Selasa, 22 Mei 2012

Puncak Suroloyo

Matahari pagi terlihat bersejajar dengan kami, saat kami sampai di pegunungan Menoreh pada pukul 07.00 WIB. Sinarnya begitu lembut menyambut kehadiran kami. Burung-burung berkicau meramaikan angkasa, seolah saling memberi semangat satu dan lainnya dalam memulai aktivitas. Tiga gunung besar di pulau Jawa, yaitu Merbabu, Sumbing dan Sindoro menyembul di antara kabut putih. Ketebalan kabut putih itu tampak seperti ombak yang menenggelamkan daratan hingga yang tersisa hanya sawah yang membentuk susunan tapak siring dan pepohonan yang terletak di dataran yang lebih tinggi.

Dari balik kabut putih itu pula, stupa puncak Candi Borobudur yang tampak berwarna hitam muncul di permukaan lautan kabut, perlahan namun pasti. Itulah pemandangan yang bisa dilihat saat pagi hari ketika kami berada di Puncak Suroloyo, bukit tertinggi di Pegunungan Menoreh yang berada pada 1.600 meter di atas permukaan laut. 

Menuju puncak Suroloyo kami tempuh dengan jalan kaki kurang lebih 7 kilo meter. Kendaraan kami titipkan di rumah penduduk. Kami melewati rute jalan setapak yang hanya digunakan oleh para petani, pencari rumput, dan kayu bakar. Karena itu, medannya cukup sulit untuk dilewati. Jalan setapak yang licin, tanjakan yang mencapai kemiringan 600, harus kami lalui. Sesekali kami berpapasan dengan penduduk yang sedang bercocok tanam maupun yang mencari kayu bakar. Mereka tampak ramah, prototype penduduk desa yang penuh dengan keotentikan. Hidupnya jauh dari hingar bingar dunia. Mereka bertekun dengan kesunyian dalam berkarya. 

Dalam sebuah ladang, kami melihat tanaman cabe sedang berbuah, menunggu dipetik oleh pemiliknya. Perjalanan menuju puncak Suroloyo ala jungle tracking sungguh melelahkan, namun itu terbayar dengan keindahan pemandangan yang dapat dilihat dalam perjalanannya. Terlebih pada saat sampai di puncak Suroloyo. Tidak hanya itu, tampias keringat dan udara sejuk nan segar menjadikan diri kami merasakan sensasi yang luar biasa. Lelah tapi puas. 

Saat sampai di sana saya melihat tiga buah gardu pandang. Gardu-gardu tersebut sudah difasilitasi tangga yang kokoh dengan kemiringan 300 - 600. Sungguh itu memanjakan orang-orang yang berwisata ke situ. Menurut cerita yang pernah saya baca, gardu pandang tersebut dahulu adalah pertapaan, yang masing-masing bernama Suroloyo, Sariloyo dan Kaendran. Tempat ini mempunyai kaitan sejarah dengan Kerajaan Mataram Islam. 

Dalam Kitab Cabolek yang ditulis Ngabehi Yasadipura pada sekitar abad ke-18 menyebutkan, suatu hari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang kala itu masih bernama Mas Rangsang mendapat wangsit agar berjalan dari Keraton Kotagede ke arah barat. Petunjuk itu pun diikuti hingga dia sampai di puncak Suroloyo. Karena sudah menempuh jarak sekitar 40 km, Mas Rangsang merasa lelah dan tertidur di tempat ini. Pada saat itulah, dia kembali menerima wangsit agar membangun tapa di tempat dia berhenti. Ini dilakukan sebagai syarat agar dia bisa menjadi penguasa yang adil dan bijaksana. 

Selain memiliki pemandangan yang mengagumkan, Puncak Suroloyo juga menyimpan mitos. Puncak ini diyakini sebagai kiblat pancering bumi (pusat dari empat penjuru) di tanah Jawa. Masyarakat setempat percaya bahwa puncak ini adalah pertemuan dua garis yang ditarik dari utara ke selatan dan dari arah barat ke timur Pulau Jawa. Dengan kata lain, jika ditarik lurus dari utara ke selatan, serta dari barat ke timur di atas pulau jawa, maka akan bertemu di puncak Suroloyo. 

Mitos inilah yang menyebabkan pada malam satu satu Sura (1 Muharam) kawasan ini sangat ramai dikunjungi baik penduduk, warga setempat, masyarakat Yogyakarta, maupun dari daerah lain. Mereka kebanyakan melakukan ritual untuk menolak bala yang dipercaya akan datang pada bulan suro. Puncak Suroloyo terletak di dusun Keceme, Gerbosari, kecamatan Samigaluh, Kulonprogo. 

Ada dua jalur untuk bisa mencapai tempat ini yakni jalan Godean – Sentolo – Kalibawang (dari arah Yogyakarta dan Puworejo) dan dari jalan Magelang - Pasar Muntilan – Kalibawang (dari arah Semarang). Di gardu pandang Suroloyo, gardu paling tinggi, kami membuka perbekalan yang kami beli saat di perjalanan, tepatnya di pasar Balangan, Minggir, Sleman. Saat kami menikmati jajanan pasar datang seorang turis dari Prancis. Turis itu bernama Robert, seorang penerjemah Prancis-Inggris. Kami pun mengajaknya untuk bergabung. Turis itu terkesan dengan Naga Sari, salah satu makanan khas jawa yang kami bawa. Enak sekali, ujarnya. Perjamuan makan pun kami tutup dengan minum teh hangat. 

Yogyakarta, Jumat 18 Mei 2012

Renungan Malam (22 April 2012)

# Menulis itu memang menuntut kejujuran sejak dalam pikiran. Jika tidak, maka ia akan gelisah saat menggarapnya. Naskahnya pun tidak dibanggakan. Oleh karena itu, menulislah secara jujur. Misalnya, ia jujur kalau ia mengutip kalimatnya dari sesuatu, bahwa itu bukan hasil dari pikirannya sendiri. Dengan begitu ia akan tenang pada saat menggarapnya.

# Menjadi seorang penulis tidaklah mudah. Satu-satunya yang harus ditaklukkan adalah dirinya sendiri. Satu sisi ia harus melawan kemalasan, sisi lain ia harus menjaga kedisiplinan. Ia harus membaca, merenung, dan lalu menuliskannya.  

# Persoalan orang tidak bisa menulis bukan soal ‘tidak tahu cara menulis’, tetapi pada persoalan tidak bisa menyempatkan waktu untuk menulis. Tidak ada waktu yang tepat untuk menulis. Akan selalu ada gangguan dan alasan baik logis maupun tidak pada saat anda merencanakan “waktu” untuk menulis. Satu-satunya yang bisa menjamin bahwa anda bisa menulis adalah sekarang juga, tuliskan segera apa yang menjadi buah pikiran dan perasaan anda.

# Kegagalan menulis itu mirip dengan saat anda ingin berwirausaha, yakni mempunyai banyak alasan untuk menggagalkannya. Jika dalam bisnis alasannya adalah modal, sedang dalam menulis adalah waktu. Saat modal belum ada, maka ia tidak akan berwirausaha. Saat waktu (menulis tidak ada) maka ia tidak akan menulis.

Kamis, 10 Mei 2012

Sekali Lagi, Kendalikan Facebook

Sekarang ini, internet semakin mengerucut, hanya menjadi facebook.

Betapa tidak, waktu banyak dihabiskan di facebook ketimbang membuka situs-situs lainnya. Tidak sepenuhnya salah sebetulnya untuk membuka facebook, karena masih bisa dijadikan ajang silaturahmi dan mendapat pengetahuan dan berita juga. Tapi, berdasar pengalaman saya, facebook banyak tidak manfaatnya ketimbang manfaatnya, buat saya lho.

Mungkin itu lain halnya jika facebook sebagai lapak atau tempat jualan atau bisa mendatangkan manfaat karena sesuai dengan profesinya. Tapi, bagi saya yang profesinya sebagai penulis, facebook tidak begitu banyak membawa faedah. Facebook memberangus produktifitas. Itu yang saya rasakan. Jadi, hati-hatilah dengan facebook. Kendali harus ada dalam diri kita, bukan pada facebook. Soalnya, sudah banyak orang “disibukkan” dengan facebook. Entah itu pegawai, mahasiswa, siswa, dan yang lainnya.  

Aku pernah menon-aktifkan akun facebook-ku, karena sudah kesal dan bosan, tapi sekarang sudah aku aktifkan lagi. Bisa saja aku memang kecanduan, bisa juga kesepian, atau bisa juga kerinduan, bahkan aku pikir bisa dijadikan tempat mencari uang. Tidak ada alasan yang mutlak. Namun, yang jelas, aku sekarang bisa mengendalikan facebook. Paling tidak, hanya seminggu sekali buka facebooknya. Terus hanya membuka dan membaca akun facebook tertentu yang mendatangkan manfaatnya buatku, terutama yang sesuai dengan bidangku, yakni menulis. Selainnya, aku tak perlu komentar dan tak perlu membacanya. 

Aku harus dianggap bahwa aku sedang tidak aktif atau jarang membuka facebook. Aku hanya akan membalas yang masuk ke inbox saja. Karena itu artinya mereka memang serius ingin berkomunikasi dengan aku. Nah, dengan begitu aku bisa menekan kecanduanku, kerinduanku, dan kelangenanku pada facebook, sehingga aku bisa lebih banyak fokus pada menulis sebagai pekerjaan utamaku. Ingat, pekerjaan utamaku adalah menulis, menulis, dan menulis. Bukan yang lainnya. Aku akan ngamuk menulis.

Tak Perlu "Bahan Banyak”

Menulis itu tidak perlu banyak bahan, yang penting bahan seadanya tapi ditulis dan dijabarkan semampunya. Jika mentok baru baca buku dan merenung lagi. Begitu dan begitu. Yang penting lagi adalah kuat berpikir dan duduk. Artinya, selalu menjaga kefokusan pikiran. Jangan melamun, dan berpikir kesana kemari. Jika kita bisa menjaga fokus selama satu jam itu sudah bagus. Tinggal menjaga konsistensinya saja. Terakhir adalah sabar. Kita harus sabar dalam menuliskannya, tidak terburu-buru. Menikmati setiap hurufnya. Jika kita bisa mengamalkan hal di atas, Insya Allah kita akan bisa merampungkan sebuah tulisan, bahkan sebuah buku. Insya Allah.