Senin, 31 Mei 2010

Pameran Buku yang Membosankan

Senin sore, 17 Mei 2010 aku berkunjung ke Jogja Islamic Book Fair (JIBF) 2010 di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Yogyakarta. Pameran ini berlangsung pada 13-19 Mei 2010. Pas kebetulan, waktu itu sedang ada bedah novel Bumi Cinta (2010) karya Habiburrahman El-Shirazy. Aku pun mengikuti acara tersebut. Pesertanya membludak. Sampai-sampai banyak yang berdiri tidak kebagian kursi. Untung saja aku mendapatkan tempat duduk.

Aku mengikuti acara tersebut hanya kuat sampai tanya jawab sesi pertama. Mengapa? Diskusinya terasa hambar. Tidak ada, misalnya, pembahasan mengenai kelebihan dan kekurangan buku itu, terutama dari sudut pandang sastranya, baik dari pembicara, penulis, maupun para penanya. Isinya hanya berputar soal materi novel dan di luar pembahasan buku tersebut. Diskusi itu terkesan ceramah keagamaan. Aku pun memilih hengkang dari situ.

Dari situ, kemudian aku lihat denah dan agenda acara JIBF di depan pintu masuk gedung. Siapa tahu esoknya ada diskusi atau lomba penulisan. Ah, nampaknya tidak ada yang menarik. Aku pun masuk dan mulai bergerilya menelusuri stand-stand buku, mengamati satu per satu buku-buku yang ada setiap stand-nya. Dan, kurang lebih satu jam aku sudah menyambangi semua stand. Setelah itu, aku memutuskan untuk pulang. Sungguh, pameran buku Islam yang membosankan.

Dalam perjalanan pulang, aku memikirkan perhelatan pameran JIBF itu. Hampir setiap tahun aku selalu menghadiri JIBF. Di tempat yang sama pula. Suka atau tidak, aku mengamati perubahan dari tahun ke tahunnya. Adakah perubahan yang signifikan?

Penerbit, Buku, dan Acara
Ada tiga hal yang membuatku gelisah dari JIBF. Pertama, sekitar 90 persen para penerbit yang ikut pameran JIBF nampaknya tidak jauh beda dengan peserta pameran buku yang diadakan IKAPI. Lantas, kalau begitu apa bedanya dengan pameran buku yang diadakan IKAPI? Pemainnya itu-itu saja. Imbasnya, kesan keislamannya pun semakin luntur. Islamic Book Fair pun hanya sebatas slogan, minus substansi. Mengingat hal di atas, momen ini pun sebenarnya Gramedia bisa berpartisipasi, apalagi mereka punya penerbit Quanta yang khusus menerbitkan buku-buku keislaman praktis.

Kedua, kebanyakan yang dipajang adalah buku-buku itu melulu, baik stok lama maupun stok baru. Saya lihat sedikit sekali buku-buku barunya. Parahnya lagi, buku-buku baru tersebut didominasi oleh buku-buku Islam aplikatif, instan, dan “dangkal,” di mana rata-rata menyodorkan seputar kehidupan ala “Islam” menurut pandangan sang penulisnya yang menurutku sangat relatif.

Hanya segelintir saja buku-buku yang mengangkat tema keislaman agak “berat” dan “dalam”. Jika boleh saya sebut, misalnya, Fiqih Jihad (2010) karya Yusuf Qardhawi yang diterbitkan Mizan, tebalnya mencapai seribu halaman. Ada juga buku Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (2010) karya Fahmi Salim yang mencoba mengkonter pemikiran kaum Islam Liberal. Buku ini diterbitkan Gema Insani. Sedang dalam ranah fiksi, misalnya novel Muhammad (2010) karya Tasaro yang diterbitkan Bentang. Ada beberapa buku lainnya juga yang termasuk kategori itu. Namun, selebihnya adalah buku-buku yang berjenis “dangkal” dan instan.

Ketiga, perihal acara atau kajian yang berlangsung pada saat perhelatan JIBF. Jika diperhatikan dan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, nampaknya rangkaian acaranya tidak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, bedah buku dan ceramah keagamaan. Buku yang dibedah pun tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dan para penulisnya pun setali tiga uang. Sebut saja, misalnya, Salim A. Fillah. Tahun-tahun lalu sering pula ia mengisi bedah bukunya di pameran JIBF. Dan tahun ini pun demikian. Bukunya juga yang dibedah tema-tema seputar dakwah dan “cinta Islami” saja. Dalam Dekapan Ukhuwah (2010) adalah buku terbarunya yang dibedah pada tahun ini di JIBF.

Sungguh, saya mendambakan bedah buku dengan tema yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, buku-buku pertarungan wacana. Katakanlah buku-buku yang ditulis oleh kaum muslim liberal, seperti Metodologi Studi Al-Quran (2009) karya Abdul Moqsith Ghazali, dkk. atau sebaliknya, buku-buku yang mengkonternya seperti karya Fahmi Salim sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas. Sangat menarik dan mencerahkan bagi pengunjung JIBF.

Saya harapkan, tahun depan, JIBF lebih kreatif dan inovatif lagi, dengan menyodorkan buku dan acaranya yang lebih segar dan “mencerahkan”. Jangan sampai terjebak oleh keuntungan semata tanpa memperhitungkan kemajuan masyarakat. Teringat kata-kata Muhammad Abduh, “Al-Islam mahjubun bil muslimin.” Islam telah tertutup oleh orang Islam sendiri. Semoga pameran tahun depan lebih baik lagi. Wallahu a’lam.[]

M. Iqbal Dawami, pencinta buku, teh, dan gogodoh. Aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community Yogyakarta.

Minggu, 16 Mei 2010

Sang Nabi di Mata Tasaro GK

Rabu, 12 Mei 2010, aku menghadiri acara diskusi novel Muhammad (2010) karya Tasaro GK. Acara tersebut diadakan di Toga Mas, Jl. Gejayan, Yogyakarta pada pukul 16.00 hingga 18.00. Pembicaranya adalah penulisnya sendiri, Tasaro GK yang dipandu oleh Salman Faridi (CEO penerbit BENTANG).

Menarik sekali mengikuti acara diskusi novel Muhammad ini. Kelebihan acara itu adalah format acaranya yang sangat santai, di mana pembicara maupun peserta duduk ala lesehan, dan peserta diberi kesempatan bertanya atau berkomentar di tengah-tengah pembahasannya. Dan, disediakan pula angkringan beserta makanannya, seperti ceker ayam, sate telor puyuh, dan aneka gorengan. Hmm... maknyuss… (sayang, tidak ada kopi, teh hangat, maupun gogodoh, padahal cuaca sedang hujan kala itu).

Bagiku (dan barangkali peserta lainnya) acara tersebut kesempatan emas untuk menanyakan dan komentar langsung kepada sang penulisnya perihal novel Muhammad.
Dalam diskusi, Tasaro lebih banyak membicarakan asbabul wurud dan proses kreatif menulis Novel Muhammad, ketimbang membicarakan isi novel. Harus dimaklumi, peserta memang banyak bertanya soal itu dan sebagian peserta belum membaca novelnya.

Didorong oleh rasa gelisah dengan adanya fenomena penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan reaksi kaum muslim atas penghinaan tersebut, Tasaro kemudian menulis novel Muhammad ini. Tentu saja adalah sebuah kesalahan bagi siapa pun yang melakukan penghinaan -- kepada siapa pun, terlebih kepada Nabi Muhammad, sebagai manusia yang agung dan suri tauladan. Namun, apakah reaksi kita atas penghinaan tersebut harus dibalas dengan kekerasan? Inilah yang menjadi keprihatinan Tasaro. “Reaksi” Tasaro adalah dengan jalan menulis novel tentang Nabi Muhammad. Dia mencoba menuangkan kisah Muhammad lewat novel, dengan harapan orang-orang yang menghina Nabi paham bahwa Nabi tidaklah sebagaimana yang mereka anggap demikian.

Tasaro sendiri tidak menanggapi hinaan atas Nabi Muhammad, karena sedistorsi apa pun persepsi atas Muhammad, tetap akan memancarkan sinar kemuliaan diri Muhammad. Itulah keyakinan Tasaro.

Sebetulnya, untuk menulis novel tentang Nabi Muhammad sungguh tidak mudah. Terlalu berisiko dan butuh keberanian yang besar. Sedikit saja ada kesalahan atau ketidaksepemahaman dengan khalayak masyakarat akan berakibat fatal. Dan ini pun disadari oleh Tasaro. Tapi, dengan niat dan tujuan yang benar (sesuai yang ia yakini), ia berani menuliskannya.

Orang pertama yang ia beritahu niat menulis tentang ini adalah ibunya. Apa jawaban ibunya? Pembaca akan tahu di novelnya langsung di halaman persembahan. Ketika Tasaro memberitahukan niatnya tersebut kepada teman-teman dan saudara-saudaranya mempunyai pendapat yang hampir sama, “Terlalu berisiko, dan siap-siap dicerca orang”. Senada dengan jawaban ibunya.

Tapi, Tasaro adalah Tasaro, ia tidak bergeming. Ia terus maju mewujudkan niatnya: MENULIS TENTANG NABI MUHAMMAD. Karena, ia pun seperti halnya orang lain yang melarang niatnya itu: atas dasar cinta kepada Nabi Muhammad.

Tasaro menjelaskan bahwa kaum muslim mencintai Nabi Muhammad, tapi banyak yang tidak berani “mendekatinya”. Mereka menjaga jarak, lantaran khawatir salah mendekatinya. Parahnya lagi, tidak sampai 50 persen kaum muslim yang pernah membaca sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi Muhammad).

Melihat fenomena itu dan kemudian dikaitkan dengan terbitnya novel tersebut, salah satu peserta ada yang berkomentar bahwa sangat ironik seorang muslim yang mencintai Nabinya tapi tidak tahu sejarah hidupnya. Oleh karena itu, kehadiran novel Muhammad sangat diharapkan untuk mengisi kekosongan tersebut, bahwa seorang muslim (khususnya) perlu membaca novel ini agar bisa mengenal Nabinya, jika mereka memang tidak ingin membaca sirah nabawiyah -- jika dirasa kaku dan kering karena terlalu ilmiah. Jadi, sebuah pendekatan yang sangat bagus yang diperbuat Tasaro ini.

Dan, uniknya, acara ini dihadiri peserta yang beragama Kristen. Amboi, alangkah kagetnya aku, ternyata mereka sudah membaca novel Muhammad. Dan, yang paling menggetarkan dari pendapat mereka setelah membaca novel itu, yang katanya, mereka jadi tahu sosok Nabi Muhammad dan Islam sendiri. Mereka mengaku sebelum membaca novel itu, pandangan tentang Islam sedikit negatif, karena selalu dikaitkan dengan teroris dan kekerasan, misalnya. Tapi, setelah membaca novel ini, ternyata mereka salah menilai. Islam sejatinya adalah agama penyayang, rahmat bagi semesta alam.

Di tengah diskusi, Tasaro memperkenalkan dan menunjukkan salah seorang teman yang beragama Kristen, bernama Rampa Maega, yang berada di antara peserta diskusi. Ia adalah orang sedikit-banyak membantu proses penulisan novel Muhammad. Tasaro bahkan berani mengatakan kalau novelnya ikut “ditulis” olehnya juga. Karena, banyak sekali hal-hal yang selalu didiskusikan dalam menulis novel ini.

Tasaro memang penulis muda berbakat. Hasil racikannya selalu mendecak kagum pembaca dan mendapatkan penghargaan, seperti penghargaan Adikarya IKAPI dan kategori novel terbaik; Di Serambi Mekkah (2006) dan O, Achilles (2007), Wandu; novel terbaik FLP Award 2005, Mad Man Show (juara cerbung Femina 2006), Bubat (juara skenario Direktorat Film 2006), Kontes Kecantikan, Legalisasi Kemunafikan (penghargaan Menpora 2009), dan Galaksi Kinanthi (Karya Terpuji Anugerah Pena 2009).

Ia mengaku, novel Muhammad adalah novel yang ditulis dengan melibatkan banyak orang dan banyak revisi (mencapai belasan kali), dibanding novel-novel lainnya yang pernah ditulis. Referensi yang digunakan pun sangat representatif, seperti karya Karen Armstrong, Muhammad Husein Haikal, Tariq Ramadhan, Martin Lings, dan yang lainnya.

Hal itu membuktikan bahwa Tasaro menulis novel ini sangat serius. Ia hendak menjadikan karyanya karya yang “original”, dalam arti mempunyai sudut pandang yang baru di antara penulis-penulis tentang Nabi Muhammad. Novel ini boleh dikata pandangan Tasaro atas Sang Nabi.

Namun, sayang, dalam acara itu tidak ada pembicara kedua yang menilai novel tersebut, baik kelebihan maupun kekurangannya. Dan, tidak ada pula peserta yang sudah membaca bukunya berkomentar soal sisi sastranya. Karena, bagaimana pun buku ini adalah novel yang layak dinikmati sebagai karya sastra.

Jika anda ingin membaca sejarah Nabi Muhammad dengan cita rasa sastra silakan baca novel ini. Dan, sekuelnya akan terbit pada Agustus 2010, bertepatan dengan bulan Ramadhan 1431 H. []

M. Iqbal Dawami, penikmat sastra, teh, dan gogodoh.