Senin, 09 Agustus 2010

Pembajakan Buku yang Memprihatinkan

Jumat, 31 Juli 2010, aku melihat dwilogi novel Padang Bulan karya Andrea Hirata versi bajakan di pedagang buku emperan di jalan Kahar Muzakkar, Yogyakarta. Kavernya agak pucat, kertasnya sejenis kertas koran. Jadi, walaupun halamannya sama, tapi jauh lebih tipis. Setelah kutanya harganya, oh, ternyata hanya 35 ribu rupiah dan bisa ditawar. Padahal harga buku versi aslinya 76.500 rupiah. Kulihat tidak hanya buku itu saja, ada juga buku-buku lainnya, seperti tetralogi Laskar Pelangi masih karya Andrea Hirata, Bumi Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy, Eclipse karya Stephenie Meyer, dan lain-lain.

Aku sedih bukan kepalang melihat buku-buku yang dibajak itu. Betapa tidak, hasil karya seseorang yang sudah “berdarah-darah” menuliskan ide, gagasan, pikiran, dan perasaannya, dibajak begitu saja oleh orang-orang yang rakus terhadap keuntungan semata. Bahkan jika dilihat dalam lingkup yang lebih luas, sebetulnya yang dirugikan tidak hanya penulisnya saja, melainkan penerbit, distributor, dan toko-toko buku yang menjual buku-buku non-bajakan. Pembelian buku asli akan mengalami penurunan drastis seiring beredarnya buku bajakan. Dan, tentu saja, royalti si penulis menjadi seret.

Pada saat aku mengikuti acara bedah buku dwilogi novel Padang Bulan di Toga Mas Affandi, Yogyakata, Andrea Hirata mengatakan bahwa baru diluncurkan tiga hari saja dwilogi Padang Bulan-nya sudah dibajak, tepatnya di Stasiun Bogor. Alamak. Sedang novel Laskar Pelangi-nya dibajak mencapai 15 juta eksemplar. Sungguh memprihatinkan sekali.

Lazimnya, buku-buku yang menjadi sasaran pembajakan adalah buku-buku best seller, mulai dari kamus, buku panduan, novel, dan yang lainnya. Sistem kerjanya pun sangat cepat. Mereka jeli terhadap buku-buku yang dikategorikan best seller. Seperti kasus dwilogi Padang Bulan, baru tiga hari launching, sudah ada bajakannya. Sungguh, luar biasa.

Teknologi dan Mental Masyakarat

Nampaknya, teknologi sangat berperan besar dalam pembajakan buku. Teknologi semakin canggih, pembajakan buku pun semakin merajalela. Tahun-tahun dahulu, pembajak melakukannya dengan mengetik ulang dan mencetaknya. Jika, tidak mau repot, pembajak menggunakan foto kopi. Lain halnya dengan sekarang. Mereka sudah bisa menggunakan alat yang dinamakan scanner. Tinggal men-scan saja buku yang hendak dibajak, lalu diolah memakai program OCR (Optical Character Recognition). Dan penjualannya bisa dilakukan dengan dua cara, dalam bentuk e-book yang kemudian dimasukkan ke dalam CD dan bentuk buku cetak. Luar biasa, bukan?

Pembajakan buku di Amerika Serikat lebih canggih lagi, seiring kemajuan teknologinya. Di sana telah menjamur buku-buku elektronik berformat PDF yang sesungguhnya hasil pemindaian dari buku yang asli. Pasarannya menuntut seperti itu, karena di sana komputer bisa dikatakan hampir dipunyai oleh semua masyakarat. Salah satu korbannya adalah Stephen King, penulis spesialis thriller. Novelnya berjudul The Stand dengan ketebalan 1.100 lembar dibajak dalam bentuk PDF.

Sudah mafhum, bahwa pembajakan buku termasuk pelanggaran Undang-undang Hak Cipta No 19 tahun 2002. Tapi, undang-undang itu tidak pernah digubris oleh sang pembajak. Kenyataannya, mereka baik-baik saja, tidak ada yang menangkap, dan pembeli pun lumayan banyak. Dengan kata lain, mereka melakukan pembajakan karena ada pasarannya dan aman-aman saja untuk dilakoni.

Mengapa pembajakan sangat susah diberantas? Menurut saya paling tidak ada dua hal, yaitu lemahnya penegakan hukum dan kronisnya mental masyarakat. Sejak dulu pembajakan buku sudah ada, tapi sejauh pengamatan saya tidak ada satu pun terdengar kasus terkait masalah ini, misalnya di media diberitakan ada pembajak buku dijebloskan ke penjara. Yang sering terdengar adalah aksi sweeping atas buku-buku yang tidak boleh beredar karena isinya dianggap “membahayakan”.

Sisi lain, mental masyarakat dalam menghargai buku masih lemah pula. Masyarakat hanya memikirkan bagaimana bisa mendapatkan buku yang diinginkan dengan harga yang relatif murah. Dalam hal ini, saya kira, tidak terkait persoalan isi kantong seseorang, tetapi soal mental membeli buku. Karena kenyataannya ada juga sebagian masyakarat yang hidupnya pas-pasan tapi mampu membeli buku-buku asli.

Jadi, hemat saya, jika ingin memberantas pembajakan buku, kedua hal di atas harus diselesaikan; yaitu para penegak hukum serius membawa para pembajak ke pengadilan dan masyarakat diberi penyuluhan melalui berbagai media untuk tidak membeli buku-buku bajakan. Untuk yang kedua, itu adalah tugas kita semua, bagaimana mengubah masyarakat yang biasa membeli buku bajakan dan menyadarkan mereka untuk menghargai jerih payah sang pengarang dan penerbit.

Sungguh, bukan tidak mungkin jika pembajakan buku dibiarkan begitu saja, akan menimbulkan dampak negatif pada pengembangan perekonomian Indonesia. Lingkup yang lebih kecilnya barangkali berdampak pada sang pengarang untuk enggan berkarya lagi. Persis seperti yang pernah diutarakan Andrea Hirata, bahwa riset novelnya (dwilogi Padang Bulan) selama 3,5 tahun dengan menghabiskan dana Rp 30 juta, dibajak begitu saja. Fenomena pembajakan kerap kali membuatnya kehilangan minat menulis.

Seorang kawan mengatakan bahwa pelanggaran hak cipta oleh pembajak di Indonesia bagai memindahkan air laut dengan tangan. Dibutuhkan banyak pihak untuk turut membantu menertibkannya dengan serius, tuntas, dan istiqomah.[]

M. Iqbal Dawami, pencinta buku, tinggal di Muntilan