kita kini mesti ke Leiden untuk membaca manuskrip kuno Indonesia.
Waspadalah, waspadalah!! []
*M. Iqbal Dawami, pencinta buku, aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Jogjakarta.
Tidak hanya penerbit yang mendapat getahnya, tetapi juga distributor dan toko buku. Bahkan penulis juga. Penerbit akan menyusut memproduksi bukunya lantaran konsumen tertarik membeli buku elektronik yang murah dan mudah. Distributor pusing apa yang hendak didistribusikan kepada toko-toko buku jika pasokan buku-bukunya berkurang sedang ongkos di lapangan tidak kenal kompromi. Sedang toko buku kelimpungan menjual. Konsumen sudah jarang pergi ke toko buku lagi. Mereka tinggal memesan e-book via internet yang cepat dan murah. Amboi.
Hal itulah yang dialami di Amerika. Jaringan toko buku terbesar di Amerika, Borders Group, bangkrut. Sekitar 400 gerai lebih telah ditutup dan dijual. Padahal perusahaan tersebut menguasai pasar buku dalam dan luar negeri, mempunyai cabang di beberapa negara, seperti Singapura dan Australia. Penghasilan mereka per tahun mencapai $ 3 miliar atau Rp 25 triliun. Mereka bangkrut lantaran serbuan e-book atau buku digital yang begitu massif.
Menurut Asosiasi Penerbit Amerika (AAP), per Juni 2011, penjualan buku dewasa dengan kertas koran (paperback) merosot tajam sebesar 63,8% dalam waktu 12 bulan. Diperkirakan, ini setara dengan 85 juta dolar AS. Untuk buku hardcover, penjualannya juga menurun. Walaupun prosentasenya lebih kecil tapi tak kalah mencemaskan, yakni turun 25,4%. Bagaimana dengan e-book? Penjualannya, melalui Kindle, iPad, dan Nook, melonjak sampai 167% atau sekitar 50 juta dolar AS.
Di Inggris, penjualan Kindle terdongkrak 20% dibandingkan tahun lalu. Kabarnya, Amazon.co.uk telah mampu menjual 242 e-book untuk setiap 100 buku hardcover yang laku. Penurunan penjualan buku di Inggris memang tidak sedrastis di AS, yakni 7,5% selama tiga bulan pertama tahun 2011. Tapi, seperti di AS, penurunan penjualan buku hardcover di Inggris tidak sebanyak paperback. Pembaca buku paperback umumnya beralih ke e-book, sedangkan perpustakaan di negara maju lazimnya lebih suka membeli buku hardcover karena lebih awet (blogtempointeraktif.com, 6/12/11).
Lantas, bagaimana di Indonesia? Sejauh pengamatan saya, efek adanya buku digital masih belum terasa. Perbukuan di Indonesia masih berkutat soal bagaimana meningkatkan minat baca pada masyarakat dan bagaimana kertas agar bisa murah, di samping perkembangan tablet computer masih rendah lantaran harganya masih dianggap mahal. Majalah Tempo pernah melakukan survey bahwa penjualan tablet di Indonesia hanya 150 ribu unit, nyaris tak berarti dibandingkan dengan total penjualan di pasar dunia yang mencapai 100 juta unit.
Tapi, meski begitu, jika mendengar cerita distributor yang saya ceritakan di atas fenomena buku digital yang telah meluluhlantahkan perbukuan konvensional di luar negeri menjadi kegelisahan pekerja buku di Indonesia juga. Musyawarah antar-penerbit sudah dilakukan. Beberapa penerbit sudah melakukan inisiatif sendiri sebagai langkah antisipatif. Gramedia, Mizan, dan Ufuk, misalnya, sudah mulai menggarap pasar buku digital. Gramedia meluncurkan aplikasi Gramedia for iPad dan aplikasi pembaca buku digital untuk tablet Samsung Galaxy Tab.
Mizan di bawah lini Mizan New Media mulai menggarap buku-buku digital dengan beberapa terma: Mizan-Google Book Search, Mizan e-Book, dan Mizan Fonovela. Buku-buku Mizan bisa ditemukan di Nokia Ovi Store. Di ranah tablet, bisa diunduh lewat aplikasi gratis Mizan di Apple Store. Untuk perangkat berbasis Android, unduh aplikasi toko buku wayangforce.com. Aplikasi buku untuk pengguna Blackberry siap diluncurkan. Dalam menyelenggarakan layanan konten digital ini, Mizan bekerjasama dengan sejumlah pengembang aplikasi seperti Manggis Mobile untuk aplikasi buku di Nokia dan Blackberry, PhaseDev untuk aplikasi Mizan di Apple Store dan Android Market serta Huawei untuk layanan XL Baca.
Sedang Ufuk telah memiliki versi digitalnya masing-masing. Ufuk bekerja sama dengan pihak ketiga, yaitu sebuah situs toko buku online, yang membuatkan versi elektronik dari seluruh buku yang telah diterbitkan. Ufuk hanya menerima royalti dari setiap buku yang dibeli dari toko buku online tersebut.
Ya, zaman terus bergulir, teknologi terus melaju. Beberapa tahun ke depan tablet komputer dengan layar sentuh akan menjadi tren seiring penurunan harganya lantaran pihak produsen makin kompetitif. Dan era buku cetak segera beralih ke era buku digital. Namun, kedua jenis buku tersebut tetap memiliki pasarnya masing-masing. Ini soal selera dan kebiasaan. “Jenis buku cetak akan tetap diminati dan buku elektronik pun punya penggemarnya sendiri,” ujar Baqar Bilfaqih,
direktur produksi penerbit Ufuk. Budaya membaca buku versi cetak akan beriringan dengan budaya membaca buku versi digital.
Jadi, buku cetak tetap kelak akan selamat dan diproduksi karena masih ada yang senang membacanya, atau dijadikan barang koleksi (collectible items).Terlepas dari wacana di atas, ada hal yang lebih penting sesungguhnya yang harus dijadikan PR kita bersama, baik pemerintah maupun pekerja buku. Di Inggris sudah melakukan antisipasi jauh ke depan persoalan gurita buku digital ini. Pemerintah Inggris kini menyediakan insentif pajak dan berbagai kemudahan finansial lain untuk mencegah buku-buku karya sastrawan Inggris dibeli oleh museum-museum Amerika Serikat.
Tommy Satryatomo, konsultan konten digital Penerbit Mizan, dalam milis bercerita bahwa selang sehari setelah dirilisnya buku-buku Mizan dalam bentuk digital, dia langsung dikontak oleh perpustakaan Kedubes Australia di Jakarta. Dia dimintai daftar buku-buku digital Mizan. Tentu saja akan dibeli. Dia berpikir jauh ke depan, jangan-jangan kelak kita mesti ke Australia atau Belanda untuk membaca buku cetak berisi karya-karya Taufiq Ismail, Romo Mangun, Radhar Panca Dahana, Helvy Tiana Rosa, Farid Gaban, dan lain-lain sama seperti kita kini mesti ke Leiden untuk membaca manuskrip kuno Indonesia.
Waspadalah, waspadalah!! []
*M. Iqbal Dawami, pencinta buku, aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Jogjakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)