Kamis, 22 Juli 2010

Kebahagiaan di Tengah Penderitaan

Judul buku : Negeri Bahagia (The City of Joy)
Penulis : Dominique Lapierre
Penerjemah: Wardah Hafidz
Penerbit : Bentang Pustaka, Jogjakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: xv + 799 hlm.

Terpujilah untuk penerbit yang sudah menerbitkan buku yang bermutu nan memberdayakan ini. Terpujilah untuk penerjemah yang sudah berhasil menyuguhkan rasa bahasa Indonesia ini. Terpujilah penyuntingnya yang sudah mengamplas huruf, kata, dan paragraf dalam novel ini, sehingga nikmat dibaca, tanpa ada gangguan sedikit pun. Terpujilah sang pengarang yang telah berhasil menulis novel ini dengan usaha keras, sehingga usaha anda telah menginspirasi banyak orang.

Terpujilah Pak Guru (J. Sumardianta) yang sudah merekomendasikan kepadaku novel ini. Terpujilah Pak Hernadi Tanzil yang telah bersedia meminjamkan bukunya. Kini buku tersebut sedang dalam perjalanan menuju sang pemiliknya. Semoga selamat sampai tujuan.

Sungguh, belum ada sebuah novel yang begitu mengguncangkan aku sedemikian rupa, kecuali novel ini. Tak jarang air mataku dibuatnya mengalir dalam keheningan. Dan ketika membacanya, waktu dan detak jantungku seolah berhenti. Aku sadar bahwa ini hanyalah fiksi, tapi entah mengapa aku memercayainya bahwa itu adalah sebuah fakta. Fakta dan fiksi rasanya sudah tidak penting lagi. Karena kenyataannya, bukan tidak mungkin di belahan dunia sana atau bahkan di sekelilingku apa yang diceritakan oleh sang pengarang benar-benar fakta.

City of Joy sejatinya bukanlah novel biasa. Itu aku simpulkan manakala pembacaanku sudah sampai halaman sepuluh. Aku tahu novel ini dari Pak Guru, Sang Predator Buku. Beliau merekomendasikannya agar aku harus membaca novel itu jika ingin menjadi suami dan bapak yang baik. Dan setiap kali kami jungle tracking bersama, beliau sering mengutip kata-kata Hasari Pal, salah satu tokoh dalam novel tersebut, “Setiap yang tidak diberikan akan hilang sia-sia” dan bercerita tentang perjuangan Hasari untuk keluarganya.

Aku pun hendak meminjam kepada beliau buku tersebut, tapi, sayang sekali, sedang dipinjam, katanya. Aku pun berburu ke toko-toko buku bahkan sampai kutanyakan langsung ke penerbitnya, tapi, aku sedang tidak mujur. Aku tidak mendapatkan novel itu. Suatu ketika aku iseng menulis status di FB-ku, “Siapa yang punya novel City of Joy? Jika ada yang punya perkenankan aku meminjamnya.Trims.” Tak disangka, ternyata ada orang yang rela untuk meminjamkannya padaku. Orang itu mengomentari statusku tentang kesediaannya untuk meminjamkan buku tersebut. Kemudian, ia meminta alamatku. Alhamdulillah—Puji Tuhan, akhirnya aku dapat membaca novel itu. Tentu saja, aku salut sama orang itu yang berani untuk memercayaiku untuk meminjamkan bukunya walau kami berada di dua provinsi yang berbeda.

Aku membaca novel itu bak sopir bus pariwisata yang hendak memberikan kenyamanan pada penumpangnya. Aku tidak ingin buru-buru mengkhatamkannya. Setiap kisahnya aku resapi dalam-dalam. Novel ini berlatar di Kalkuta, salah satu wilayah di India yang paling sering didera bencana alam maupun bencana kemanusiaan. Kemiskinan, pengangguran, dan berbagai penyakit, terutama penyakit lepra, menjadi identitas yang melekat dalam diri kota Kalkuta. Tak heran, jika Kalkuta dijuluki sebagai ”rumah besar” bagi orang yang terkena kusta.

Dominique Lapierre, novelis Prancis, mengangkat Kalkuta dari sisi bencana kemanusiaannya. Dia menceritakan penderitaan keluarga miskin yang tercerabut dari kampung halamannya. Dan, harapan hidup yang layak di kota Kalkuta menjadi klangenan semata. Meski begitu, dalam pandangan saya novel ini sejatinya hendak hendak menyampaikan dua pesan utama, yaitu 1) betapa pun kerasnya hidup, manusia harus terus menggenggam harapannya, 2) rela berkorban (dengan cara-cara yang baik) untuk orang lain, terlebih untuk keluarga.

Paling tidak, pesan tersebut bisa digambarkan, misalnya, dalam dua paragraf, di bawah ini:

“Ayahnya datang dan merangkul istrinya. “Ibu anak-anak lelakiku,” ujarnya, “kita berdua tidak usah makan supaya beras itu cukup untuk waktu yang lebih lama. Anak-anak tidak boleh menderita.”

“Lelaki itu juga mempunyai senyum yang sulit dimengerti kalau melihat penderitaannya,” ujar Stephan Kovalski. “Ia tidak pernah sedikit pun mengeluh. Kalau saya kebetulan bertemu di jalan lorong, ia selalu menegur saya dengan suara yang penuh getaran kegembiraan.”

Maka tak aneh jika novel ini diberi judul Negeri Bahagia. Faktanya, semenderita apa pun mereka tidak pernah mengeluh dan egois. Yang ada malah sebaliknya, mereka selalu berbagi dan penuh dengan kebahagiaan, misalnya pada saat mereka mengantri untuk buang hajat. Keceriaan dan suara tawa terlihat jelas.

Novel ini percampuran antara fakta dan fiksi. Sang penulisnya meriset novelnya dengan langsung ke lapangan, yaitu di Kalkuta selama dua tahun. Dia melihat langsung fenomena di Kalkuta; merasakan, mencatat dan melakukan wawancara dengan penduduk setempat.

Karya Lapierre ini pun menginspirasi banyak orang untuk melakukan sesuatu, terutama sumbangan berupa material yang mengalir ke Kalkuta. Buku ini sekarang sudah terjual lebih dari enam juta kopi dalam 31 bahasa dan edisi, termasuk lima edisi dalam huruf Braille.

Walhasil, setelah membaca novel ini, kesan saya tak jauh beda dengan resensor The New York Times, yang mengatakan bahwa: “Buku ini terpahat di pikiran saya selama-lamanya.”

Anda merasa sengsara dan miskin? Boleh jadi belum ada apa-apanya dibanding Hasari Pal, salah satu tokoh dalam novel ini, yang rela menjual organ tubuhnya untuk biaya pernikahan anaknya. Silakan baca novel ini.[]

M Iqbal Dawami, penikmat teh, gogodoh, dan sastra. Aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community